The Story of Tjahja & Djelita

 Mozaic 1 - Tjahja


Hari itu, minggu pertama Januari 2015, aku harus pergi melepasnya. Minggu itu adalah minggu yang cukup berat untuk bisa kulewati.

“Maukah kau menemuiku di bandara sebelum aku back for good, sebelum pulang ke negeriku?” Tanyanya sehari sebelum dia pulang ke negerinya, ke Dwipantara, Indonesia.

“Tanpa kau mintapun, aku akan datang dan menemuimu. Jujur, aku tidak ingin kau pergi. Tetapi begitulah hidup. Pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan, cepat atau lambat, pasti akan terjadi dalam persahabatan kita.”

Aku pertama kali bertemu dengannya pada pertengahan Januari 2013, saat kami menjalani 0’week (masa orientasi di kampus). Seperti tipikal wanita Asia umumnya, dia orang yang pendiam dan tidak banyak bicara. Tetapi setelah mengenalnya beberapa waktu, aku kemudian menemukan sisi humoris yang cukup gila dalam dirinya. Sejak saat itu, dia menjadi sahabatku bersama satu teman lain dari daratan Afrika.

Dimana ada aku, maka kalian akan menemukan dia (Jelita), dan sahabat Afrikaku (Alabi). Pada awal semester 1, kami bertiga mengambil satu mata kuliah yang cukup sulit yaitu GIS (Geographic Information System), sebuah sistem pemetaan digital yang bisa diaplikasikan untuk berbagai hal. Kuliahnya sangat membosankan untuk kuikuti karena jumlah pesertanya lebih dari 300 mahasiswa di gedung teater SSS (Sosial Science South). Aku berusaha mengikuti kuliahnya, tetapi selalu diserang kantuk tak tertahan karena kuliah dimulai jam 1 siang. Ditambah lagi dengan prakteknya yang membuatku selalu kalang kabut menggunakan software ArcGIS. Aku yang tidak memiliki pemahaman dasar tentang kartografi (ilmu tentang peta) mengalami kesulitan, begitu juga dengan Jelita dan Alabi. Tetapi kami sangat bersyukur karena teman-teman di kelas yang lebih mengerti tentang software tersebut mau mengajari kami. Meskipun harus mengerjakan tugas pemetaan dengan berdarah-darah, kami mampu menyelesaikan mata kuliah tersebut meskipun dengan nilai minimum. 

Sebagai mahasiswa S2 di jurusan Environmental Management, kami memiliki ruang kerja sendiri di salah satu ruangan di gedung SSN (Social Science North). Kami menyebutnya markas SSN 204. Kami bisa mengakses ruangan tersebut dengan menggunakan kartu mahasiswa kami dan bisa bekerja di sana 24/7 kalau mau, tetapi tidak boleh tertidur di sana. Kalau tertidur karena kelelahan kami akan dicek oleh satpam kampus dan diusir pulang, ha ha haaaa….

Selain ruangan SSN 204, tempat favorit kami bertiga adalah tepian danau kampus. Kami biasanya menghabiskan waktu makan siang di sana. Kami biasanya memasak sendiri dan saling bertukar bekal makan siang di tepian danau. Tempatnya teduh, penuh dengan pepohonan dan rerumputannya tertata dengan sangat rapi. Selain itu, bebek-bebek liar beterbangan ke sana kemari dan meminta makanan kepada mahasiswa-mahasiswa yang sedang makan siang di tepian danau.

Satu hal tentang Jelita kelebihan Jelita yang tidak dimiliki oleh teman-teman lainnya adalah kemampuannya dalam memimpin sebuah kerja kelompok. Dia mampu meng-handle diskusi dan berkomunikasi dengan sangat baik dengan orang lain. Komunikasi baik yang ia jalin membuat kami memahami apa yang harus kami kerjakan dan bagaimana alur untuk bekerja untuk merampungkan pekerjaan dengan waktu yang singkat sehingga kinerja kami menjadi efisien. Dia juga selalu mampu menengahi kami jika terjadi perdebatan saat diskusi yang seringkali berujung dengan memanasnya situasi.

Salah satu teman lain dari India pernah berkomentar tentangnya: “Aku suka caranya berpresentasi, tegas, lugas, penuh semangat dan dia seperti menari dan menyanyi dalam setiap presentasi yang dia bawakan.” Tapi satu hal yang takkan kulupa tentang Jelita adalah dia seorang pendengar yang sangat baik. Banyak hal yang seringkali tak bisa kuceritakan pada orang lain hanya dapat aku ceritakan padanya. Salah satunya adalah bagaimana aku berjuang mati-matian untuk pendapatkan status kewarganegaraan (PR: Permanent Resident) di Adelaide. Semua itu menguras mental, emosi dan kondisi finansialku. Bahkan hal itu tidak kusampaikan secara detail kepada istriku karena takut membuatnya panik dan cemas dengan kondisi finansial kami.

Aku pernah menceritakan kisah perkawinanku dengan Anggun padanya, hal yang jarang kuceritakan pada orang lain. Aku dan Anggun kuliah di satu kampus yang sama di Nepal dan kami saling jatuh cinta. Pernikahan kami terhalang karena aku berasal dari kasta Brahmin dan Anggun dari non-Brahmin. Aku sama sekali tidak mendapatkan restu dari kedua orang tuaku dan memilih untuk kawin lari dengan Anggun.  

Kami kemudian pergi meninggalkan Nepal dan merantau ke Adelaide. Meninggalkan segala-galanya untuk memulai hidup baru. Pada awalnya, aku harus mengambil beberapa pekerjaan sekaligus, bekerja keras layaknya anjing dan kuda sekaligus supaya kami dapat menyambung hidup. Tidak mudah untuk mengawali kehidupan baru di Adelaide. Jika kuingat masa-masa itu, aku hanya tidur beberapa jam sehari dan bekerja sepanjang hari, siang dan malam, sehingga tidak hidup terlunta-lunta di negeri orang. Setelah kondisi finansial kami stabil maka aku memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah magister di Flinders University.

Pada suatu saat, Jelita pernah bertanya padaku: “Cahya, mengapa sampai saat ini kalian belum memiliki anak? Tidakkah kalian ingin memiliki seorang anak?”

Pertanyaan yang cukup sulit untuk kujawab. Jujur aku belum siap untuk memiliki anak saat itu karena biaya hidup di Adelaide bisa dikatakan sangat tinggi. Secara finansial aku dan Anggun belum sanggup. Mungkin suatu saat nanti jika kondisi finansial kami lebih baik dari saat ini.

Aku lantas balik bertanya pada Jelita: “Kapan kau akan menikah?”

Dia hanya tertawa terbahak-bahak dan tidak memberi jawaban sama sekali.

You’re beautiful like diamond in the sky…


 ***************************

Mozaic 2 - Djelita


Aku tidak akan pernah melupakannya. Dia memberi arti yang sangat indah dalam persahabatan kami. Seorang sahabat yang berarti segala-galanya untukku. Di dalam dirinya, aku menemukan apa yang tidak pernah aku pahami tentang cinta.

Ya, ini adalah tentang cinta. Bukan cinta seperti yang diartikan oleh kebanyakan orang, tentang cinta antara seorang pria dan seorang wanita. Bukan, bukan cinta seperti itu yang aku maksudkan. Cinta ini adalah cinta seorang sahabat laki-laki kepada sahabat perempuannya.

Dalam dirinya, aku lebih menemukan sosok kakak laki-laki, yang akan selalu melindungi saudara perempuannya. Seperti itulah persahabatan kami, seperti itulah cinta di antara kami. Dia menjadi segala-galanya saat itu, menjadi tempatku untuk mengadu dan menangis saat segala-galanya hancur tak terperi. Aku takkan melupakan masa-masa tersuram saat aku menyelesaikan sekolahku. Pada saat itu, hanya dia yang ada di sisiku, pada saat aku membutuhkan uluran tangan. Aku takkan pernah melupakan dia, seperti namanya, Cahya. Setiap kali mengingat dia, aku selalu mengingat cahaya di dalam diri. Sesulit apapun keadaan, cahaya di dalam diri akan mengusir gelap yang meraja bertahun-tahun dalam sekejap.

Dia adalah wujud cahaya yang menjelma dalam diri seorang sahabat. Seberapapun jauh jarak memisahkan kami, cinta dan kepeduliannya selalu bersamaku. Cinta yang tak pernah pudar oleh jarak dan waktu. Cinta yang selalu mengingatkanku akan cahaya di dalam diri yang tidak pernah padam. Cinta yang memantik kesadaran untuk senantiasa berjuang dalam menghadapi kesulitan dalam perjalanan ini. Ya, itulah pesan cinta dari Sang Cahaya, yang pernah kutemui dalam sosok seorang sahabat. 

Cahya, puisi ini untukmu, sahabatku…


Cahaya dan Cinta…

Dua-duanya adalah dirimu

Dalam suka, dalam duka

Kau selalu mengingatkanku

Bahwa inipun akan berlalu

Badai akan berlalu…

 

Tiada Cinta, tanpa derai tawa dan air mata…

Tiada persahabatan, tanpa kejujuran dan ketulusan…

Semua menyatu, membaur


Dalam harmoni melodi

Yang pernah kau lantunkan

Tentang persahabatan kita

Tentang Cinta yang melintasi ruang dan waktu…

Tentang Cahaya yang mengisi sanubari kita…

 

Malam ini, kau kembali mewujud dalam hatiku. Saat aku kehilangan arah, kau kembali hadir dan memberikan semangat. Untuk selalu bersikap tegar, bahwa sesulit apapun keadaan, aku bisa menghadapinya. Cahya, terima kasih atas segala-galanya. Terima kasih atas cinta dan kepedulianmu. Ya, Cinta mampu menembus ruang dan waktu. Memberi kekuatan dan semangat, memberikan kepedulian tanpa syarat. Ya itulah Cinta. Yang merupakan awal dan akhir dari segala-galanya. Dalam kehidupan, dalam kematian, yang ada hanyalah Cinta.

Renungan: Denpasar, 12 Desember 2021 – Dilema Politik Praktis dan Ketidaksetiaan Seorang Anak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum