3D (Discipline, Determination, and Devotion) Part 1
DISCIPLINE
Disiplin, sebuah kata yangs seringkali menjadi momok bagi
sebagian besar orang. Padahal disiplin adalah kata kunci dalam kesuksesan setiap
orang. Guruku sendiri pernah berkata bahwa “anak-anak membutuhkan disiplin ala
militer” (Anand Krishna, 2020). Jika orang tua dan guru tidak mampu menerapkan
disiplin untuk anak-anak, maka bangsa ini akan menuju ke arah kehancuran. Disiplin,
tentunya memang harus dilandasi kesadaran. Sadar bahwa kitalah yang membutuhkan
disiplin, bukan disiplin yang membutuhkan kita.
Dalam perjalanan ini, aku sangat beruntung, bertemu dengan
orang-orang yang mendidikku dengan penuh disiplin sedari kecil. Selain itu, aku
ingin menghaturkan rasa terima kasihku yang sebesar-besarnya kepada seorang
pelatih silatku di Perguruan Merpati Putih, Mas Fahmi Rajab. Beliaulah yang
menanamkan disiplin ala militer yang membentuk diriku menjadi pribadi yang
tangguh dalam urusan disiplin. Aku akan menceritakan kisah bagaimana beliau
menempa diriku sehingga menjadi seperti sekarang.
Saat masuk SMA, aku sebenarnya belum tahu apa yang aku mau.
Yang masih terlintas dalam pikiranku hanyalah, aku ingin masuk kedokteran.
Untuk hal-hal lain yang terkait ekstrakulikuler di sekolah, aku tidak ada ide
sama sekali. Sampai akhir penutupan Masa Orientasi Sekolah, setiap
ekstrakulikuler di sekolah unjuk kebolehan mereka di depan para siswa baru.
Mereka mendemontrasikan banyak hal untuk menggaet siswa baru untuk bergabung
dengan klub mereka. Hingga tiba waktu untuk klub ekstrakulikuler Perguruan
Pencak Silat Merpati Putih beraksi, aku terpukau. Mereka mendemostrasikan
gerakan-gerak silat yang lincah, tegas dan bertenaga, aku terkagum-kagum dan
terpukau. Belum lagi saat beberapa anggota mereka mematahkan beton dan besi
dragon berwarna hijau dengan tangan kosong mereka. Wah, itu hebat! Bahkan ada
yang mematahkan beton dengan sundulan kepala, aku terpekik antusias saat mereka
melakukan adegan itu. Keren…
Aku kemudian bergabung dengan Perguruan Silat Merpati Putih. Pelatihku, Mas Fahmi adalah orang yang sangat disiplin dalam segala hal. Jika main-main saat latihan, maka beliau akan mendisiplinkan kami dengan push up atau berlari keliling lapangan. Bolos saat latihan adalah hal paling kami hindari karena hukumannya tidak main-main. Sehari tidak mengikuti latihan berdampak sangat serius pada sesi latihan berikutnya. Jika tidak hadir kami dihukum lari keliling lapangan minimal 20 kali dan rol depan di lapangan basket 1 putaran. Jujur aku sangat getir jika tidak mengikuti latihannya, karena hukumannya tidak tanggung-tanggung.
Saat latihan juga kami tidak pernah berani main-main, salah
dalam melakukan gerakan pasti akan didisiplinkan dengan push up minimal 20
kali. Awalnya memang terasa sangat berat mengikuti disiplin ala Mas Fahmi. Tetapi
lama-kelamaan aku menikmatinya karena aku menyadari bahwa aku membutuhkan
disiplin seperti itu untuk keberlangsungan hidupku di masa depan. Jika sakit
kadang aku masih memaksakan diri untuk datang ke tempat latihan karena aku tidak
ingin melewatkan setiap latihan yang aku jalani. Saat melihatku pucat justru
beliau malah marah dan menyuruhku pulang dan tidak berlatih. Aku memohon untuk
tidak dipulangkan dan ikut berlatih. Tetapi beliau memaksaku untuk pulang dan
beristirahat. Terpaksa akhirnya aku pulang mengikuti perintahnya.
Mas Fahmi tidak hanya mengajarkan kami untuk disiplin dalam
segala hal saat berlatih tetapi dalam kehidupan sehari-hari kami juga. Bagi
beliau, disiplin waktu adalah segala-galanya. Waktu yang hilang tidak akan
pernah kembali, dan jika kita menyia-nyiakan waktu maka kita menyia-nyiakan
kehidupan itu sendiri. Beliau sangat strick
jika berurusan dengan disiplin waktu. Disiplin yang beliau tanamkan membuat
kami cekatan dan licah dalam bergerak dan mampu menguasai jurus-jurus yang
diajarkan dengan cepat. Kami juga harus belajar ekstra keras untuk menguasai
jurus-jurus yang diajarkan, karena salah melakukan satu gerakan akan
mendapatkan konsekuensi berupa push-up 20 kali.
Satu hal yang paling kuingat bagaimana beliau mendorongku
untuk bertarung menghadapi seorang senior perempuan dalam sebuah kejuaran antar
kelompok latihan tingkat lokal. Waktu itu aku masih “anak bawang”, masih
kuingat bagaimana aku didera ketakutan karena harus melawan seorang senior yang
levelnya 3 tingkat di atasku. Senior tersebut terkenal sangat ganas saat
bertarung dan menjatuhkan lawan-lawannya dengan mudah. Beliau meyakinkanku pada
saat latihan khusus untuk persiapan menghadapi kejuaran bahwa aku bisa
menghadapinya.
Beliau berkata: “Sebagai pelatimu, Mas tidak berharap kamu
menang menghadapi senior tersebut, yang Mas harapkan adalah kamu belajar
mengatasi rasa takutmu. Lawan dia, hadapi dia dengan berani sebagaimana kamu biasa
bertarung selama kita latihan. Menang atau kalah bukanlah urusan kita, tugasmu
hanya memberikan perlawanan terbaik yang mampu kamu berikan, dan melampaui rasa
takutmu. Eka, kamu mampu menghadapinya, Mas tahu kemampuanmu.”
Saat kejuaran berlangsung, aku memberikan perlawanan
terbaikku. Aku tidak ciut menghadapi senior tersebut. Aku memang kalah, tetapi
tidak menjadi bulan-bulannya, aku bisa memberikan pukulan dan tendangan balasan
untuk mengimbangi penampilannya. Selesai pertandingan itu, ketakutanku sirna,
dan kepercaayan diriku bertambah, meskipun aku kalah. Aku berhasil menaklukkan
rasa takutku.
Ketika kita berani menghadapi rasa takut, dan melewatinya,
maka rasa takut itu tidak akan menghantui kita kembali. Rasa takut memang
nyata, HADAPILAH! Jangan pernah melarikan diri! Jangan menjadi pengecut dan
ciut menghadapi tantangan hidup, karena kehidupan hanya dapat dijalani oleh
para pemberani.
Picture courtesy: https://bit.ly/3aR710F
Komentar
Posting Komentar