Labirin Duka Derita Part 3: Ratri
Bulan berganti bulan, musim berganti musim dan aku
menikmati setiap kebersamaanku dengan Gurudev. Hampir setahun penuh kebersamaan
dengan beliau telah kujalani dengan penuh sukacita.
Pada suatu hari, ibu pemilik kontrakan tempatku tinggal mengenalkanku
dengan seorang wanita yang baru datang ke kontrakan itu. Beliau meminta tolong
padaku untuk memberi arahan padanya yang masih awam tentang kondisi Kota
Gondwana. Aku spontan mengiyakan permintaan beliau karena aku pun dulu pernah
berada pada posisi seperti dia. Sebagai pendatang baru di Kota Gondwana, aku
pernah kebingungan dan tidak mampu beradaptasi dengan cepat di kota metropolis
ini.
Berikut
cerita pertemuanku dengannya, dari sudut pandang dia, Ratri, yang kemudian
menjadi kekasihku.
Ratri bermakna Kegelapan, Darkness |
Aku baru saja merantau ke Kota Gondwana, dan tidak mengenal
siapapun di kota ini. Kota ini merupakan kota metropolis di negeri kami. Semua
orang dari berbagai penjuru negeri datang untuk mengadu nasib dan mencari
peruntungan, begitu juga aku.
Berbekal modal nekad dan menyelesaikan pendidikan setara
diploma, aku merantau ke kota ini. Dalam keadaan bingung, aku harus dapat
beradaptasi dengan cepat. Tetapi aku cukup beruntung karena ibu pemilik
kontrakan tempatku tinggal memperkenalkan aku dengan Arya.
“Ratri, perkenalkan ini Arya,” kata ibu kos kepadaku.
“Hai Arya, perkenalkan namaku Ratri. Senang bertemu
denganmu.”
“Arya, tolong bantu Ratri untuk beradaptasi di kota ini ya.
Dia tidak punya saudara, sama seperti kamu saat baru sampai di sini,” pinta ibu
kos kepada Arya.
“Baik bu, saya akan melakukannya dengan senang hati,” ucap
Arya dengan ceria.
Sejak pertama bertemu dengannya, aku sudah menyukai Arya. Tubuhnya
tinggi jangkung, perawakan kokoh, tatapan matanya sangat lembut dan mempesona. Jujur,
pertemuan pertama itu begitu berkesan untukku. Setiap kali mau memejamkan mata,
yang terbayang adalah wajahnya, gila, ternyata aku sudah mulai mabuk asmara
pada pandangan pertama.
Orang bilang: “witing tresno
jalaran soko kulino”, cinta hadir karena kita telah terbiasa
dan sering bertemu. Semakin mengenal Arya, aku semakin mengaguminya. Dia banyak
bercerita tentang keluarganya, tentang anak-anaknya, tentang perceraiannya,
tentang gurunya. Di atas semua perbedaan kami, aku mengagumi keluasan, keterbukaan
pikiran dan kelembutan hatinya.
Arya adalah sosok pria romantis yang selalu membuatku
berbunga-bunga tatkala dia meledekku dengan candanya yang mengundang tawa. Dia
adalah sosok prince charming yang aku
dambakan dalam hidupku. Meskipun kami memiliki keyakinan yang berbeda, aku sama
sekali tidak mempermasalahkannya. Arya pun tidak pernah mempersoalkan perbedaan
keyakinan kami, karena cinta adalah landasan hubungan kami, bukan
perbedaan-perbedaan itu.
Pada suatu hari, Arya mengajakkku untuk bertemu dengan
Gurunya. Jujur aku tidak siap, tidak ingin bertemu beliau, aku takut. Arya
membujukku untuk bertemu dengan beliau dan akhirnya aku luluh. Arya berkata
padaku: “jika Guru merestui hubungan kita, maka aku akan menikahimu”.
Bagaimana jika beliau tidak merestui hubungan kami? Apa
yang akan terjadi? Aku tidak ingin berpisah dengan Arya, tidak. Itu tidak boleh
terjadi.
Momen pertemuanku dengan Gurunya Arya tiba. Hatiku tidak
karuan saat memasuki padepokan beliau. Arya mengajakku untuk mengikuti kelas
meditasi yang dipimpin oleh Sang Guru. Setelah selesai kelas, Arya
memperkenalkan aku dengan Sang Guru.
“Guru, perkenalkan, ini Ratri,” kata Arya.
“Selamat datang Ratri, bagaimana meditasinya tadi? Bisa
mengikuti?”
“Iya Guru, saya bisa mengikutinya. Rasanya sangat damai
saat mengikuti meditasi yang Guru berikan.”
Setelah itu, Sang Guru memanggil Arya ke ruang kerjanya.
Aku menunggu di luar dan berbicara dengan beberapa peserta meditasi lain sambil
menikmati makan malam yang disediakan di padepokan Sang Guru.
Sekitar 1 jam kemudian, Arya keluar dari ruang kerja Sang
Guru dengan wajah tampak pucat. Sepertinya bukan pertanda yang baik dan dia
kemudian mengajakku kembali ke tempat kos kami. Sepanjang perjalanan pulang,
Arya hanya diam dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Aku tidak berani
bertanya padanya dan ikut terdiam. Sesampainya di kos, Arya mengucapkan selamat
malam dan langsung masuk ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah pun kata.
Sudah tiga hari Arya mengurung diri di kamarnya, ketika
kuketuk pintu kamar, dia tidak menyahut sama sekali. Sesekali aku mendengar
isak tangisnya, dan hatiku sangat sedih dan kalut. Aku tidak tahu apa yang
dikatakan Gurunya kepada Arya, tetapi sepertinya pertemuan di ruang kerja Guru
mengguncang dirinya begitu hebat.
Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Arya. Apakah Sang Guru
tidak merestui hubungan kami? Entah, aku penasaran dan cemas tak kepalang,
tetapi tidak bisa berbuat apa. Arya, I love you so much. Keluarlah dan
ceritakan semua resahmu padaku. I am waiting for you my love.
Pada hari keempat, Arya mau berbicara padaku. Matanya
sembab dan bengkak. Dia menangis dalam pelukanku dan berkata: “Ratri, maafkan
aku atas segalanya. Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Guru
melarangku menjalin hubungan denganmu.”
Aku melepaskan diri dari pelukannya dan berkata: “Apa
alasan Guru melarangmu menjalin cinta denganku.”
“Maaf Ratri, aku tidak bisa mengatakannya.”
“Arya, katakan yang sejujurnya padaku. Apa yang dikatakan
Gurumu malam itu?”
“Katakan Arya,” sahutku dengan nada sengit. “Kalau kau
tidak mau mengatakannya, aku akan mengakhiri hidupku.”
“Ratri, sayangku, jangan berkata seperti itu. Aku
mencintaimu dan tidak bisa hidup tanpamu.”
“Tidak, kau tidak mencintaiku. Kau lebih mencintai Gurumu
dan tidak mau jujur padaku,” kataku ketus.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku akan
mengatakannya, dan ini adalah kenyataan pahit yang mungkin tidak akan kau
terima.”
“Katakan, aku ingin mendengarnya, sepahit apapun itu.”
Guru berkata:
“Oh, kau ingin mencintai ilalang dan
membiarkannya tumbuh liar di tamanmu. Itu adalah definisi baru tentang Cinta,
sungguh menakjubkan.”
(Anand Krishna, The Gospel of Mahamaya, pp.
165)
Aku hanya tercengang mendengar kata-kata Arya. Mengapa
Gurunya berkata seperti itu tentangku? Dia belum mengenalku dan sudah berani
menilaiku seperti itu. Sungguh keterlaluan. Aku tidak bisa menerima semua itu
dan merasa tertantang. Baik, aku akan merebut Arya dari tangannya. Aku akan
membuat Arya menikahiku dan menjauhkan dia dari Gurunya, bagaimana pun caranya
aku tidak peduli, by hook or by crook.
To be continue...
Picture courtesy: Joao Cabral (bit.ly/3NjjQBR)
Komentar
Posting Komentar