Terowongan Waktu
Siapa yang akan pernah tahu ujung dari sebuah perjalanan
hidup? Tidak ada satupun orang yang mengetahui semua itu. Tetapi dari
pengalaman pribadiku, semua bermula dari cara kita memilih dan mengambil suatu
keputusan. Pengambilan keputusan yang tepat akan menghasilkan kebaikan di
kemudian hari. Pengambilan keputusan yang hanya berlandaskan kesenangan sesaat akan
berujung pada kesengsaraan. Dari satu kesengsaraan ke kesengsaraan berikutnya,
begitu seterusnya dan menggelinding bak bola salju.
Dengarkanlah kisah ini, semoga menginpirasi…
Aku tidak mencintainya sama sekali. Belum, belum tumbuh
rasa itu di dalam hatiku untuknya. Tetapi saban hari, dia terus hadir dan
mengisi hari-hariku, selalu berada di dekatku saat aku didera masalah bertubi-tubi
dalam hidupku. Lama-kelamaan aku luluh, dan memalingkan perhatianku padanya.
Salahkah aku dengan rasa yang tumbuh dalam diri ini? Salahkah jika aku mulai
mencintainya?
Aku memiliki sebuah masalah yang ingin kuakhiri dalam
perjalanan ini. Jujur, aku tidak tahan dengan semuanya. Satu-satunya hal yang
terpikir adalah segera menikah untuk mengakhiri permasalahan ini. Saat itu, aku
sangat aktif dalam sebuah organisasi spiritual, tetapi keluargaku sama sekali
tidak mendukung pilihanku. Saat itu, pernikahan adalah solusi terbaik untuk
keluar dari permasalahan tersebut. Dengan menikahi seseorang yang juga menjadi
bagian dari organisasi spiritual itu, aku yakin masalahku akan terselesaikan.
Dengan menikah, aku akan memiliki kesempatan untuk selalu hadir dan bertemu
dengan Guru Spiritualku. Itulah doaku, itulah harapannku.
Meskipun awalnya ragu-ragu dengan pilihan itu, akhirnya aku
memantapkan hati dengan pria pilihanku, untuk menikahinya. Pada awalnya semua
baik-baik saja, aku menikmati pernikahanku dengannya. Beberapa bulan setelah
pernikahanku, aku hamil. Saat itu aku masih bekerja sebagai seorang pengajar di
sebuah sekolah swasta. Setelah kelahiran anak pertamaku, aku mulai goyah. Pada
awalnya, aku masih bisa datang ke ashram untuk bertemu Guru, tetapi kemudian semuanya
menjadi semakin sulit.
Setelah menikah, aku baru menyadari bahwa berumah tangga
bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Aku bukanlah sosok pribadi yang tegar
dalam menghadapi masalah. Pembagian tugas rumah tangga yang tidak terbagi
dengan baik ternyata menciptakan pertengkaran demi pertengkaran yang tidak
berkesudahan. Aku baru menyadari bahwa membuat kesepakatan tentang urusan rumah
tangga sebelum menikah adalah hal penting yang harus dilakukan bagi mereka yang
ingin memasuki jenjang pernikahan.
Selama ini, paradigm sebagian besar orang adalah seorang
istri haruslah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan suami tidak harus
berkontribusi dalam urusan itu. Kita harus ingat bahwa berumah tangga adalah
kesepakatan antara 2 orang, rumah tangga dibangun atas komitmen dari 2 orang.
Seharusnya pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama antara istri
dan suami. Memang, ada hal-hal tertentu yang menjadi “kodrat” seorang perempuan
seperti mengandung, melahirkan dan menyusui bayinya. Tetapi pekerjaan mengurus
dan membesarkan seorang anak adalah tugas bersama antara ibu dan ayah.
Adalah sebuah pendapat yang salah ketika kita mengharapkan seseorang
akan berubah setelah dia menikah. Ternyata semua itu hanyalah fatamorgana
belaka. Hari demi hari pekerjaan rumah tangga semakin membebaniku, ditambah
lagi dengan memiliki suami yang tidak terlalu aktif berpartisipasi dalam
membantu pekerjaan rumah tangga. Aku awalnya berharap bahwa kalaupun suamiku
tidak mau membantu urusan rumah tangga, setidaknya ia mau untuk membantuku
untuk mengasuh anak, sekali lagi aku harus menelan kekecewaan itu. Semakin
lama, bukannya semakin mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Guru, aku
menjadi semakin jauh dari beliau. Pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung usai,
ditambah dengan tugas mengasuh anak menyita semua energi dan perhatianku.
Situasi semakin memburuk saat aku melahirkan anak kedua.
Pada awalnya, aku tidak ingin memiliki anak lagi karena mengasuh satu anak saja
rasanya sudah cukup berat. Awalnya aku tidak siap untuk kehamilanku yang kedua.
Tetapi aku akhirnya harus berkompromi dengan suamiku karena usianya sudah tidak
muda lagi. Sekali lagi, aku harus mengalah supaya keluarga ini dapat berjalan
dengan baik.
Pada awalnya aku masih bisa mengatasi semua permasalahan
rumah tangga dengan baik. Meskipun jujur, tekanan adat-istiadat di tempatku
tinggalku cukup ketat dan itu sangat membebani jiwaku. Aku memiliki idealisme
bahwa setiap kegiatan keagamaan semestinya disederhanakan supaya tidak terlalu
membebani, tetapi lagi dan lagi aku tidak berdaya menghadapi semua itu. Aku
terpaksa ikut arus dan idealismeku surut secara perlahan.
Pukulan telak lain yang harus kuterima adalah saat anak pertamaku yang masih berusia 3 tahun diajak menonton film porno oleh anak tetanggaku yang sudah SMP. Aku baru menyadari semuanya seminggu kemudian setelah anakku menceritakan hal tersebut kepadaku. Jujur aku stress berat menghadapi situasi itu. Anak itu mulai mengalami kelainan perilaku terhadap beberapa anak perempuan seumurannya dan itu membuatku sangat malu dan marah terhadap apa yang terjadi. Apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan anakku? Masihkah mungkin untuk memperbaiki pola perilakunya yang terlanjur menyimpang karena kejadian tersebut.
Aku tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi serumit
ini. Aku menyesali keputusanku, tetapi aku tahu semuanya telah terlambat. Nasi
sudah menjadi bubur. Keputusan yang kuambil tanpa pertimbangan panjang telah
membuahkan konsekuensi yang sebelumnya tidak pernah kubayangkan. Dari satu konsekuensi
ke konsekuensi berikutnya, dan aku harus terus menelannya bak menelan pil pahit
secara terus-menerus. Andai saja aku mampu kembali ke masa lalu menggunakan
terowongan waktu, aku ingin mengubah keputusanku. Keputusan yang bukannya
mendekatkanku dengan Guru, tetapi malah menjauhkanku dariNya. Beliau rasanya
sekarang begitu jauh, terlalu jauh untuk kujangkau saat ini.
Guru, maafkan aku atas kekonyolanku ini. Andai saja aku
lebih memahami maksudMu, tentu semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Aku tidak
akan kehilangan kebebasanku untuk selalu dekat denganMu, untuk mewujudkan
idealisme dan cita-citaMu. Guru, apakah masih ada waktu untuk kembali kepadaMu,
untuk bisa dekat seperti dahulu denganMu? Guru, tanpaMu, hanya nestapa dan
derita yang aku dapatkan. Guru, ampuni aku, maafkan semua kesalahanku.
Kesalahan karena mengambil sebuah keputusan yang keliru dalam hidupku.
Keputusan yang aku tidak pernah sangka akan berujung dengan konsekuensi serumit
ini.
Picture courtesy: bit.ly/3nmboFs
Komentar
Posting Komentar