Setangkai Bunga Kana

Dia menghilang seperti ditelan bumi, lenyap tanpa jejak, seperti jejak renang ikan-ikan di dalam air. Kemanakah aku harus mencarinya?

Salahkah jika aku menginginkannya? Meskipun dia pernah berkata bahwa dia sudah memutuskan untuk tidak menikahi dalam hidupnya kali ini.

Aku hilang arah. Belum pernah kutemukan wanita seperti dia sebelumnya. Tegas, lugas, idealis, berprinsip, cerdas, cantik, menawan dan melakoni spiritual. Kebanyakan klien-klien wanita yang kutemui memiliki kecantikan fisik, tetapi tidak memiliki daya tarik batin, dan dangkal untuk diselami.

Dia datang ke tempat praktikku atas rekomendasi salah seorang temannya yang merupakan temanku juga. Dia mengalami cedera kaki karena jatuh dari atas motor dan memerlukan terapi yang intensif untuk bisa berjalan kembali. Saat terapi pertama, dia tidak banyak bicara dan hanya sesekali menyahut jika kutanyakan beberapa pertanyaan terkait kondisinya setelah menjalani terapi. Kesannya biasa, tetapi aku merasakan sesuatu yang tidak biasa tentangnya.

Dia kembali seminggu kemudian dan menjalani sesi terapinya yang kedua. Pada saat sesi berlangsung, dia bertanya kepadaku:

“Mengapa Anda memilih berprofesi sebagai fisioterapis, Brother?”

Aku terdiam sejenak dan tidak langsung menjawabnya. Sebelumnya, tidak ada seorang pun pasienku yang pernah bertanya dan tertarik untuk mendengarkan cerita seorang fisioterafis.

Aku kemudian menjawab:

“Karena ibuku pernah mengalami kecelakaan dan tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Karena itulah, aku kemudian ingin melakukan sesuatu untuknya. Setelah menyelesaikan pendidikan profesi, aku kemudian mempraktekkan ilmu yang kupelajari kepada Ibu. Berangsur-angsur, kesehatan beliau membaik. Sejak kejadian itu, aku kemudian membuka praktik secara mandiri.”

Dia hanya menganggukkan kepalanya, dan bertanya kembali: “Anda menyukai profesi ini?”

Aku menjawab: “Ya, saya menikmatinya dan bersyukur bisa melayani banyak orang dengan mempraktekkan fisioterafi. Bagaimana dengan Anda sendiri? Bekerja dimana?”

“Saya mengajar di sebuah sekolah bernama Gurukula.”

“Aku belum pernah mendengar sekolah seperti itu sebelumnya. Apa maknanya?”

“Gurukula adalah sebuah sistem pendidikan kuno yang secara harfiah berasal dari dua kata yaitu ‘Guru’ dan ‘Kula’. ‘Guru’ bermakna pendidik/teacher, dan ‘Kula’ bermakna keluarga. Pada zaman dahulu, biasa pusat pendidikan dengan konsep Gurukula berada di tengah hutan dan para siswa tinggal bersama guru mereka dan menjadi bagian dari keluarga guru.”

“Sebuah konsep yang menarik Sister, aku juga memiliki ketertarikan pada dunia pendidikan. Aku ingin melanjutkan pendidikan ke jejang Master dan menjadi seorang pengajar di Universitas untuk berbagi ilmu.”

“Semoga cita-cita Anda menjadi kenyataan, Brother.”

“Apakah Sister sudah menikah?”

“Saya belum menikah, dan tidak ada rencana untuk menikah.”

“Mengapa? Bukankah salah satu jenjang kehidupan dalam tradisi Sanatana Dharma adalah fase Grahastya/masa untuk berumah tangga.”

“Saya sudah memikirkan selama 3 tahun sebelum mengambil keputusan tersebut. Saya berharap bisa mengabdikan diri pada dunia pendidikan, untuk mewujudkan cita-cita dan impian Guru saya di bidang pendidikan. Saya ingin memberikan waktu saya sepenuhnya untuk misi kemanusiaan ini. Sudah tidak ada agenda lain dalam hidup ini yang ingin saya lakukan. Jika orang berkeluarga, paling mereka memiliki 2-3 anak, di sekolah ini saya diberi kesempatan untuk mendidik ratusan anak. Bagi saya, semua ini adalah berkah yang tak terkira.”

Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya. Sebuah cara berpikir yang tidak biasa. Aku kagum sekaligus takjub akan pernyataannya. Mampukah orang menjalani kehidupan seperti itu? Tanpa kepentingan dan motif pribadi, hidup dengan berkarya bagi kepentingan orang banyak. Entahlah, aku sendiri tidak akan mampu.

Aku kemudian bertanya: “Apakah orang tua Anda menyetujui keputusan Anda?”

“Pada awalnya tidak. Setiap orang tua pasti berharap anaknya akan menikah. Tetapi saya sudah bulat dengan keputusan ini. Mereka akhirnya menyerah dan malas berdebat dengan saya karena mengetahui bahwa ketika anaknya telah mengambil keputusan, ia tidak akan mengubah keputusannya.”

“Bagaimana Anda menjalani hari-hari Anda di sekolah?”

“Kami biasanya mulai berkumpul pada jam 7 pagi untuk memulai meditasi singkat dan proses pembelajaran berakhir pada jam 3 sore. Setelah itu, saya akan kembali ke sekolah pada jam 5 sore untuk menemani anak-anak sampai malam.”

Sesi terapi hari itu berakhir, dan dia mengucapkan terima kasih atas sesi hari ini. Aku hanya masih tidak habis pikir dengan cara berpikirnya, sungguh cara berpikir yang sangat revolusioner. Jika banyak guru yang berpikir seperti itu, dunia pendidikan akan sangat maju.

Aku menunggu kedatangannya pada sesi berikutnya dengan antusias. Baru kali ini aku menemukan teman bicara yang far excellence. Menyenangkan rasa menemukan sesorang dengan gaya bertutur seperti itu.

Saat itu, hal lain yang mengejutkan adalah dia menghadiahi saya dua buah buku yang ditulis oleh Gurunya. Gurunya adalah spiritualis dan penulis ratusan buku spiritual yang sangat terkenal di negeri kami. Selain itu, saya juga menyukai ceramah-ceramah Gurunya. Saya pun pernah bertemu dengan Guru tersebut sebanyak dua kali.

“Bagaimana kabar Ibu Anda? tanyanya spontan.”

Aku hanya diam beberapa saat dan berkata: “Kondisi fisiknya beliau baik, tetapi mentalnya mengalami gangguan.”

“Apa yang terjadi dengan Ibu Anda?”

Aku tidak tahu harus memulai darimana cerita ini. Cerita ini terlalu menyakitkan untuk kuceritakan, tetapi entah mengapa aku ingin sekali menceritakan hal itu kepadanya. Bukan kebiasaanku untuk menceritakan hal yang sangat pribadi pada orang lain. Apalagi kepada seorang klien. Tapi, ketulusan dibalik pertanyaannya membuatku berani berterus terang.

“Setelah sembuh dari kelumpuhan fisik akibat kecelakaan. Ibu mengalami sebuah trauma lain. Beliau memiliki sebuah toko kelontong dan kemudian terbakar bersama dengan terbakarnya satu kompleks pasar di kampung kami. Toko itu adalah impian yang beliau bangun selama bertahun-tahun. Karena shock dan kaget dengan kejadian itu, kondisi mental beliau mengalami gangguan. Tidak banyak yang bisa saya lakukan lagi untuk Ibu. Aku sangat sedih dengan semua itu”

“Maafkan kelancangan saya. Apakah Anda sangat dekat dengan Ibu Anda?”

“Hmmm… Bagaimana harus kujelaskan tentang hubungan kami. Aku takut kehilangan Ibu, takut kehilangan kasih sayangnya. Sebetulnya saat kecil saya tidak terlalu dekat dengan Ibu. Saya ingin dekat dengan beliau tetapi rasanya ada dinding pemisah di antara kami berdua yang tidak bisa saya tembus.”

“Bisa dibilang hubungan Anda cukup rumit dengan beliau.”

“Ya, begitulah. Sebenarnya saya adalah anak yang tidak direncanakan oleh kedua orang tua saya. Umur Ibu sudah cukup tua dan anak-anaknya sudah dewasa dan sebagian sudah menikah. Dari cerita yang saya dengar, Ibu berusaha untuk  menggugurkan saya berkali-kali, tetapi tidak berhasil. Sejak kecil saya selalu merasa kesepian karena tidak memiliki teman bermain karena saudara-saudara saya sudah dewasa semua. Saya mendambakan kasih sayang dari Ibu, tetapi Ibu enggan untuk dekat dengan saya. Terkadang saya merasa bahwa kehadiran saya sangatlah tidak diharapkan oleh beliau. Itu membuat saya sangat sedih.”

“Apakah Anda terlahir dengan operasi caesar?”

“Ya, benar. Bagaimana Sister mengetahuinya?”

“Karena Anda bercerita bahwa Ibu Anda melahirkan dalam usia yang sudah tua. Bagi seorang perempuan, persalinan seperti itu beresiko tinggi. Jadi saya mengira Anda pasti dilahirkan dengan operasi caesar.”

“Apakah ada pengaruhnya antara seseorang yang dilahirkan melalui persalinan normal dengan dilahirkan dengan operasi caesar?”

“Ya, ada. Pengaruhnya sangat signifikan. Guru saya menyampaikannya pada sebuah buku beliau. Hal tersebut terkait dengan suplai hormon DMT (dimetiltriptamin) yang dihasilkan pada kelenjar pineal di bagian depan otak manusia. Hormon ini dihasilkan dalam beberapa kondisi tertentu. Salah satunya adalah pada saat seorang bayi dilahirkan dengan normal. Hormon ini akan memberikan kekuatan seorang bayi untuk berjuang dalam hidupnya, untuk mengatasi segala tantangan-tantangan yang dihadapinya. Bagi anak-anak yang terlahir dengan cara operasi caesar, tubuhnya tidak menghasilkan hormon DMT (Dimetiltriptamin)  sehingga dia memiliki kehendak dan daya juang yang lemah.”

“Ya, harus kuakui bahwa aku orang yang mudah menyerah dan cepat putus asa ketika menghadapi tantangan dalam hidup. Apakah tidak ada solusi bagi anak-anak yang terlahir dengan cara operasi caesar untuk menumbuhkan daya juangnya.”

“Di sekolah, kami setiap pagi memberikan meditasi dan yoga kepada anak-anak sebelum memulai pelajaran mereka. Guru saya menyampaikan bahwa meditasi yang tepat akan mampu mengatasi kekurangan suplai hormon DMT (Dimetiltriptamin) dalam diri manusia. Apalagi untuk anak-anak yang terlahir dengan operasi caesar, mereka harus diperkenalkan meditasi sejak dini sehingga menjadi mandiri. Selain itu, mereka juga harus didik dengan disiplin ekstra sehingga mereka mampu memiliki daya juang dalam menghadapi hidup.”

Pembicaraan kami berlanjut tentang meditasi dan kaitannya dengan hormon DMT (Dimetiltriptamin) secara lebih mendalam. Perbincangan yang menarik, hangat, dan sebuah sudut pandang menarik dari orang yang menekuni dan mempraktekkan meditasi selama bertahun-tahun dengan penuh disiplin. Aku mengagumi keluasan wawasannya yang membuatnya menyenangkan untuk diajak berbicara. Gaya bicaranya mampu membius pendengarnya dengan selingan cerita-cerita menarik yang tidak pernah membuatku merasa bosan. Dalam hati aku hanya berkata, jika aku diberikan sebuah kesempatan dan anugrah dalam hidup ini, anugrahkanlah seorang wanita seperti ini yang akan menjadi pendampingku atau setidaknya berikanlah aku seorang kekasih seperti dia.

Kondisi kakinya berangsur-angsur membaik setelah menjalani 10 kali terapi intensif denganku. Aku bahagia dengan kemajuan kondisinya, tetapi di satu sisi juga aku juga sedih. Mungkinkah kami bertemu kembali setelah dia sembuh. Maukah dia datang untuk menemuiku lagi?

Aku mengaguminya, benar-benar mengaguminya. Apakah ini cinta? Aku tidak tahu, aku tidak memahami gejolak rasa ini. Ingin kukatakan kepadanya betapa aku mencintai dan mendambakannya menjadi kekasihku. Tetapi aku tahu bahwa itu tidak mungkin terjadi, dia sudah mengambil keputusan dalam hidupnya untuk tidak menikah. Sementara aku masih ingin menjalani hidup berumah tangga, ingin memilki istri dan kekasih seperti dia. Perasaan ini benar-benar membuatku nelangsa.

Pada sesi terakhir terapi itu, dia pamit dan memberikanku sebuah bingkisan. Aku tahu kira-kira isinya apa karena dia tahu kegemaran membacaku. Pada saat berpisah, aku mengantarkannya sampai ke gerbang depan. Di depan pintu masuk tempat praktikku, ada sebuah taman kecil yang kutanami berbagai tanaman bunga. Salah satu adalah bunga kana. Dia memandangnya dengan rasa takjub. Aku bertanya: “Apakah sebaiknya bunga ini kupetik dan letakkan di atas altar sebagai sebuah persembahan?”

“Sayang jika dipetik, bunga itu akan kehilangan kesegaran dan vitalitasnya. Biarkanlah ia tetap berada pada tangkainya sehingga setiap pengunjung yang datang bisa menikmati keindahannya,” katanya sambil tersenyum simpul.

Hari itu adalah hari yang tidak terlupakan. Setangkai bunga kana itu menjadi saksi bisu atas perpisahan kami. Ingin sekali kutakakan kepadanya bahwa aku sangat mencintainya, sangat mendambakannya. Tetapi lidahku kelu, dan tidak sepatah pun kata keluar dari bibir ini. Aku tidak memiliki keberanian untuk mengatakan semua yang kurasakan kepadanya.

“Seorang panembah tidak meminta kepada Gusti untuk mengetuk pintu hatinya. Karena Gusti sudah berada di dalam hatinya.”

(Anand Krishna, In the Footsteps of the Master, pp. 147)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum