The Power of Story Telling
"Without a clear vision of life, you like
a blind person, knowing not which way to go or move. You go on living like any
other animal - eating, drinking, copulating, sleeping and merely growing
without progressing and evolving."
-
Anand Krishna, This is Truth, That too is Truth,
p. 318
Kemarin, Sabtu, 23 November 2024, bertepatan dengan Sri
Sathya Sai Jayanti (Hari Kelahiran Sri Sathya Sai Baba), guru dari guru
saya Bapak Anand Krishna, saya bertemu dengan sahabat lama. Kami bertemu
terakhir sekitar 10 tahun yang lalu setelah menamatkan S2 dari Flinders
University di Australia.
Sabahat tersebut bercerita bahwa ia sedang kursus PDT (Pre-Departure
Training) selama 4 bulan di IALF Bali karena akan melanjutkan S3 di Charles
Sturt University. Ia harus mengambil S3 karena tuntutan pekerjaan sebagai
seorang peneliti sosial, jika tidak melanjutkan sekolah, maka terancam untuk
pensiun dini.
Story Teller |
Kami banyak membahas tentang parenting dan
dunia pendidikan. Saya bercerita bahwa cara paling mudah memasukkan
informasi untuk memprogram seorang anak kecil adalah dengan melakukan story
telling sebelum tidur. Dalam ilmu hipnoterapy, saat akan memasuki
alam tidur, gelombang otak kita berada dalam kondisi yang sangat peka/reseptif
untuk menerima informasi. Input/informasi yang dimasukkan pada momen
memasuki alam tidur akan tersimpan sangat dalam pada memori kita.
Ketika saya flashback ke masa kecil, saya mengingat
momen-momen saat kakek saya mendongeng setiap malam, sebelum saya
tertidur lelap. Masa-masa itu adalah masa golden age dalam
perkembangan otak saya, kurang lebih pada kisaran usia 2 tahun sampai saya
memasuki kelas 3 SD. Sampai saat ini, ketika dewasa, kenangan didongengi
setiap malam adalah kenangan yang sangat “memorable”. Saya
memiliki bonding yang begitu kuat dengan kakek saya.
Kakek pernah bercerita bahwa dia sangat mengharapkan
kelahiran saya dan berharap cucu pertamanya berjenis kelamin perempuan. Saya
tanya kenapa pada beliau: “Kenapa kakek mengharapkan cucu perempuan, bukan cucu
laki-laki?” Sementara di Bali secara budaya, kehadiran seorang anak atau cucu
lelaki adalah dambaan setiap keluarga.
“Karena anakku hampir semuanya laki-laki dan mereka sangat
membosankan, jadi aku menginginkan cucu perempuan. Jumlah laki-laki di keluarga
ini sudah terlalu banyak.”
Kakek memiliki 7 orang anak dan 6 diantaranya adalah
laki-laki. Jadi ketika saya terlahir, dan berjenis kelamin perempuan, beliau
senang bukan kepalang. Harapannya memiliki cucu perempuan terkabulkan.
Kakek pernah berkata:
“Saat kamu terlahir, kami mengira kamu sudah mati dalam
kandungan ibumu. Ibumu pecah ketuban diri dan posisi lahirmu sungsang. Butuh
waktu bagi Kakek Jasni (dukun beranak yang membantu persalinan ibu) untuk
memijat perut ibumu sehingga posisi kepalamu tepat berada pada jalan lahir. Butuh
waktu berjam-jam bagi Kakek Jasni untuk membalik posisi kepalamu dan saya
sangat berharap kamu tetap hidup. Setelah beberapa jam kemudian, kepalamu
berhasil diputar dan akhirnya terlahir dengan penuh perjuangan.”
Saya hanya membayangkan bahwa ilmu Kakek Jasni sangat
canggih, zaman itu di desa kami, belum ada dokter, belum ada operasi Caesar.
Tidak terbayang ilmu kesehatan tradisional kita memiliki kemampuan untuk
membalikkan posisi kepala bayi yang sungsang sehingga bisa terlahir normal.
Saya yakin ilmu kedokteran modern tidak akan bisa mengajarkan semua itu pada
para dokter mereka. Ilmu persalinan yang dimiliki oleh Kakek Jasni adalah ilmu
warisan keluarga yang beliau dapatkan dari tetua di keluarga mereka. Sayangnya,
setelah beliau meninggal ilmu itu tidak ada yang mewarisi.
Setelah saya cukup besar, kakek suka mengajak saya
jalan-jalan dan salah satu hal yang beliau ceritakan saat mengajak saya ke
Pasar Tabanan. Jarak antara rumah kami dan Pasar Tabanan kurang lebih 7 km, dan
beliau mengajak saya dengan berjalan kaki. Zaman itu, tahun 1980-an,
transportasi masih sangat terbatas dan tidak ada pilihan lain selain berjalan
kaki.
Setiap kali berdongeng, hampir setiap malam, kakek
menceritakan cerita-cerita rakyat yang kaya akan nilai-nilai kehidupan seperti
Bawang Merah & Bawang Putih, Ayam Hitam & Musang, Ni Tantri, Harimau &
Kancil, serta cerita rakyat lainnya. Beliau adalah seorang pendongeng yang luar
biasa, dan saya terhipnotis untuk masuk ke dalam cerita beliau.
Setelah dewasa saya baru sadar bahwa dengan cara seperti
itulah kakek menanamkan nilai-nilai kehidupan dan Budi Pekerti kepada saya. Nilai-nilai
kehidupan dari dongeng-dongeng itu mencakup nilai kejujuran, kedisiplinan, kebajikan
akan selalu jaya, kerja keras, dan masih banyak lagi.
Saya merasa bahwa kegemaran dan kecintaan saya pada buku
juga bermula dari kebiasaan didongengi tiap malam. Saya menjadi orang yang senang
berimajinasi karena dongeng. Selain itu, kata-kata kakek yang terekam kuat
dalam memori saya adalah: “Jika kamu bisa melakukan segala sesuatu sendiri,
pantang bagimu untuk minta bantuan pada orang lain. Kamu harus mandiri dalam
segala hal, kakek tidak akan selalu ada untuk kamu.”
Kata-kata itu terekam begitu dalam menjadi blue print
dari filosofi hidup saya, untuk tidak mudah menyerah menghadapi
kesulitan apapun dalam hidup. Bagi saya, apapun dalam hidup ini bisa kita raih
asalkan kita terus berupaya dan tidak menyerah. Batasan ada dalam diri kita,
ada dalam pikiran kita. Jika kita pikir mungkin maka semuanya menjadi mungkin.
Jika kita pesimis dan ragu, maka itulah yang akan terjadi. Kesuksesan adalah
sebuah perjalanan, bukan hasil akhir. Guru saya selalu mengatakan, bahwa kesuksesan
adalah bagaimana kita bisa bangkit kembali setiap kali kita terjatuh, tersandung
kerikil-kerikil kehidupan.
Selain melakukan story telling setiap malam, kakek
saya mengajarkan saya kerja keras sejak saya menginjak SD. Kakek meminta saya
memelihara unggas seperti ayam dan bebek. Saya harus merawat unggas tersebut
dan harus pintar mengatur waktu antara mengerjakan tugas sekolah dan mencari
makanan unggas tersebut di sawah. Bahkan saat weekend saya hampir tidak
memiliki waktu bermain karena harus mengurus sawah. Waktu itu saya sering kali
protes, kenapa cucu-cucunya yang lain dibiarkan santai dan saya harus kerja
banting tulang seperti kerbau. Beliau tidak pernah menjawab pertanyaan saya,
dan saya baru menemukan jawabannya ketika tumbuh dewasa.
Kebiasaan bekerja keras membuat saya menjadi orang yang
tidak mudah mengeluh ketika memasuki dunia kerja. Going the extra mile
merupakan hal yang biasa saya lakukan sejak kecil. Membuat saya memiliki semangat
untuk senantiasa meningkatkan diri dengan belajar hal-hal baru sehingga bisa
beradaptasi dengan perubahan seberat apapun. Selain itu, saya juga mempelajari time
management, kapan harus belajar, kapan harus bermain, kapan waktunya untuk mengurus unggas, dan
kapan waktu untuk mengurus sawah.
Harta paling berharga yang diwariskan oleh kakek bukanlah berupa uang, tetapi berupa nilai-nilai kehidupan yang membuat saya menjadi adaptif terhadap perubahan. Uang datang dan pergi, tetapi nilai-nilai kehidupan dan karakter akan menjadi bagian dari pribadi manusia, yang tidak bisa dirampas, dicuri dan dirampok. Nilai-nilai kehidupan seperti itu adalah permata dalam diri manusia. Manusia menjadi bersinar karena karakternya, bukan karena kekayaan materi yang hanya bersifat sementara. Semua itu saya miliki dalam hidup karena The Power of Story Telling. Terima kasih kakekku, I Wayan Wija.
"The most powerful person in the world is
the story teller. The story teller sets the vision, values and agenda of an
entire generation to come."
Steve Jobs
Picture
courtesy: story teller (https://michaelallenwilliamson.com/the-surprising-advantages-of-being-a-storyteller/)
Komentar
Posting Komentar