Kebodohan Suku Beep…
Apakah
memiliki uang dalam jumlah besar mampu membuat manusia bahagia?
Apakah
dengan memiliki anak manusia akan bahagia?
Apakah
perkawinan bisa mendatangkan bahagia?
Daftar pertanyaan di atas bisa ditambahkan sampai dengan
nomor urut tidak terhingga. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, semua
hal di atas tidaklah bisa menjamin bahwa manusia bisa menjadi bahagia. Dalam
hidup ini, tujuan utama manusia adalah mencari kebahagiaan. Dia berpikir bisa
menemukan kebahagiaan dari hal-hal di luar diri, tetapi harapan itu hanya
tinggal harapan. Semakin manusia berharap pada keadaan-keadaan di luar diri
atau pada seseorang, ia akan selalu diliputi kekecewaan dan duka derita.
Dalam kebodohannya, manusia mengejar ilusi, mengejar fatamorgana,
ujung-ujungnya dia selalu dilanda rasa kecewa yang tidak berkesudahan.
Saatnya berdongeng ria…
Alkisah di suatu wilayah yang berada di kaki Gunung Udaya,
hiduplah suku Beep… yang sangat terkenal di seantero dunia. Semua mata tertuju
pada wilayah ini, seluruh manusia dari berbagai belahan dunia datang dan
berbondong-bondong untuk mencari rejeki di wilayah itu. Banyak orang-orang
asing sukses untuk mendulang rejeki di wilayah dimana suku Beep… berdiam. Tetapi
dalam kebodohannya, penduduk suku Beep… tersebut malah berlomba-lomba untuk
pergi ke tempat lain, menjadi pegawai kapal pesiar yang konon katanya mereka
akan dapat uang banyak. Mereka tidak berpikir atau otaknya terlalu tumpul karena
tidak pernah dipakai berpikir, bahwa dengan uang yang konon besar itu, pengeluaran
dan biaya hidup di negeri lain tempat mereka bekerja itu sangat tinggi. Tapi
begitulah suku Beep…, bodohnya ga ketulungan.
Yang lebih miris adalah nasib kaum perempuannya yang
tertindas oleh adat patriaki mereka. Masyarakat suku Beep… percaya bahwa setiap
rumah tangga harus memiliki anak laki-laki karena konon anak lelaki adalah
penerus garis keluarga. Kaum perempuan yang tidak mampu melahirkan anak
laki-laki akan mendapatkan stigma negatif dan akan sangat diremehkan oleh keluarga
pihak suami. Jika anak perempuan suku Beep… menikah, mereka harus keluar dari
rumah, tidak akan pernah mendapatkan sepeser pun warisan. Jika mereka bercerai
dengan suami mereka, maka pihak keluarga pun tidak akan sepenuhnya bisa menerima
mereka. Oh, malangnya nasib kalian perempuan suku Beep…, tetapi anehnya mereka
menerima nasib mereka dan berkata: “Emang dari sononya udah kayak gitu.” Nasib
seperti itu mereka anggap kodrat, dan mereka menerima mentah-mentah penindasan
seperti itu.
Hal lain yang tidak kalah mengenaskan adalah pola asuh anak
laki-laki suku Beep… Ibu dan Ayah mereka akan menganggap anak laki-lakinya adalah
raja, prince, tidak boleh susah, harus dilayani dalam segala hal. Anak
laki-laki suku Beep… beranggapan bahwa tanpa kerja keras mereka akan
mendapatkan segala hal dalam kehidupan ini. Mentalitas ini membuat mereka
menjadi lemah, egois dan tidak memiliki harga diri.
Dalam sebuah kasus yang saya amati selama hampir 37 tahun,
seorang anak laki-laki dari suku Beep… mengabaikan dan meninggalkan orang tuanya.
Surat tanah digadaikan, uang orang tua yang dititipkan padanya yang jumlahnya ratusan
juta, serta sebuah mobil yang cukup berkelas lenyaplah sudah. Anak tersebut
tidak menyelesaikan beberapa proyek yang ia dapatkan, padahal semua uang sudah
diberikan oleh sang pemberi proyek. Orang-orang yang berkerja dalam proyek itu
tidak dibayar, dibungkam untuk tidak melaporkan hal tersebut pada ayahnya. Para
pekerja tersebut, yang hanya mengandalkan pendapatan mereka sebagai buruh
lepasan kemudian memberanikan diri untuk melapor, dan terbongkarlah kasus
penipuan yang dilakukan oleh sang anak.
Anak laki-laki yang dibesarkan dengan cara dimanja dan selalu
dilayani seperti itu tidak akan menjadi berkah ketika dia dewasa. Anak
laki-laki yang dibesarkan dengan cara seperti itu pada akhirnya hanya akan
menjadi serapah bagi kedua orang tua dan masyarakat dimana ia hidup. Mereka selalu
melarikan diri dari setiap permasalahan hidup, mereka tidak akan tumbuh menjadi
pribadi yang memiliki tanggung jawab dan integritas.
Siapa yang patut disalahkan dalam kasus ini?
Hal lain yang tidak kalah penting adalah betapa kuatnya
pengaruh pergaulan…
Si anak lelaki dalam cerita kita mengawini seorang perempuan
yang dari gaya hidupnya memiliki life style yang tinggi. Tidak perlu
kerja keras, tidak mau kerja keras, tetapi maunya sukses instan tanpa upaya.
Jika ulang tahun dan liburan, harus keluar masuk hotel dan villa bersama dengan
keluarganya. Si anak lelaki ini pada akhirnya hanya menjadi sapi perah bagi istri
dan keluarganya. Si perempuan ini angkuh, salah pun, tidak akan mampu mengakui
kesalahannya. Bisa dikatakan bahwa anak lelaki ini jatuh ke dalam pelukan perempuan
yang salah dan kehilangan nyali serta taring.
Kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Silakan pembaca merenungi cerita di atas, ceritanya nyata
dari negeri di bawah kaki Gunung Udaya…
Wahai orang tua, didiklah anak-anak kalian (entah lelaki
atau pun perempuan) dengan bijak. Jadilah contoh yang ideal untuk anak-anak kalian.
Buatlah mereka paham bahwa hidup adalah sebuah kerja keras, tentang proses.
Ketika mereka dimanja dan tidak tahu arti dari kerja keras dan upaya, mereka
hanya akan tumbuh seperti burung tanpa sayap, tidak mandiri dan tidak punya
harga diri.
Wahai anak-anak, janganlah pernah kalian menjadi beban bagi
orang tua kalian. Bebaskan mereka dari segala beban. Jadilah mandiri.
Setidaknya, jikalau pun kalian tidak mampu memberi lebih, janganlah membebani orang
tua kalian secara finansial ketika kalian dewasa. Jangan bangga menjadi beban.
Jangan pernah menjadi beban bagi siapapun. Hiduplah dengan terhormat, berdirilah
di atas kaki kalian sendiri…
“Partha (Putra Partha, sebutan lain bagi Kunti,
Ibu Arjuna), ketahuilah diri-Ku sebagai Benih Abadi (penyebab) kehidupan.
Akulah intelegensia para intelektual, pun kemuliaan mereka yang mulia.”
(Bhagavad Gita, 7:10, transkreasi Guruji Anand
Krishna)
Picture
courtesy: Amel Uzunovic (www.pexels.com/photo/top-view-of-a-brain-lying-in-a-toilet-15410070/)
Komentar
Posting Komentar