Vichon Aap Gavaae – Larut Dalam Pelayanan

Aku mengaguminya, pernah dekat dengannya dan kemudian menjauhinya secara sporadis. Aku memiliki idealisme seperti idealismenya, tetapi aku tidak berani untuk mewujudkannya. Aku akhirnya memilih untuk menjauhinya, tidak mau lagi mendengarkan cerita-cerita tentang idealismenya dan bagaimana dia mewujudkan idealismenya itu. Aku masih menginginkan kenyamanan, masih menginginkan materi yang lebih. Sementara dia sudah tidak menginginkan semua itu, aku tidak paham bagaimana dia mampu menjalani kehidupan sesederhana itu, dengan gaji yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan dan sedikit sisa untuk ditabung. Aku sama sekali tidak memahami caranya berpikir.

Dia berkata:

“Kawan, aku sudah menyerahkan hidupku pada Guruku, sudah tidak lagi yang aku harapkan dari dunia. Satu-satunya harapanku adalah mengakhiri hidupku untuk mewujudkan visi dan misinya. Aku tidak memiliki harta untuk aku beri untuk mewujudkan visi dan misi Guru, jadi aku serahkan sisa hidup ini untuk melayaniNya. Bagiku, seorang Guru adalah sosok seorang Ibu, aku yakin Ibuku tidak akan membiarkanku kelaparan. Seberapapun yang diberikan kepadaku, semua itu sudah lebih cukup bagiku. Aku mempercayai kebijakan Guruku, Ibuku, tanpa syarat. Dialah yang paling tahu segala-galanya tentang aku. Dia tahu apa yang aku butuhkan untuk menjalani kehidupan ini.”

“Tapi aku melihatmu menderita saat mengawali perjalanan itu.”

“Kau melihatnya seperti itu, tetapi bagiku itu bukanlah sebuah penderitaan. Itu adalah harga awal yang harus aku bayar untuk mencapai kebahagiaan. Aku melihat bagaimana egoku dihancurkan oleh Guru, memang sakit rasanya. Tetapi aku kemudian melihat diriku tumbuh, menjadi semakin baik dari hari ke hari. Apa yang awalnya terasa seperti racun kemudian menjadi madu dengan perlahan-lahan. Pelayanan tanpa pamrih membuatmu semakin mengenal diri, memberimu kebahagiaan yang tak terhingga, kebahagiaan yang tidak akan mampu dibeli dengan uang sebanyak apapun.”

“Dan kau memilih untuk meninggalkan keluargamu dengan semua kenyamanan yang mereka tawarkan padamu.”

“Ya, itu adalah pilihanku. Pilihan yang tidak mudah. Tetapi aku harus memilih lingkungan yang tepat, lingkungan yang mampu mendukung perkembangan jiwaku. Bagiku, Guruku adalah segala-galanya. Cinta dari Guru menginspirasiku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Hati yang satu inipun sudah kuserahkan kepadaNya, sudah tidak ada lagi tempat lagi bagi yang lain.”

“Cara pandang kita berbeda, aku tidak bisa mengikuti caramu berpikir. Aku tidak bisa lagi berteman denganmu.”

“Tidak masalah kawan, dulu kita tidak saling mengenal. Kemudian kita berkenalan dan berpisah kembali. Tidak ada yang istimewa dengan hal itu. Pertemuan dan perpisahan hanyalah awan yang datang dan pergi dalam langit kehidupan ini. Kau ada ataupun tidak, tidak menambah atau mengurangi sesuatu dalam hidupku, aku tetap sama. Tapi bagaimanapun, aku tetap berterima kasih padamu, karena telah datang dan menjadi warna dalam perjalanan ini. Kepergianmupun tak pernah kusesali, saat ini kita memang harus berpisah untuk melanjutkan perjalanan kita masing-masing. Kecepatan dan laju kita sudah berbeda, dan tidak memungkinkan untuk kita berjalan bersama. Selamat berpisah dipersimpangan jalan ini, semoga kau menemukan apa yang kau cari.”

Dia menghilang dari pandangan mataku, melaju dan diterbangkan oleh angin. Aku sama sekali tidak bisa mengikuti langkahnya, bukannya tidak bisa. Hanya saja aku belum siap untuk menjalankan kehidupan seperti yang dia jalankan. Aku masih ingin menikmati dunia benda, masih ingin berpetualang mengelilingi dunia, mencari sesuatu di dunia ini, entah apa. Sementara dia, melarutkan diri dalam pelayanan - Vichon Aap Gavaae, mengakhiri hidupnya untuk melayani visi dan misi Gurunya.

Picture courtesy: https://bit.ly/30JiACH


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum