Dear Radha, My Love

“Radhaku, cintaku, mulai saat ini, aku akan pergi jauh dan kemungkinan besar tidak akan kembali ke Vrindavan.”

“Krishna, jangan pergi. Aku takkan pernah bisa menjalani hidup tanpamu. Aku takkan sanggup jika tak mendengar serunai serulingmu. Aku tahu, jika pergi, kau takkan pernah kembali.”

“Kalau begitu, ikutlah bersamaku ke Mathura.”

“Tapi…”

Krishna hanya tersenyum dan memandang Radha, kemudian berguman dalam hati: “Ya Radha, aku tahu kau tak siap untuk pergi bersamaku. Kau masih memikirkan sapi-sapimu, serta keluarga yang akan kau tinggalkan. Kau berpikir, apa kata tetangga jika kau meninggalkan semua itu demi Krishna?”

Krishna berkata:

“Baiklah Radha, aku harus berangkat sekarang juga ke Mathura untuk memenuhi undangan Paman Kamsa. Sudah saatnya bagiku untuk membebaskan rakyat Mathura dari tirani Paman Kamsa.”

Krishna memandang mata Radha untuk terakhir kalinya dan berkata:

“Selamat tinggal Radha.”

Sejak saat itu, Krishna menghilang dari pandangan Radha.

Sejujurnya, tidak hanya Radha yang mengalami derita rindu karena perpisahan itu. Krishna pun mengalami derita yang serupa.

Mereka saling merindukan. Rindu yang mereka rasakan menjadi bahan bakar bagi Cinta yang bersemayam di relung sanubari yang terdalam. Yang membuat Krishna mampu menyelesaikan peran yang harus ia mainkan saat mengambil wujud avatarnya.

Bagi Radha, yang masih takut “apa kata dunia”, derita rindu itu mencabik-cabik dirinya, hingga akhir hayatnya. Radha mengakhiri kisahnya dengan penuh penyesalan, sesal karena tak berani menginjakkan kakinya ke Mathura untuk menemui Krishna. Radha harus menunggu selama 4.500 tahun untuk terlahir kembali, hanya untuk mengenang cintanya kepada Krishna. Untuk tidak lagi mempedulikan “apa kata dunia” tentang cinta mereka. Sayangnya, dia harus terlahir seorang diri, tanpa Krishna.

Pertemuan kita dengan seorang Pemandu Spiritual, dengan seorang Sadguru bukanlah sebuah kebetulan. Akumulasi karma baik selama sekian masa kehidupan membuat kita bertemu dengan sosok seorang Guru. Setelah berada di depan pintu padepokan seorang Guru kita mau apa?

Mau menunggu terus di depan pintu dan tak pernah masuk?

Mau menoleh sepintas dan lantas meninggalkan pekarangan rumah seorang Guru?

Mau mengetuk pintu rumahNya, masuk dan melanjutkan perjalanan jiwa kita bersamaNya?

Semua pilihan itu kita yang menentukan. Seorang Guru tidak akan pernah memaksakan kehendaknya. Dia pun tidak akan pernah rugi jika kita tidak mendengarkan panggilanNya. Adalah diri kita sendiri yang rugi jika tidak memenuhi undanganNya. Jangan, jangan ulangi lagi kesalahan seorang Radha. Kesalahan Radha adalah peringatan bagi kita semua, untuk tidak menyia-nyiakan berkah seorang Guru.

Seorang Guru adalah seorang pilot pesawat terbang. Untuk membawa naik penumpang ke dalam pesawat, dia harus menurunkan pesawatnya. Untuk bisa menjangkau kita dia harus “rela turun” untuk menjemput kita. Proses “turunnya pesawat” Sang Guru bukanlah proses yang menyenangkan. Seorang Guru akan menderita karena semua itu, tetapi semua itu ditanggungnya hanya karena Cinta dan Kasihnya kepada kita semua. Tetapi ingatlah, pesawat Sang Guru, tak bisa berada lama di daratan, dia harus kembali terbang dan mengudara untuk mencapai tujuannya. Kita mau naik atau tidak, itu bukanlah urusannya. Mau memanfaatkan kehadirannya atau tidak, seorang Guru takkan pernah merugi, karena Ia sedang perjalanan pulang. Adalah kerugian kita jika tak memenuhi ajakanNya. Karena, Ia yang dalam perjalanan pulang, takkan pernah lagi menurunkan pesawatnya. Entah kapan lagi seorang pilot pesawat akan datang dan menghampiri kita kembali.

Picture courtesy: www.bhaktiwallpapers.com/wallpaper/lord-radha-krishna-radha-krishna-love-shri-radha-krishna-hindu-lord-radha-krishna-radha-krishna-couple-8k-hd-phone-wallpaper-rm8g-1708786684


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum