Today A Reader, Tomorrow A Leader
Kekuatan kehendak, will
power, apakah muncul dari langit? Apakah ia jatuh di hadapan kita bak
durian runtuh?
Jawabanku adalah TIDAK. Will
power harus ditumbuhkan lewat disiplin diri, ketekunan dan kerja keras.
Dengan mendisiplinkan diri, kita akan lebih mempercayai diri kita sendiri.
Dengan mendisiplinkan diri, dari hari ke hari, keyakinan kita pada diri sendiri
akan bertambah. Keyakinan diri akan membuat kita semakin percaya diri
menghadapi hidup yang seringkali tak mudah.
Tekun dan pantang menyerah, tidak pernah berhenti sampai
mencapai tujuan. Seharusnya semangat seperti itu yang kita miliki dalam hidup.
Mengingatkan diri secara terus menerus merupakan proses yang harus dilakukan
secara sadar. Mengingatkan diri dari hari ke hari tentang tujuan kehidupan membutuhkan
upaya yang luar biasa.
Menumbuhkan will
power membutuhkan proses sadar sepanjang hayat. Sekali lagi ingatlah, bahwa
will power tidak akan datang ke dalam
hidup kita bak durian runtuh. Atau tiba-tiba kita disodorkan pil ajaib dan
sekali teguk langsung JRENGGG…kita berubah menjadi manusia super dengan will power kuat. Menumbuhkan will power
tidak bisa dipisahkan dari disiplin diri. Disiplin adalah sifat alam. Apa
jadinya dunia ini jika mentari tidak disiplin terbit setiap hari, jika mentari
kadang terbit dan kadang tidak, bisa mati kita semua yang hidup di bumi ini.
Jika orang bilang, kakek dan nenek cenderung memanjakan
cucu mereka dan membuat mereka menjadi tidak disiplin. Maka aku adalah orang
pertama yang akan membantah pernyataan tersebut. Aku tidak setuju dengan
pernyataan tersebut karena semua itu tidak terjadi dengan didikan kakek dan
nenekku. Memang sebagian fakta di lapangan seperti itu, tetapi tidak demikian
dengan cerita masa kecilku.
Let me tell you the
story…
Aku adalah cucu pertama di keluarga kami. Kakekku memiliki
enam anak lelaki dan satu perempuan, dan kakek berharap bahwa cucu pertamanya
adalah perempuan. Ketika aku lahir, aku diperkirakan mati dalam kandungan
karena aku lahir sungsang dan butuh waktu yang cukup lama bagi Kakek Jasni,
dukun beranak yang membantu kelahiranku untuk mengurut perut ibuku sehingga
posisi kepalaku bisa berada di bawah. Kelahiran yang bisa dibilang cukup sulit
bagi ibuku, karena aku hampir mati dalam kandungan karena kehabisan cairan
ketuban.
Saat mengetahui cucu pertamanya perempuan, kakekku senang
sekali. Begitu juga dengan nenek buyutku, ibu dari kakek. Setelah berusia satu
tahun, ayah dan ibuku berencana membawaku ke Mataram – Lombok, tempat mereka
merantau dan mengadu nasib. Tetapi nenek buyutku tersedu sedan dan tidak rela
jika aku dibawa pergi oleh mereka. Buyutku memaksa akan ikut ke Lombok jika aku
dibawa oleh orang tuaku. Melihat kondisi buyutku yang sudah tua renta, orang
tuaku tidak tega dan akhinya mereka mengalah dan membiarkanku diasuh oleh nenek
buyut serta kakekku.
Kakekku adalah orang yang sangat disiplin. Beliau mendidikku dengan penuh disiplin. Setelah cucu-cucunya yang lain lahir, aku tahu bahwa aku selalu menjadi kesayangannya. Tetapi ada paradoks lain dari kakek, jika seorang cucu disebut cucu kesayangan, maka dia akan sangat dimanja. Semua itu bertolak belakangan dengan apa yang dilakukan kakek padaku. Ada pepatah dalam Bahasa Bali, “sayang-sayang kendang, sai metigtig”, yang artinya seperti menyayangi gendang, sering dipukul supaya bisa berbunyi. Disayang oleh kakek, tetapi diperlakukan paling keras dibandingkan cucu-cucu yang lain. Jika cucu kakek yang lain santai dan tidak pernah ditegur, maka kakek takkan membiarkanku hidup dengan santai, dan aku selalu kena teguran.
Sejak usia belia, kakek menekankan pentingnya kerja keras
padaku. Aku ingat pada awal kelas 1 SD, kakek memberikan puluhan ekor itik
kepadaku untuk diternakkan. Biasanya, seusai musim panen padi, aku akan membawa
itik-itik tersebut ke sawah untuk mencari sisa-sisa padi hasil panen untuk
dimakan. Pada suatu ketika, aku membawa itik-itik yang baru berumur sebulan
untuk mencari makan ke sawah. Biasanya untuk menggiring mereka, aku menggunakan
sebatang bambu panjang yang di ujungnya ada kain berwarna-warni atau tas kresek.
Itu adalah tongkat sakti bagi para peternak itik untuk menggiring itik mereka
ke sawah. Sambil menunggui itik-itik kecil itu makan, tiba-tiba hujan turun.
Awalnya hanya gerimis, tetapi lama-kelamaan semakin lebat dan petir mulai
menggelegar. Mendengar suara petir yang menggelegar itik-itik kecil itu
ketakutan dan mulai lari kocar-kacir, aku panik dan takut dengan petir. Aku
berusaha untuk mengumpulkan itik-itikku yang sudah lari lintang pukang ke sana
kemari. Aku menangis ketakutan karena petir tetapi masih harus berupaya untuk menggiring
itik-itik itu pulang dengan selamat.
Setelah beranjak ke jenjang SMP, kakek membelikanku 2 ekor
babi untuk diternakkan. Memelihara babi memiliki tantangannya sendiri terutama
masalah manajemen waktu. Aku harus bisa mengatur waktu dengan baik antara
mencari makanan babi ke sawah, memotong dan mengolahnya. Setiap minggu, aku
juga harus membersihkan kadang dan menyemprot tubuh mereka. Selain itu aku juga
harus mengatur waktu karena juga mulai diajarkan memasak oleh bibi dan piket
memasak minimum 2 kali seminggu. Aku juga tidak pernah meninggalkan pelajaran
karena bagiku sekolah adalah prioritas utama. Akupun heran bagaimana aku tetap
bisa berprestasi di sekolah dengan pekerjaan sebanyak itu. Kakek selalu berkata
padaku: “Jika kau masih mampu melakukan segala sesuatu seorang diri, maka jangan
pernah minta bantuan pada orang lain.”
Setelah beranjak dewasa baru aku menyadari bahwa
pendisiplinan ketat yang dilakukan oleh kakek membuatku menjadi mandiri seperti
sekarang. Sebagai anak kecil, aku tentunya mengeluh dengan disiplin yang
diterapkan kakek padaku. Jika pada hari libur teman-temanku bisa santai dan
menonton TV, maka aku harus pergi ke sawah untuk membantu kakek. Kadang aku
megeluh dalam hati bahwa kakek sangat kejam padaku, tetapi aku tidak pernah
berani melontarkan kata-kata tersebut karena kakekku galak.
Guru Spiritualku, Bapak Anand Krishna menegaskan bahwa
anak-anak harus didisiplinkan dengan disiplin ala militer. Dalam sesi workshop Meditative Parenting beliau mengulangi
bahwa negara-negara baratpun sudah mulai menoleh kembali untuk menggunakan
penggaris sebagai sarana untuk mendispilinkan anak. Satu hal menarik bahwa
dalam Bahasa Melayu, kata istilah untuk anak adalah “BUDAK”. Jadi sesungguhnya
anak haruslah menurut dan patuh kepada mereka yang dipertuakan. Kita tidak bisa
bersikap demokratis dan mengikuti apa yang diinginkan oleh anak. Ingatlah,
anak-anak bukanlah kertas kosong yang putih dan bersih dan tinggal ditulisi
dengan tinta. Mereka lahir dengan kecenderungan baik dan kecenderungan tidak
baik. Tugas orang tua dan pendidik adalah untuk mendeteksi dan
mengindentifikasi kecenderungan buruk yang mereka bawa. Melakukan pendisiplinan
yang ketat (kata Guruku, disiplin ala militer), sehingga kecenderungan-kecenderungan
buruk itu bisa terhapus secara perlahan dengan upaya yang intensif dan
repetitive. Ketika kualitas dan kecenderungan buruk dalam diri seorang anak
sudah mulai memudar, maka proses berikutnya adalah menanamkan
kebiasaan-kebiasaan baik. Merawat kebiasaan-kebiasaan baik tersebut sehingga
berbuah menjadi karakter yang baik.
Aku mengenang kembali masa kecilku saat di sekolah dasar.
Saat kelas 1 SD, wali kelasku adalah seorang guru paling senior di sekolah,
namanya Ibu Dayu. Kata kakak kelasku, beliau adalah guru paling galak di
sekolah dan ternyata memang demikian adanya. Tiada hari tanpa rotan atau
penggaris di tangan beliau. Rotan dan penggaris beliau gunakan untuk
mendisiplinkan dan memacu kami untuk belajar membaca dan menghafal perkalian
dasar. Setiap pagi sebelum masuk kelas, kami wajib berbaris di luar kelas dan
menghapalkan satu set perkalian dasar. Jika tidak bisa, maka rotan akan
melayang di pantat kami dan kami harus berdiri di luar kelas. Daripada terus
kena hukuman seperti itu, yang kami lakukan adalah belajar dan berupaya lebih
keras untuk menghapal perkalian supaya tidak kena hukuman. Rotan di tangan Bu
Dayu membuat kami berupaya lebih keras dan belajar lebih giat.
Belakangan ini ramai sekali pembahasan tentang “childhood trauma” akibat penggunaan
rotan dan penggaris dalam proses belajar mengajar oleh orang tua zaman now.
Sepanjang pengalaman dan ingatanku, aku mungkin kesal dengan pendisiplinan yang
dilakukan guruku. Jika melapor pada kakek atau nenek tentang apa yang terjadi
di sekolah, mereka bukan malah membelaku, yang terjadi adalah sebaliknya. Aku
akan dimarahi habis-habisan oleh kakek/nenek karena telah melanggar disiplin di
sekolah. Jadi mau melaporpun percuma karena baik guru maupun orang yang
dipertuakan di rumah memiliki konsep yang sama tentang pendidikan yaitu
pendisiplinan dalam segala aspek kehidupan seorang anak. Lain dengan zaman
sekarang, jika guru menegakkan disiplin maka siswa akan melunjak dan melaporkan
ke orang tua. Orang tua akan melaporkan guru yang bersangkutan.
Kita secara kolektif telah lupa bahwa tujuan akhir
pendidikan adalah mencetak manusia yang berkarakter dan mandiri. Cara atau
proses yang kita tempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui
pendisiplinan dalam segala aspek kehidupan anak.
Silakan renungkan pertanyaan berikut:
Adakah satupun manusia di muka bumi ini
yang mampu menjadi mandiri tanpa memiliki disiplin dalam hidup mereka?
Tanpa disiplin, jangan harap kita mampu menghasilkan sumber
daya manusia yang berkarakter dan mandiri. Hasil tidak akan pernah mengkhianati
usaha. Jika upaya pendisiplinan tidak dilakukan sejak dini, maka jangan harap
anak-anak akan menjadi mandiri. As simple
as that.
Satu cara lain yang menurutku efektif untuk menumbuhkan
karakter adalah melalui dongeng sebelum tidur. Setiap malam sebelum tidur saat
aku berusia di bawah 5 tahun, kakek selalu berdongeng untukku. Kakek
menceritakan cerita-cerita rakyat yang ada di Bali seperti cerita Bawang lan Kesuna (Bawang Merah dan
Bawang Putih), Siap Selem (Ayam
Hitam) dan Ni Tantri. Setelah menjadi dewasa, aku baru memahami begitulah cara
kakek menanamkan Pendidikan Budi Pekerti dalam diriku. Dari cerita-cerita
rakyat tersebut, aku belajar tentang nilai kejujuran, ketekunan, kerja keras,
disiplin dan masih banyak lagi. Di atas segalanya, inti dari cerita yang
didongengkan kakek dapat aku simpulkan adalah Kebenaran Pasti Selalu Jaya.
Kebohongan dan ketidakjujuran hanya dapat bertahan sesaat, pada saat berikutnya
ia akan dihancurkan oleh Sang Kala, Sang Penguasa Alam Semesta. Hidup dalam
Kebenaran dan matipun dalam Kebenaran.
Dongeng-dongeng yang dibacakan oleh kakek membuatku menjadi
penuh dengan imajinasi. Aku akan mengimajinasikan tokoh-tokoh tersebut hidup
dalam pikiranku.
Cerita lain adalah bagaimana guru Bahasa Indonesiaku saat
kelas 3 SD menanamkan kebiasaan membaca dalam diriku. Guru Bahasa Indonesiaku,
bernama Pak Nengah. Setiap weekend, beliau akan meminta kami untuk memilih 1
buku untuk dibaca setiap minggunya. Beliau akan membawa 1 boks buku ke dalam
kelas dan meminta kami untuk memilih buku yang ingin kami baca minggu itu.
Bagiku, membaca adalah pelarian yang menyenangkan dari
tugas dan rutinitas rumah. Biasanya aku akan pergi membaca ke sawah setelah
semua kerjaan di rumah beres. Di sawah kami, ada sebuah sungai besar dan ada
dam pengontrol airnya. Kata para penduduk di desaku, area di sekitar dam itu
angker dan ada penghuninya, tetapi entah mengapa itu menjadi tempat membaca
favoritku. Aku sangat betah menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku di
tepi sungai itu.
Setiap minggu, Pak Nengah akan mengecek kemajuan kami dalam
membaca buku. Kami wajib menceritakan kembali isi buku yang kami baca minggu
sebelumnya di depan kelas. Beliau juga meminta kami mencatat kosakata-kosakata
baru yang tidak kami mengerti dan menanyakan artinya dan sesi Q and A. Bagi
dunia kecilku, Pak Nengah adalah kamus berjalan yang bisa menjawab apa saja
yang tidak kami ketahui. Sejak saat itu, membaca sudah menjadi bagian dari
diriku, dan semua itu bermula dari seorang guru Bahasa Indonesia yang luar
biasa.
Jika sekarang ditanya, apakah aku mengalami “childhood trauma” karena pernah dirotan oleh Guru dan Kakek. Dengan tegas dan lugas aku katakan TIDAK. Aku justru berterima kasih kepada mereka semua karena pendisiplinan seperti itu yang menjadikanku pribadi yang mandiri dan tangguh seperti sekarang. Mereka yang tidak memiliki disiplin diri, tidak akan mampu mendisiplinkan orang lain. Para orang tua dan pendidik yang tidak tegas dalam menegakkan disiplin hanya akan menghasilkan “GENERASI MIE INSTAN” yang tidak tangguh dalam menghadapi realita kehidupan. Dunia ini adalah rimba belantara, hanya mereka yang tangguh dan tahan banting yang akan mampu menghadapi hidup ini.
Picture courtesy: bit.ly/35LhfNM
Picture courtesy: bit.ly/3vNyloP
Komentar
Posting Komentar