Menjadi Guru, Perjalanan Indah Tanpa Akhir

To Beloved Guruji Anand Krishna and Ma Archana:

Goresan pena ini

Kupersembahkan kepadaMu,

Wahai Guru, objek devosiku

Karya ini berasal dariMu

Kupersembahkan kembali kepadaMu

Semoga hati dan pikiranku senantiasa tertuju padaMu

 

Sedari kecil, ketika ditanya oleh teman-teman atau guru di sekolah, apa cita-citamu? Saya selalu menjawab, saya ingin menjadi dokter. Mengapa? Saya pun sebenarnya tidak punya alasan spesifik, hanya saja bagi pikiran saya sebagai anak kecil, dokter adalah profesi yang keren.

Seiring berjalannya usia, saya kemudian berpikir ulang saat akan menamatkan SMA di Kota Mataram. Saat itu, di akhir tahun 2002, biaya untuk masuk fakultas kedokteran sudah mencapai 200-an juta. Meskipun sebenarnya ayah sudah menyanggupi biaya kuliah itu, saya kemudian berpikir ulang. Haruskah saya membiarkan kedua orang tua saya pontang-panting dan menjual lahan mereka untuk membiayai sekolah saya? Dengan tegas saya katakan kepada diri saya, itu tidak boleh terjadi.

Saya kemudian banting stir dan mengambil kuliah jurusan Biologi. Mengapa? Alasannya sederhana saja, karena saya menyukai pelajaran Biologi semasa SMA. Cita-cita saya pun berubah, saya kemudian ingin menjadi seorang dosen Biologi. Sejak tahun 2004, saya bekerja paruh waktu di kampus dan menjadi asisten dosen. Setelah menamatkan S1 saya kemudian diangkat menjadi seorang dosen muda di salah satu kampus swasta di Mataram.

Saya menyukai pekerjaan sebagai dosen, menikmati waktu yang saya habiskan bersama dengan mahasiswa saat mengajar. Selama 4 tahun mengajar di dunia perguruan tinggi, saya menyadari satu hal. Tidak mudah untuk mengubah sifat dan kebiasaan-kebiasaan mahasiswa. Mereka sudah bukan tanah liat lagi yang bisa dibentuk, mereka sudah menjadi tembikar dan vas bunga, sulit sekali untuk dibentuk ulang. Dengan kesadaran itu, muncul pikiran lain, jika ingin mengubah keadaan, saya harus mengajar dari level kelas kecil, bila perlu mengajar SD.

Seiring berjalannya waktu, pada pertengahan tahun 2012, saya mendapatkan beasiswa Australia Development Scholarship untuk jenjang S2 yang dibiayai oleh pemerintah Australia. Kemudian, saya berangkat untuk menempuh pendidikan di Kota Adelaide (Australia Selatan) pada awal tahun 2013.

Pada akhir tahun 2014, saya mendapatkan sebuah guncangan dalam perjalanan hidup. Hal yang paling saya takutkan terjadi, dan jujur saya tidak siap untuk menghadapi semua itu. Saya patah hati, orang yang paling saya harapkan dalam hidup mengecewakan saya. Saya tidak pernah mengalami kekecewaan seberat ini sebelumnya. Jujur, ini adalah kasus patah hati paling parah yang saya alami dalam hidup.

Setelah kembali lagi ke Mataram pada awal 2015, pihak kampus meminta saya untuk kembali mengajar. Saya kemudian meminta diberi waktu untuk berpikir. Setelah berpikir selama 2 minggu, saya memutuskan untuk tidak akan mengajar lagi di kampus. Yang terpikir adalah, saya hanya ingin keluar dari Kota Mataram. Saya tidak ingin lagi berada di Mataram.

Saat itu, saya berada di titik nadir, di titik terendah dalam hidup saya. Saya kehilangan arah dalam hidup. Saya tidak tahu harus apa, saya hanya mengikuti arus kehidupan, terseret ke sana kemari tak tentu arah. Setelah kakek meninggal pada awal September 2015, di akhir September 2015, saya bertemu Guruji Anand Krishna. Sejak tahun 2007, saya sudah mulai membaca buku-buku beliau dan sangat mengangumi pemikiran-pemikiran beliau. Pertemuan dengan Guruji mengantarkan saya untuk bertemu dan mengenal Ma Archana.

Setelah pertemuan dengan Guruji, saya sering bolak balik Lombok – Bali untuk mengambil beberapa workshop yang diselenggarakan oleh L’ayurveda (tempat Ma Archana bekerja dan menjadi direkturnya). Salah satu workshop yang saya ambil dengan Ma Archana, yang mengubah segala-galanya dan menyembuhkan saya dari patah hati adalah workshop Liberating Karmic Binding. Selain Ma Archana, Guruji Anand Krishna juga memberikan beberapa materi dalam workshop tersebut. Dan pertanyaan saya pada Guruji mengenai sesuatu kemudian dibalas dengan pertanyaan lain oleh beliau: “Mengapa kamu tidak kembali saja ke Bali dan melakukan sesuatu untuk tanah kelahiranmu?”

Kembali ke Bali setelah 17 tahun meninggalkan Bali? Saya bingung. Tetapi kata-kata Guruji bagaikan hantu dan bergema dalam diri saya, yang membuat saya memikirkan kata-kata itu siang dan malam. Beberapa minggu kemudian, salah seorang kawan di Mataram memberikan saya kabar, bahwa ada lowongan pekerjaan di Canggu sebagai seorang sekretaris di sebuah restoran besar yang baru dibuka. Saya memasukkan lamaran ke sana dan beberapa minggu kemudian dipanggil untuk interview. Saat interview, saya datang ke Bali hanya untuk tujuan itu, bukan untuk bekerja. Tetapi aneh, saya diterima, meskipun sebenarnya untuk posisi itu, saya overqualified. Keesokan harinya saya diminta langsung masuk kerja oleh bos saya (orang Perancis). Saya menyanggupinya asalkan diberikan izin pada saat weekend kembali ke Mataram untuk mengambil barang-barang yang belum terbawa.

Sambil bekerja, saya mengikuti kelas meditasi dan yoga regular di Anand Krishna Centre Kuta. Tiga bulan lamanya saya bekerja di Canggu, kemudian One Earth School menamatkan lulusan pertama untuk SD dan akan membuka SMP. Salah seorang fasilitator yoga meminta saya untuk memasukkan lamaran ke One Earth School karena membutuhkan guru SMP. Saya diinterview secara informal selesai mengikuti kelas meditasi bersama Guruji di Anand Ashram Ubud oleh Ketua Yayasan Pendidikan Anand Krishna dan diterima menjadi guru.

Keesokan harinya saya menghadap bos saya di restauran, dan saya mengatakan bahwa akan mengundurkan diri dari restauran. Bos saya hanya tersenyum dan berkata: “I am happy that finally you find the job that you love. You are meant to be a teacher. Go, and have a happy life.” Saya hanya melongo dengan respon bos saya. Saya pikir dia akan marah karena saya berhenti secara mendadak, ternyata tidak. Again, miracle? Entahlah. 

Saya menjalani hari-hari yang bahagia selama di One Earth School. Tantangan tetap ada dan selalu ada, tetapi saya bahagia. Saya tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Hal yang menarik pada awal mengajar, saya menjadi wali kelas 7 dan harus mengajar hampir semua mata pelajaran untuk SMP (kecuali Matematika) karena tidak ada guru lain. Challenging, ya. Tetapi kondisi ini membuat saya belajar banyak hal, mempelajari hal-hal baru dalam kehidupan ini.

Pada tahun kedua, ada tantangan lain. Saya harus menjadi wali kelas 7 dan 8 serta mengajar secara paralel. Karena tidak ada ruangan, kelas 7 dan 8 ditempatkan pada 1 kelas yang sama, jadi guru yang mengajar harus mengajar secara paralel dengan materi yang berbeda untuk 2 level kelas yang berbeda. Untung anaknya sedikit (kelas 7 berjumlah 6 orang dan kelas 8 berjumlah 5 orang). Tidak mudah, tetapi saya bisa melakukannya dengan baik.

Cerita pada tahun berikutnya lebih seru. Saya diminta untuk mengajar mata pelajaran Science untuk SD kelas 1 – 6. Awalnya saya shock, saya tidak punya pengalaman mengajar anak SD, apalagi mengajar kelas 1, 2 dan 3. Saya terbanyang akan begitu susahnya mengelola kelas dan meminta mereka untuk duduk tenang. Dua minggu pertama mengajar SD, saya benar-benar kewalahan menghandle mereka. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya terbiasa dan menemukan pola pengajaran yang tepat untuk mengajar anak-anak kecil. Menyenangkan ternyata menjadi guru SD, saya bisa tertawa dan bermain-main dengan anak-anak.

Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya adalah saya mendapatkan kesempatan merentangkan kemampuan saya dalam mengajar; lintas mata Pelajaran (Biologi, Bahasa Indonesia, Prakarya, Science, PKN, IPS, Seni, Bahasa Inggris), serta lintas jenjang (SD – SMA). Semua ini memperkaya diri saya dengan pengalaman-pengalaman berharga yang tidak bisa dinilai dari uang. Selain sebagai guru, saya juga menjadi fotografer, mengelola website dan social media sekolah, serta mengelola perpustakaan.

Salah satu pengalaman berkesan saat di One Earth School adalah teguran dari Ma Archana saat saya memotong rambut saya pendek sekali. Di Kuta, cuacanya panas sekali dan memelihara rambut panjang membuat saya tidak nyaman karena kegerahan. Tetapi Guruji rupanya tidak menyukai penampilan saya dan meminta Ma Archana untuk menegur saya.

“Eka, kamu harus memanjangkan rambut kamu kembali. Tidak harus panjang sekali, sebahu oke lah.”

“Kalau boleh tahu alasannya apa ya Ma? Jujur saya kegerahan di Kuta karena cuacanya panas sekali dan airnya agak bergaram sehingga rambut menjadi rontok.”

“Kamu itu seorang guru dan harus tampil keibuan. Rambut terlalu pendek seperti ini membuat kamu terlihat “macho” dan sisi femininnya hilang. Saya hanya menyampaikan ulang apa yang Guruji sampaikan kepada saya tentang kamu.”

Saya mengikuti saran Ma Archana dan memanjangkan rambut saya kembali menjadi sebahu. Not bad lah. Ketika saya bandingkan foto saya ketika rambut pendek (cepak) dengan lebih panjang memang terlihat berbeda. Ma Archana is right. Memiliki seorang Guru adalah berkah tersendiri, bahkan pada detail-detail kecil yang kelihatan sepele diperhatikan juga. Thank you Guruji, thank you Ma Archana. I owe you both a lot in this life. Terima kasih karena senantiasa menjadi inspirasi bagi saya, membuat saya berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Terima kasih atas segala-galanya.

“Spiritualitas bukanlah topik untuk didiskusikan. Spiritualitas adalah Aroma Kehidupan yang mesti diaplikasikan setiap saat. Spiritualitas adalah tentang berkarya untuk kesejahteraan semua mahkluk hidup dan menikmatinya. Spiritualitas adalah tentang mendedikasikan hidupmu untuk kesejahteraan umat manusia tanpa kepentingan pribadi.”

(Guruji Anand Krishna, In the Footsteeps of The Master, hal. 136)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum