Bhajanty Ananya Manaso

Mahātmānas tu māṁ pārtha daivῑm prakṛitim āśhritāḥ

Bhajanty ananya-manaso jñātvā bhūtādim avyayam

 “Di pihak lain, Pārtha (Putra Ptha – sebutan lain bagi kuntῑ, Ibu Arjuna) para mahatma – mereka yang berjiwa mulia – yang telah menyadari kemuliaan dirinya, dan mengenali-Ku sebagai sumber semua mahluk, dan segala-galanya; Tak Termusnahkan, dan Kekal Abadi; senantiasa memuja-Ku dengan seluruh kesadarannya berpusat pada-Ku.” 

(Bhagavad Gita 9:13)

 Seperti apakah sifat para mahatma – mereka yang mulia, mereka yang berjiwa besar? Kebiasaan khas yang mereka lakukan adalah Bhajanty Ananya Manaso.

Ini adalah rumusan dari Krishna: “Bhajanty Ananya Manaso – mereka senantiasa memuja-Ku, mengenang-Ku, menyadari kehadiran-Ku, menghayati hakikat-Ku – dengan pikiran yang tidak bercabang, dengan seluruh kesadarannya terpusat pada-Ku” (Anand Krishna, Bhagavad Gita, pp. 405).

Ananya berarti “the only”, hanya satu, tidak ada yang kedua, tidak bercabang. “Ananya manaso berarti pikiran yang tidak bercabang. Pikiran yang tidak bercabang adalah kesadaran. Sifar pikiran yang tidak bercabang dibutuhkan pada tingkat jiwa” (Anand Krishna, Bhagavad Gita, pp. 406).

Dalam hidup ini kita tidak mungkin memiliki dua majikan. Kita harus memilih, mau menjadikan “dunia benda” sebagai majikan atau “dunia spirit” sebagai majikan kita. Kita tidak bisa memilih berada di antara keduanya. Dunia benda memang menggoda, dan akan selalu menggoda karena memang itulah sifat dasarnya, tetapi kita bisa memilih untuk tergoda, tidak terbawa oleh pesona dunia yang menyilaukan. Kita bisa hidup seperti sekuntum bunga teratai, mendapatkan nutrisi dari lumpur dunia, tetapi tetap bersih dan suci karena senantiasa menghadap ke arah matahari pencerahan.

Mengingat dan mengenang-Nya senantiasa, ini adalah jalan menuju Shraddha – keyakinan yang tak tergoyahkan. Untuk mempertahankan Shraddha, dibutuhkan upaya yang intensif dan repetitif.

Ramakrishna Paramhansa and Ma Kali

Ada sebuah cerita menarik sebelum keberangkatan Dilip Kumar Roy ke Inggris untuk melanjutkan sekolahnya pada usia 22 tahun. Kakeknya yang marah karena dia menolak dijodohkan dengan seorang gadis paling cantik di Bengal, mengajakkan bertemu dengan salah seorang murid langsung dari Ramakrishna Paramhansa, bernama Swami Brahmananda. Niat Sang Kakek adalah melakukan upaya terakhir supaya Dilip mau dinikahkan sebelum berangkat. Tetapi Dilip sendiri sudah menetapkan hatinya untuk menjadi pengabdi Tuhan, tidak menikah, dan ingin bertemu dengan Krishna (istha yang dipujanya), face to face

Saat bertemu dengan Swami Brahmananda, beliau meminta Dilip menyanyi dan dia memilih lagu kali kirtan, Majlo Amar Mar Bhramara. Mendengar nyanyian Dilip, Sang Swami terbawa ke alam samadhi dan untuk pertama kalinya sang kakek hanyut dalam nyanyian Ilahi yang dibawakan oleh cucunya.

Setelah kembali dari alam meditasi, Sang Swami berkata kepada kakek Dilip:

“Tahukah kau apa yang kulihat saat cucumu menyanyikan bhajan? Aku melihat aura perlindungan melingkupinya, aura Guruku, Sri Ramakrishna Paramhansa membentengi dirinya. Kau tak perlu mengkhawatirkannya. Biarkan dia berangkat dan melanjutkan sekolahnya ke Inggris. Dia akan kembali ke India dalam keadaan baik. Dalam perjalanan itu, mungkin sesekali dia akan tersandung, tetapi aku dapat memastikan dia tidak terjatuh.”

“Datanglah mendekat, anakku.”

Dilip kemudian meminta Sang Swami memberikannya wejangan kepadanya sebelum berangkat ke Inggris.

“Aku hanya berpesan satu hal padamu: Ingatlah selalu, Remember – always.”

Dilip kebingungan dan berkata: “Ingat? Remember?”

Sang Swami mengganggukkan kepalanya: “Itulah yang Gurudev, Thakur, selalu katakana kepada kami. Beliau selalu berkata kepada kami: smaran mananto remember constantly – mengingat selalu kemulian-Nya, mengingat berkah-Nya, itulah intisari dari Yoga.”

“Ingatlah berkah yang kau terima dari Thakur (Ramakrishna Paramhansa), dan selalu ingatkan dirimu tentang hal itu. Katakan pada dirimu: Aku telah menerima berkah dari-Nya (Ramakrishna Paramhansa), aku haruslah menunjukkan kelayakanku atas berkah yang telah kuterima.”

Dilip mengenang kembali perjalanannya selama menempuh pendidikan di Inggris:

“Setiap kali godaan datang dan menghampiri. Aku selalu mengatakan kepada diriku: Ingatlah apa yang telah disampaikan oleh Swami Brahmananda, berjapalah dengan japamalamu. Aku telah menerima berkah dari Thakur dan aku haruslah membuktikan kelayakanku.”

Picture courtesy: Ramakrishna Paramhansa dan Ma Kali (https://bit.ly/3jlhJiW)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum