Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

You are gone, yet where can you possibly go? In your Love and Compassion, you shall be with us forever.

Kau telah pergi, namun apakah kau dapat meninggalkan kita? Dalam cinta dan kasihmu, kau akan selalu berada bersama kita selamanya.

(Guruji Anand Krishna)

Pagi ini, Senin, 18 Januari 2021, seorang sahabat Ibu Ni Putu Dian Adi Savitri, S. Kep di ashram telah berpulang. Beliau adalah seorang perawat yang bekerja di Rumah Sakit Tabanan, Bali. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19. Kami semua kaget dengan kematian beliau setelah 2 minggu sebelumnya beliau positif terinfeksi Covid-19. Resiko beliau sebagai tenaga kesehatan memang lebih besar dibandingkan kami semua, sebagai orang awam kebanyakan. Beliau meninggalkan suami, 2 putri serta 1 orang putra. 

Beliau akan selalu terkenang di hati kami atas tawa, canda serta nyanyian penuh cinta yang senantiasa beliau lantunkan di ashram. Juga akan senantiasa dikenang dengan semua aktivitas seva, kegiatan pelayanan sosial yang beliau lakukan kepada masyarakat di Kota Tababan. Selamat jalan Ibu Dian, Sadgati Praptir Astu, semoga menuju perjalanan yang jauh lebih mulia.

Kehilangan seseorang memang bukanlah pengalaman yang mudah untuk dilewati. Apalagi ketika orang tersebut memainkan peranan yang sangat penting dalam hidup kita. Tidak mudah memang menjalani semua itu, tetapi kita dapat melampauinya dengan memperbaiki persepsi kita tentang kelahiran dan kematian. Kita juga dapat belajar untuk menemukan makna, tentang apa yang ingin disampaikan pengalaman  tersebut kepada kita.

Akupun memiliki kisah tersendiri tentang arti kehilangan dan kematian seseorang yang begitu dekat dalam hidupku.

Sejak aku berusia 1,5 tahun, ibuku mengikuti jejak ayahku untuk merantau. Kondisi ekonomi kami tidak terlalu baik, sehingga kedua orang tuaku harus merantau untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Aku kemudian dititipkan kepada paman, kakek dan nenekku oleh kedua orang tuaku.

Sejak kecil, peran kedua orang tua digantikan oleh paman, kakek dan nenek. Di antara ketiganya, aku paling dekat dengan pamanku. Selama masa itu, aku belajar banyak hal dari mereka, tentang hidup, disiplin, kerja keras, dan cinta kasih.

Kematian pertama yang aku hadapi adalah kematian pamanku pada saat aku berusia 23 tahun dan beliau meninggal pada usia 36 tahun. Kami masih berharap jika beliau bisa sembuh, tetapi kenyataan berkata lain. Kepergian beliau mencabik-cabik diriku karena selama 23 tahun itu beliau berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Aku merasa sangat kehilangan dan bertanya-tanya, kemanakah paman pergi? Selama beberapa tahun kemudian aku masih meratapi kepergian beliau, hingga suatu hari aku pergi ke toko buku dan menemukan buku Guruji Anand Krishna. Buku-buku beliaulah yang membuatku sedikit demi sekikit mampu memahami kehidupan dan memahami kematian.

Kematian tidak akan pernah mampu mengakhiri kehidupan. Kematian bukanlah lawan dari kelahiran. Dalam kehidupan, kematian bukanlah akhir segalanya. Kematian adalah awal baru untuk melanjutkan kehidupan. Seperti yang dijabarkan dalam Bhagavad Gita:

“Sebagaimana setelah menanggalkan baju lama, seseorang memakai baju baru, demikian  pula setelah meninggalkan badan lama, Jiwa yang menghidupinya, menemukan badan baru.” (Anand Krishna, Bhagavad Gita 2:22)

“Bagi yang lahir, kematian adalah keniscayaan; bagi yang mati, kelahiran adalah keniscayaan. Sebab itu, janganlah bersedih hati, menangisi sesuatu yang sudah pasti terjadi.” (Anand Krishna, Bhagavad Gita 2:27)

Jika kita memiliki pandangan bahwa hidup ini adalah linear, berawal dari kelahiran dan berakhir pada kematian, maka kita akan sangat frustasi. Kita tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik.

Dalam proses perjalanan menerima kematian paman, aku dipertemukan dengan Guruku. Aku kemudian belajar untuk menerima kematian sebagaimana menerima kelahirans. Setiap yang lahir pastilah akan mati, sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Dengan memperbaiki persepsi kita tentang kematian, kita akan lebih menghargai hidup. Selain memperbaiki cara pandang tentang kematian, melakukan meditasi juga akan sangat membantu, khususnya meditasi SELO (Self-Empowerment with Love). Meditasi ini ditujukan untuk menyebarkan getaran kasih dengan menumbuhkannya terlebih dahulu di dalam diri kita, baru kemudian kita sebarkan kepada orang lain. Entah orang tersebut masih hidup atau sudah meninggal, getarannya akan sampai kepada mereka yang kita tujukan. Dan khususnya ketika dilakukan kepada mereka yang sudah meninggal, getarannya akan dirasakan oleh mereka sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan menuju kemuliaan dan membebaskan diri kita dari keterikatan kepada mereka yang sudah meninggalkan kita. Latihan ini sebaiknya dilakukan selama 21 hari berturut-turut tanpa jeda 1 haripun.

Mengapa 21 hari? Dua puluh satu hari adalah waktu minimum yang dibutuhkan oleh otak kita untuk membentuk sebuah pola kebiasaan baru. Ketika sebuah proses tertentu dilakukan selama 21 hari berturut-turut, kita dapat melakukan pemograman ulang terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak menunjang perjalanan jiwa kita.

Kematian paman mengajarkanku untuk:

  1. Menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan, bahwa setiap yang lahir pasti mati. Kematian tidaklah pernah mengakhiri kehidupan.
  2. Belajar untuk melewati masa-masa sulit, karena seberat apapun sebuah pengalaman, semua itu akan berlalu.
  3. Belajar untuk bedikari, untuk sepenuh menjadikan diri kita sebagai satu-satunya sandaran dalam hidup ini. Untuk menguji ketangguhan kita sebagai seorang pribadi, kita akan dihadapkan pada situasi dimana dalam keadaan paling terpuruk, tidak ada satupun yang dapat membantu kita. Kita harus memberdaya diri sehingga bisa menolong diri kita sendiri. 
  4. Keterikatan bisa diatasi dengan upaya tanpa henti, secara intensif dan repetitif. Kekuatan kehendak manusia ditambah dengan persistensi akan menjamin kita terbesbakan dari keterikatan, entah keterikatan terhadap sebuah situasi atau mereka yang dekat dengan kita secara emosional.
  5.  Meditasi menjernihkan pendangan kita sehingga kita mampu memperbaiki persepsi kita yang salah tentang hidup.
  6. Dipertemukan dengan seorang Guru Spiritual adalah anugrah terindah dalam hidup ini. Aku kemudian menyadari bahwa hubungan-hubungan kita dengan dunia benda ini tidaklah abadi. Tetapi hubungan dengan seorang Guru Spiritual adalah abadi, melintasi kelahiran dan kematian. Cinta kasih seorang Guru Sejati melebihi cinta 1000 ibu kandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Gula, Inflamasi dan Kematian