Having Life Mentor is a Luxury
Having Life Mentor is a Luxury… Memiliki
seorang Pemandu Hidup adalah sebuah kemewahan…
Hubungan dengan seorang pemandu hidup, pemandu spiritual
bukanlah hubungan biasa. Hubungan dengan pemandu hidup melintasi kelahiran dan
kematian.
Dalam perjalanan kehidupan ini, saya terus mencari. Ada
sesuatu yang ingin saya temukan, entah apa. Berjalan dari satu bentuk hubungan
ke hubungan berikutnya, saya terus mencari.
Awalnya, saya mengenal hubungan keluarga. Sejak kecil, saya
begitu dekat dengan pakde, nenek dan kakek, mereka lah yang mengasuh dan
membesarkan saya. Bagi saya sebagai anak kecil, mereka adalah dunia saya,
segala-galanya bagi saya. Setelah mereka tiada, ada rasa kehilangan yang begitu
mendalam, rasa duka yang tidak mudah untuk saya lepaskan. Tetapi sungai
kehidupan tidak pernah berhenti, kita harus melanjutkan perjalanan hidup, suka,
tak suka, bahagia dan derita, kehidupan terus berlanjut…
Setelah beranjak dewasa, saya mengenal hubungan dengan
lawan jenis, dengan pria. Awalnya semuanya terlihat begitu membahagiakan,
tetapi lama-kelamaan masalah mulai muncul dan akhirnya kami harus berpisah.
Tidak mudah juga untuk melampaui fase patah hati dalam percintaan yang gagal.
Pengalaman “terburuk” saya adalah mengalami “writer’s block”
karena patah hati di akhir tahun 2014, hampir 5 tahun setelah kejadian itu, saya
tidak lagi produktif menulis seperti sebelumnya. Tetapi, patah hati tidak
membuat bumi berhenti berputar, angin berhenti bertiup, dan saya pun
melanjutkan perjalanan kehidupan ini.
Saya merasa, saya harus melanjutkan perjalanan hidup ini.
Kedua jenis hubungan di atas tidak mampu memuaskan jiwa saya. Saya masih merasa
hampa. Rasa hampa yang saya tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Dari kecil, saya memiliki cita-cita untuk menjadi dokter.
Setelah tamat SMA saya ingin kuliah di jurusan kedokteran. Tetapi sepertinya saya harus banting stir.
Pada saat kelas 3 SMA, saya kemudian berpikir lebih realistis. Jika saya masuk
kedokteran, orang tua saya harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, dan saya
tidak ingin mereka menjual asset yang mereka miliki hanya untuk menyekolahkan
saya di kampus kedokteran. Kuliah kedokteran adalah pilihan yang sangat tidak
realitis dan membuang terlalu banyak uang, sangat egois jika saya tetap memaksa
masuk sekolah kedokteran.
Dengan pertimbangan tersebut, saya kemudian mengambil
jurusan Biologi dan bercita-cita menjadi seorang dosen. Untuk menjadi seorang
dosen, saya harus melanjutkan sekolah saya setelah menamatkan S1. Untuk itu,
saya sangat ingin melanjutkan S2 ke Australia. Mengapa Australia? Entahlah,
saat itu saya tidak tahu. Bertahun-tahun kemudian saya akhirnya memahami kenapa
saya sangat terobsesi untuk pergi ke Australia pada saat mengikuti program Pass
Life Regression Bersama Ma Archana.
Untuk bisa melanjutkan sekolah ke Australia, saya sangat
ingin mendapatkan beasiswa. Untuk bisa mendapatkan beasiswa, saya membutuhkan bimbingan
seorang mentor untuk mempermudah perjalanan saya. Untuk itu, saya harus memilih
seorang mentor sehingga bisa menjadi pemandu. Dari sekian dosen yang ada di
kampus, pilihan saya jatuh pada salah seorang dosen di Jurusan Kimia, nama
beliau adalah Bapak Surya Hadi.
Kenapa Bapak Surya Hadi?
Berdasarkan pengamatan saya, beliau sudah banyak membantu
teman-teman saya untuk memperjuangkan cita-cita mereka. Dua orang sahabat dekat
saya juga telah mendapatkan beasiswa ke Australia karena bimbingan dari beliau.
Selain itu, beliau juga menamatkan Pendidikan S2 dan S3 beliau di Australia.
Setelah menyelesaikan S1, saya langsung mengadap beliau dan
mengutarakan keinginan saya untuk melanjutkan S2 serta meminta kesediaan beliau
untuk menjadi mentor saya. Beliau menyanggupi dengan catatan bahwa saya harus
bersungguh-sungguh dan bersedia berjuang menjalani semua prosesnya. Saya
langsung menyanggupi permintaan beliau.
Hal pertama yang beliau minta dari saya adalah meng-upgrade
kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Saya kemudian mengambil kursus Bahasa
Inggris dan setiap hari menghabiskan waktu sekitar 4-5 jam untuk belajar Bahasa
Inggris di luar waktu kursus. Tentang belajar Bahasa Inggris, beliau selalu
mengingatkan: “Hal terpenting dalam belajar Bahasa Inggris adalah soal
menginternalisasi bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa
menginternalisasikannya, kamu harus menggunakannya sebagai bahasa percakapan
sehari-hari.” Saya juga beruntung karena memiliki seorang kawan yang memaksa
saya untuk berbicara dalam bahasa Inggris setiap hari.
Setelah itu, beliau kemudian meminta saya mengajarkan les
untuk beberapa mata pelajaran kepada kedua putri beliau yang berada di jenjang
SMA dan SMP. Selain itu, beliau juga mengajak saya untuk bekerja di kantor
konsultan lingkungan yang beliau dirikan. Berikutnya, Bapak meminta saya untuk
menjadi volunteer untuk mengajar bahasa Inggris tambahan untuk adik-adik
tingkat di jurusan Kimia yang ingin melanjutkan study mereka. Dengan mulai
mengajar bahasa Inggris, mau tidak mau saya harus belajar lebih keras lagi
sehingga bisa menyampaikan materi dengan baik dan terstruktur. Kondisi ini
membuat kemampuan saya dalam bahasa Inggris meningkat secara drastis.
Dalam proses perjalanan saya meraih beasiswa, bimbingan
langsung dari Bapak membuat segala sesuatunya berjalan lebih mudah. Mudah
karena jika ada masalah, saya bisa bertanya langsung kepada beliau. Itu adalah
sebuah privilege dimana tidak semua orang mendapatkan berkah seperti
itu. Saya beruntung karena Bapak juga
meminta saya untuk bekerja di kantor konsultan lingkungan yang beliau dirikan
sehingga saya bisa berinteraksi dengan beliau setiap hari dan bercakap-cakap
dalam bahasa Inggris.
Pengalaman pertama dalam proses mencari beasiswa adalah
proses yang menarik. Saat pertama kali melamar beasiswa, saya dipanggil untuk
mengikuti tes interview dan tes bahasa Inggris (IELTS) di Bali. Karena memiliki
budget yang terbatas untuk berangkat ke Bali, saya dan satu teman kantor yang
juga dipanggil berencana untuk membawa motor ke Bali dengan naik ferry. Ketika
Bapak mendengar rencana kami, beliau memarahi kami berdua.
“Kalian mau naik ferry ke Bali untuk interview?”
“Ya, bapak.”
“Tidak boleh, kalian akan kelelahan dalam perjalanan. Dalam
menjalani interview, stamina kalian dalam harus dalam keadaan prima. Bapak
tidak izinkan kalian naik motor dan nyebrang kapal ferry.”
Kami berdua hanya saling pandang, bingung. Harus naik apa?
Bapak hanya melihat kami berdua dan berkata: “Kalian berdua
harus naik pesawat. Bapak akan belikan kalian tiket!”
Speechless…
Jujur, saya belum pernah naik pesawat sebelumnya, dan ini
adalah pengalaman pertama saya naik pesawat dan tiketnya dibelikan bapak. Saya
tidak tahu harus berkata apa, bapak baik, terlalu baik kepada kami berdua, too
good to be true, what a Mentor!
Perjalanan saya mencapai impian ini tidaklah mudah, saya
berkali-kali gagal. Dan di ujung kegagalan itu, bapak selalu mengingatkan saya
untuk tidak menyerah, untuk terus maju dan belajar dari setiap kegagalan.
Bahwasanya tidak ada yang gagal, kegagalan adalah proses, kegagalan adalah
sebuah pelajaran berharga. Kegagalan adalah guru terbaik dalam hidup ini.
Setelah perjuangan panjang selama hampir 3 tahun lamanya, the
dream comes true, mimpi saya menjadi kenyataan…
Setelah pulang dari Negeri Kangguru, saya dihadapkan pada
kebingungan baru, pilihan baru, dan di atas segalanya, hati saya patah, saya
berpisah dengan kekasih saya. Itu adalah hantaman telak yang sangat menyakitkan
kala itu. Saya kehilangan arah, dan saya tidak tahu harus kemana. Saya tidak
mau tinggal di Mataram lagi, terlalu banyak tempat dan kenangan yang akan saya
ingat di kota itu. Saya ingin pergi dari Mataram, dan meninggalkan kota itu
untuk selama-lamanya.
Singkat cerita, setelah kematian kakek, saya bertemu dengan
Guruji Anand Krishna. Dari pertemuan itu, saya kemudian mengambil beberapa
workshop dengan Guruji Anand Krishna dan Ma Archana. Pertemuan saya dengan
Guruji merubah haluan hidup saya. Beliau memberikan makna dan impian baru
kepada saya. Hingga akhirnya, perahu kehidupan membawa saya ke Bali, ke kampung
halaman saya. Saya melabuhkan perahu kehidupan saya di One Earth School,
sekolah yang beliau dirikan.
Enam setengah tahun berlalu…
Pada bulan Juni 2022, saya pulang ke Mataram saat liburan
sekolah untuk menemui kedua orang tua saya. Saat itu, rasanya ada keinginan
yang sangat kuat bahwa saya harus menemui Bapak. Saya merasa sepertinya Bapak
memanggil saya. Panggilan itu saya abaikan dan saya anggap halusinasi serta
angin lalu belaka. Dalam kemalasan dan kebodohan saya, saya berkata dalam
hati: “Ah, bapak baik-baik saja. Semester depan saja saya menemui Bapak. Masih
ada waktu, tidak perlu terburu-buru.”
Penundaan dan kemalasan itu kemudian berujung pada sebuah
penyesalan yang sangat mendalam. Bapak Surya Hadi berpulang
pada hari Jumat, 4 November 2022. Again, speechless.
Penyesalan tidak akan membuat orang yang sudah meninggal bisa hidup kembali.
Penyesalan tinggallah sebuah penyesalan. Tak berarti, tak bermakna. Rasa sesal
tidak mengubah apapun.
Saya baru bisa kembali ke Mataram lagi pada awal Januari
2024. Pada saat itu, saya berkunjung ke rumah Bapak untuk bertemu dengan putri
dan istri beliau. Mereka bercerita bahwa tiga bulan sebelum Bapak meninggal,
beliau sudah menyelesaikan semua tugas dan proyek-proyek di kampus. Jadi
setelah meninggal beliau tidak menyisakan hutang apapun dalam pekerjaan beliau.
Sepertinya beliau sudah menyiapkan semua. Putri sulung beliau berkata kepada
saya: “Mbak Eka, belakangan ini sebenarnya bapak sering sekali menanyakan Mbak
Eka. Kemana Eka? Dimana Eka sekarang? Bisakah kau mengontak dia dan menanyakan
bagaimana kabarnya?”
Saat itu saya terenyuh, hanya air mata yang membanjiri pipi
ini. Saya tidak bisa menyampaikan satu patah pun kata-kata. Lidah saya kelu,
hati saya pilu. Sakit tak terperi karena sebuah penyesalan yang tak berujung. Seandainya
saya dapat memutar roda waktu, saat itu seharusnya saya pergi menemui beliau
dan bersujud di hadapan beliau. Tetapi ah… bodoh, betapa bodohnya saya…
Saat tahu bapak sudah pergi meninggalkan raganya, sejak
malam itu juga sampai 21 hari berikutnya, saya bermeditasi dan mengirimkan
getaran kasih kepada beliau. Pada suatu ketika, saya merasakan kehadiran beliau
di alam meditasi. Rasa itu hangat dan melegakan, dan saya hanya bisa berkata: “Bapak,
maafkan kebohohan saya, maafkan saya tidak mendengarkan panggilanmu.”
Beliau hanya tersenyum dan berkata:
“Tidak ada yang perlu dimaafkan anakku. Apa yang sudah
terjadi memang harus terjadi. Bapak sudah menyelesaikan tugas bapak untuk
membimbingmu. Sekarang kau sudah bersama Gurumu yang sejati, yang kau tunggu
sekian lama. Berbahagialah. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Penyesalan yang
kau rasakan itu memang harus kau alami. Wujudkan cita-cita Gurumu, jangan
sia-siakan kehadiran beliau dalam hidupmu. Layani visi dan misinya serta
wujudkan semuanya dalam bentuk pelayanan nyata. Bapak bahagia melihatmu, kau
berkembang melebihi harapan bapak kepadamu. Berbahagialah selalu anakku. Jika
kau membutuhkan bapak, I will always be there for you. Bapak tidak kemana-mana.
Bapak akan selalu memayungi setiap langkahmu. Jangan takut. Love always.”
Setelah kepergian bapak, saya tidak berani menunda apapun
dalam hidup ini lagi. Saya akan selalu berupaya untuk mengerjakan segala sesuatu
dengan secepat mungkin. Kepergian bapak membuat saya tersadarkan bahwa waktu
bukanlah milik kita. Bahwa waktu adalah sebuah anugrah, anugrah yang bisa
diambil kapan saja oleh Dia yang memberikan kita waktu, oleh Sang Penguasa
Waktu, Sang Mahakala. Saya tidak ingin merasakan penyesalan yang sama seperti
saat saya kehilangan bapak jika suatu saat nanti Guruji pergi.
Bapak, terima kasih atas segalanya. I owe you so much
in this life. Dalam setiap langkah setelah kematian beliau, saya
merasakan hadir beliau di hati saya. Kenangan akan segala kebaikan, nasehat dan
bimbingan beliau tidak pernah terlupakan. Bapak, saya beruntung pernah
mengenalmu dalam hidup ini. Sembah sujudku padamu. Terima kasih atas
segala-galanya…
“Kepalsuan dan apa yang biasa kau anggap sebagai
kebenaran – keduanya adalah fakta kehidupan. Sementara itu, Kebenaran Tertinggi
atau Satya, melampaui keduanya. Hanyalah ketika kau berpaling
pada Kebenaran Tertinggi Itu, kau dapat memahami arti Dharma
(Kebajikan atau Kebenaran dalam Keseharian Hidup), bukan sebelumnya. Tidak
pernah sebelumnya.”
(Anand Krishna, In the Footsteps of The Master,
pp. 93)
Komentar
Posting Komentar