Persahabatan Atau Uang, Lebih Penting Mana?
“Makoto atau kejujuran adalah sebuah sikap yang dibutuhkan untuk Chungi atau Loyalitas/Kesetiaan terhadap orang lain, keluarga, perusahaan, bangsa, negara, bahkan terhadap sebuah ideologi atau apa saja yang kita yakini.”
(Anand Krishna, Ikigai & Beyond, pp. 28)
“Janganlah sekali-kali mengharapkan loyalitas/kesetiaan dari seseorang yang tidak jujur, yang tidak memiliki integritas diri. Sebab, loyalitas atau kesetiaan adalah ungkapan dari sifat jujur, dari seseorang yang memiliki integritas diri.”
(Anand Krishna, Ikigai & Beyond, pp. 29)
Kejujuran, dalam masyarakat modern ini merupakan sebuah “barang langka”, sulit untuk didapatkan dalam keseharian. Aku butuh waktu yang cukup panjang untuk memahami manusia dan satu karakternya ini, yaitu kejujuran. Dalam hidup ini kita bertemu dengan banyak orang, beberapa di antaranya akan meninggalkan kenangan tak terlupakan. Sementara yang lainnya akan meninggalkan pelajaran berharga dalam hidup ini, yang kita butuhkan dalam perjalanan hidup ini.
Cerita ini adalah pengalaman pribadi dengan seorang kawan dimana
darinya aku belajar tentang persahabatan dan uang, learn the hard way tentang makna kejujuran dan kesetiaan.
Pada dasarnya aku bukan orang yang suka berburuk sangka
ketika pertama kali bertemu dengan orang baru, termasuk ketika aku
diperkenalkan dengan Bayu oleh Puspa. Bayu, seperti namanya memang memiliki
karakter seperti angin. Lincah, pandai bicara, berperawakan kecil dan cerewet
dengan lelucon-leluconnya yang membuatku terpingkal-pingkal saat kami pertama
kali bertemu. Dengan malu-malu Puspa berkata padaku bahwa Bayu adalah pacar
barunya.
Kok bisa?
Puspa bercerita bahwa sejak dia putus dengan Bimo, dia
merasa sangat tertekan dan ketakutan. Sejak saat itu, Bayu mulai mendekat dan
selalu ada pada saat Puspa membutuhkannya. Sebenarnya cerita cinta tentang Bayu
dan Puspa bukanlah cerita baru, tetapi cerita lama yang terulang kembali.
Ternyata, mereka dulu bersekolah di SMP yang sama dan Bayu pernah menyatakan
rasa sukanya, tetapi Puspa sama sekali tidak merespon. Meskipun demikian Bayu
masih mencintainya, masih mengharapkan Puspa menjadi kekasihnya kelak.
Dari pengamatanku, aku dapat merasakan bahwa Bayu sangat
perhatian dan sangat menyayangi Puspa. Belakangan kemudian aku juga sering
memperhatikan bahwa Puspa sering senyum-senyum sendiri jika sedang mengingat
Bayu. Cinta memang gila, ha ha ha... Tapi setidaknya sebagai seorang sahabat
aku senang karena Puspa tidak lagi merasa ketakutan dan terteror seperti
sebelumnya.
Sejak saat itu, aku juga semakin akrab dengan Bayu. Sebagai
seorang kawan, dia penuh dengan humor dan komunikatif. Sampai suatu saat, Bayu
melamar Puspa. Puspa kebingungan dengan hal tersebut, di satu sisi dia sangat
menyukai Bayu dan dia selalu ada untuk Puspa. Di sisi lain dia meragukan masa
depan Bayu. Bayu saat itu ada masalah dengan kuliahnya dan terancam akan
dikeluarkan dari kampus. Di sisi lain Puspa dalam proses menyelesaikan
pendidikannya di luar negeri, dan jadi dia mengalami dilema.
“Nanti orang bilang apa, masa aku sebagai tamatan S2 dan
suamiku tidak punya gelar bahkan S1 sekalipun. Aku malu pada omongan orang, Ayu”
keluh Puspa padaku. Aku kemudian diam sesaat dan berkata: “Bukankah kau
mengatakan bahwa dia sudah bekerja dan memiliki penghasilan yang lumayan. Aku
tidak melihat gelar sebagai sebuah alasan, toh dia mampu menghidupi dirinya
dari pekerjaan itu. Tetapi terserah kamu Puspa, keputusan terkait pernikahanmu
adalah urusan pribadimu, aku tidak akan ikut campur.”
Singkat cerita, Puspa memilih pria lain untuk menjadi
suaminya. Salah seorang kawan lain di kampus yang sedang menyelesaikan S2 di
Universitas Gajah Mada. Alasan Puspa tidak menerima lamaran Bayu adalah karena
dia sudah dilamar oleh anak teman ayahnya. Puspa berkata bahwa dia tidak kuasa
melanggar perintah ayahnya soal perjodohan itu dan meninggalkan Bayu tanpa
kata-kata. Hal lain yang menyakitkan adalah aku disangkut pautkan juga soal
perjodohan itu, bahwa aku yang mendorong Puspa untuk menerima lamaran pria itu.
Jujur, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang perjodohan itu dan menjelang
pernikahannya Puspa mengirimkan undangan pernikahannya padaku.
Mendengar kabar burung bahwa aku juga turut serta dengan
perjodohan Puspa dan Yadi, Bayu marah besar padaku dan menelponku dengan tuduhan
yang sangat menyakitkan hati. Beberapa bulan Bayu menghilang dari peredaran dan
tidak bisa dihubungi. Aku terus berusaha untuk menghubunginya dan menjelaskan
duduk perkaranya, bahwa aku tidak tahu menahu tentang pernikahan Yadi dan
Puspa.
Saat pernikahan Puspa dan Yadi berlangsung di kota
kelahiran Puspa, aku tidak bisa hadir karena sedang mengikuti tes S2 di
Universitas Gajah Mada. Sejak saat itu aku menjauh dari kehidupan Puspa dan
Yadi, karena tidak mau berurusan dengan mereka. Aku menghilang dari kehidupan
mereka. Bagiku, kejujuran adalah segala-galanya. Sesuatu yang dimulai dengan
ketidakjujuran tidak akan bertahan lama, dan bagiku, Puspa mengawali
pernikahannya dengan ketidakjujuran, aku tidak sepaham dengan itu. Jadi aku
mundur teratur dan menghilang dari kehidupan Puspa. Berkali-kali dia berusaha
mengontakku dan beberapa kali pula dia mencaci maki aku di sosial media, tetapi
maaf Puspa, aku harus pergi dari kehidupan kalian.
Beberapa bulan kemudian Bayu muncul dan mencariku. Dia
kemudian bertanya kembali tentang pernikahan Puspa dan Yadi. Aku kemudian
menjelaskan duduk perkaranya, yang jelas, aku tidak tahu tentang rencana
pernikahan mereka. Masalah Puspa yang mengatakan pada Bayu bahwa dia dilamar
oleh anak teman ayahnya adalah isapan jempol belaka. Puspa terlalu pengecut
untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Bayu. Dia tidak berani
menanggung resiko bahwa Bayu akan marah besar kepadanya. Dia tidak mau menikah
dengan Bayu karena akan malu jika ditanya oleh orang-orang, kenapa memilih pria
yang bahkan tidak tamat S1 untuk menjadi suamimu? Sementara kamu itu lulusan
S2, tidak sebanding, tidak selevel.
Sejak saat itu, aku menjadi semakin akrab dengan Bayu dan
menjadi kawan karib. Aku kemudian mengenalkan Bayu pada pria yang saat itu
dekat denganku, Radith. Bayu perlahan mulai bisa menerima kenyataan tentang
Puspa dan memiliki kekasih lain, namanya Rina. Kami berempat semakin lama
semakin akrab dan dekat, meskipun aku kemudian melanjutkan sekolahku ke
Australia, hubungan kami tetap terjaga dengan baik.
Pada suatu ketika, kenyataan pahit menimpa Bayu, dia
didepak dari perusahaan sinematografi yang ia dirikan bersama salah seorang
kawannya. Bahkan modal awal yang dia tanamkan di perusahaan itu tidak
dikembalikan oleh rekan kerjanya. Terlunta-lunta dalam kepedihan dan tanpa pekerjaan,
sementara dia juga harus menanggung adiknya yang saat itu sedang bersekolah di
Jogjakarta. Dia menghubungiku dan menceritakan tentang kondisinya dan berkata
bahwa saat itu seseorang menawarkan kamera canon fullframe dengan harga miring dan dia sangat membutuhkan kamera
seperti itu untuk bisa berkerja kembali. Tetapi dia tidak memiliki uang untuk
membeli kamera tersebut. Setelah berpikir beberapa hari, aku kemudian berkata
padanya bahwa dia bisa membeli kamera itu dan aku akan mengirimkan uang padanya
untuk membeli kamera tersebut. Anggap saja uang itu adalah hadiah persahabatan
dariku. Dia menangis ditelpon sejadi-jadinya dan tidak menyangka masih ada yang
mau berbaik hati padanya.
Aku menceritakan hal tersebut pada Radith dan dia bertanya:
“Kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan Ayu? Aku tidak mau kamu menyesal di
kemudian hari atas apa yang kamu lakukan saat ini. Kamu yakin akan memberikan
uang padanya dalam jumlah sebesar itu?”
“Ya Radith, aku akan memberikannya.”
Beberapa bulan kemudian, Bayu kemudian mendirikan sebuah
perusahaan sinematografi baru dengan kekasihnya dan aku cukup bahagia melihat
perkembangan, semangat dan optimisme mereka. Rekan yang dulu pernah mendepak
Bayu dari perusahaan yang mereka bangun bersama kemudian bangkrut karena ditipu
orang. Untuk menutupi hutang-hutang perusahaan dia menjual semua aset perusahaan.
Tebak siapa yang dia tawari, tak lain adalah Bayu. Bayu kemudian menghubungiku
dan menceritakan apa yang terjadi terjadi dengan mantan rekan kerjanya, dan
menawarinya dengan aset-aset perusahaan yang pernah mereka bangun bersama. Bayu
bertanya apakah memungkinkan jika aku meminjamkan uang padanya dalam jumlah
30-an juta. “Aku hanya meminjam Ayu, segera setelah perusahaanku berjalan baik,
aku akan mengembalikannya padamu secara mencicil, bisakah?”
Untuk kali ini aku bingung selama beberapa hari, pasalnya
uang yang dia ingin pinjam jumlahnya termasuk besar untukku. Aku kemudian
sempat berbicara dengan Radith tentang apa yang harus aku lakukan. Radith hanya
menasehatiku: “Jika kau yakin akan meminjamkan uang itu, maka pinjamkanlah.
Jika tak yakin maka jangan kau lakukan.”
Setelah mempertimbangkan beberapa aspek aku akhirnya
mengirimkan uang tersebut pada Bayu. Satu kesalahanku adalah aku tidak pernah
membuat semacam surat perjanjian terkait peminjaman uang itu karena aku percaya
pada Bayu.
Beberapa bulan sebelum menyelesaikan sekolah di Australia,
aku putus dengan Radith karena dia tidak yakin bisa melanjutkan hubungan ini ke
tahap yang lebih serius denganku. Jujur ini adalah pukulan telak bagiku, karena
aku sangat berharap pada Radith. Aku belum pernah seyakin ini pada seorang
pria, tetapi begitulah hidup, tidak segala hal yang kita harapkan akan kita
dapatkan. Berita lain yang tidak kalah mengejutkan adalah Bayu yang mulai
bertingkah dan memintaku untuk mengangguhkan pengembalian uang yang dia pinjam.
Dia berkata bahwa aku pernah berjanji akan bekerja sama dengannya untuk
membangun perusahaan baru tersebut dan uang yang aku pinjamkan akan dijadikan
modal usaha. Dia memang pernah menawarkanku tentang hal itu, tetapi aku tidak
pernah menerima tawarannya.
Setelah pulang ke Indonesia, adik iparku kemudian bercerita
bahwa Bayu pernah meminjam sejumlah uang pada adikku dan dia juga pernah
melakukan intervensi tertentu sebelum pernikahan adikku, membuat situasi menjadi
ricuh dan membuat ayahku hampir membatalkan pernikahan adikku. Uang yang dia
pinjam tidak pernah dikembalikan pada adikku. Woowww…tamparan lain yang harus
kuterima tentang Bayu, tentang orang yang sudah kuanggap sebagai sahabat baik.
Adik iparku tidak berani menceritakannya kepadaku saat kejadian itu
berlangsung, takut bahwa aku tidak akan mempercayainya karena aku sangat dekat
dengan Bayu.
Setelah kejadian itu, aku marah besar pada Bayu dan dia
berkelit tentang tuduhan itu. Dia selalu berkata bahwa aku memberikan uang itu
kepadanya sebagai modal usaha kepadanya. Terserahlah Bayu, yang jelas aku tidak
pernah menyetujui permintaanmu. Sejak saat itu, aku tidak pernah mau menemuinya
lagi. Bagiku, persahabatan itu sudah berakhir. Benar kata orang bahwa uang bisa
merubah segala-galanya dan menghancurkan persahabatan. Bukan uangnya, tetapi
ketidakjujuran manusia. Ketidakjujuran menghancurkan segalanya-galanya.
Satu pelajaran sangat berharga yang harus aku pelajari
dengan pahit, learn the hard way,
adalah berhati-hatilah saat kau meminjamkan uang, apalagi kepada orang yang
dekat. Kita harus mengecek secara teliti apakah orang yang kita pinjamkan uang
tersebut mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Ketika seseorang berkata
meminjam kepada kita atau kita meminjam kepada orang lain, maka kita wajib
mengembalikan apa yang kita pinjam. Ketika kita tetap meminjamkan uang kepada
orang yang kita tahu dia tidak mampu mengembalikannya, maka secara tidak
langsung kita mendidik mereka menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dan
tidak jujur.
Guruku pernah berkata, bahwa: “Jangan pernah meminjamkan
uang kepada seseorang tanpa ada surat perjanjian, hitam di atas putih karena
orang Indonesia cenderung melanggar janji jika urusannya terkait dengan uang. Dan
jika kau tahu bahwa orang yang meminjam uang kepadamu tidak mampu
mengembalikan, lebih baik jangan pernah meminjamkannya. Jika kau mampu berikan
uang sejumlah tertentu sesuai kemampuanmu. Jika tidak mampu lebih baik tidak
usah meminjamkan apapun.
Dari pengamatanku, orang-orang seperti Bayu sangat banyak
jumlahnya di luar sana. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang tidak mampu
mengelola keuangan mereka dengan baik. Pengelolaan uang yang buruk cenderung
membuat kita menjadi penghutang. Ditambah lagi dengan pola hidup yang borju membuat mereka sangat boros dalam
urusan keuangan. Pepatah mengatakan, besar pasak daripada tiang, pengeluaran lebih
besar dari pendapatan.
Uang harus dikelola dengan baik, dengan bijaksana karena
uang adalah energi. Minimal kita menabung 30% dari pendapatan kita sehingga
ketika sesuatu terjadi kita tidak menyusahkan orang lain. Hidup hemat bukan
berarti kita pelit, bukan. Hanya saja kita harus belajar untuk menentukan
prioritas dalam pengelolaan keuangan, kita harus mampu memilah mana itu
kebutuhan dan mana itu keinginan. Sebisa mungkin kita mengurangi
pembelajaan-pembelanjaan yang tidak terkait dengan kebutuhan kita. Kita juga
harus sadar bahwa tidak semua keinginan dapat kita penuhi dalam hidup ini. Maka
dari itu yang paling penting adalah bagaimana kita membatasi keinginan kita, ceiling our desire, memplafoni
keinginan-keinginan kita.
Satu jebakan Batman yang menjerat manusia adalah penggunaan
kartu kredit dan membeli barang secara kredit. Kebiasaan berutang dengan kartu
kredit membuat banyak orang terjerat dengan hutang yang tidak bijak, gali
lubang, tutup lubang dan jatuh ke lubang yang sama.
Ada sebuah cerita dari seorang kawan di tempatku bekerja.
Sebelum terjadi Covid-19, adik kawan tersebut membeli mobil secara kredit untuk
kepentingan pekerjaanya sebagai sopir dan pemandu wisata. Sebelum Covid-19
pariwisata Bali berada dalam kondisi yang kondusif dan semua berjalan baik, setiap
bulan adik kawan tersebut mampu membayar cicilan yang harus disetorkan. Setelah
Covid-19 mewabah, pariwisata Bali mati suri dan adik dari kawan tersebut kehilangan
pekerjaan dan tidak mampu membayar cicilan setiap bulannya. Yang terjadi
bukanlah cerita baru, mobil yang sudah sempat digunakan dan dibayar cicilannya
sebesar 150 juta disita begitu saja, saudara kawan tersebut tidak mampu
melunasi sisa hutangnya sebesar 100 juta. Jadi yang untung adalah pihak yang
memberi kredit karena mendapatkan mobilnya kembali dan uang dari adik kawan
tersebut sebesar 150 juta.
Itu adalah cara kerja kredit yang tidak banyak dipahami
oleh orang awam. Orang-orang yang terbiasa hidup dengan kartu kredit dan
membeli benda dengan cara mencicil bisa miskin dalam sekejap karena krisis
ekonomi dan disita aset yang dijadikan jaminan ketika mereka tidak mampu
membayar cicilan. Jadi hiduplah dengan bersahaja, hidup hemat dan sewajarnya,
jangan lebih besar pasak daripada tiang. Karena hidup seperti itu hanya membuat
kita penuh dengan kekhawatiran setiap saat. Orang yang selalu khawatir dan
cemas tidak bisa menjalani hidup dengan bahagia. Moderasi adalah kunci hidup
bahagia.
Picture
courtesy: https://bit.ly/3jzsVtG
Picture
courtesy: https://bit.ly/3fErusC
Komentar
Posting Komentar