Total Sukses Mozaik IX: Persistance - Ketekunan
“Ketekunan, tidak putus asa, tidak patah
semangat, tidak berhenti dalam perjalanan… Tidak berhenti sebelum mencapai apa
yang diniatkan. Itulah ketekunan.”
(Guruji Anand Krishna, Total Sukses, pp. 135)
Aku lupa akan apa yang pernah terjadi dengan kawan karibku
tersebut dan melakukan kebodohan yang sama seperti apa yang dia lakukan. Sebenarnya
ini bukan cerita baru, cerita lama yang terulang kembali, meskipun beliau telah
mengingatkan aku berkali-kali, tentang kelemahanku. Kelemahan yang bisa beliau
lihat dengan jelas, tetapi aku tidak mampu memahaminya sepenuhnya.
Aku menyukai seorang kawan perempuan di kelasku dan aku
tidak bisa menahan diri untuk tidak bersamanya. Meskipun semester lalu aku
pernah berkata padanya bahwa aku akan fokus pada masa depanku dulu, dan meraih
cita-citaku. Aku berjanji dua hal pada guruku bahwa aku akan berkomitmen penuh pada
pelatihan yang beliau berikan dan tidak pacaran. Hanya dengan berbekal dengan 2
janji tersebut guruku berkomitmen penuh untuk membimbingku tanpa lelah.
Yang aku tahu tentang beliau, jika sudah berkomitmen
terhadap sesuatu, beliau akan memenuhinya, dan pantang mundur sebelum semua itu
terwujud. Beliau berkomitmen penuh sebagai seorang pembimbing dan aku lupa akan
komitmenku, mulai mengejar kawan perempuan itu kembali, berdua-duaan di dapur
dan di tempat lain dimana ada kesempatan. Dimana ada aku, maka dia akan
menghampiriku sehingga kami memiliki kesempatan untuk berduaan saja. Ada
pepatah bilang, sepandai-pandainya tupai melompat, maka sesekali akan jatuh
juga. Ada yang memperhatikan tingkah laku kami dan melaporkannya pada guru.
Guruku kemudian memanggil kami. Aku kemudian menghadap
beliau secara pribadi dan diajak berbicara 4 mata. Beliau bertanya:
“Ibu dengar kamu mulai pacaran lagi dengan Medha, apakah
itu benar?”
Aku membantah: “Aku tidak pacaran dengan dia, Ibu. Aku
hanya berbincang-bincang dengan dia, membicarakan tentang rencana masa depan
kami masing-masing.”
“Berbincang-bincang secara sembunyi-sembunyi. Jika memang
niatmu hanya untuk berbagi pengalaman mengapa tidak melakukannya di aula
sekolah saja. Mengapa harus berdua-duaan saja di lantai dua? Jujur, apa niatmu
di balik semua itu?”
Aku terpojok dan tidak bisa mengatakan sepatahpun kata.
Kata-kata beliau terasa tajam dan menusukku. Aku masih berusaha menahan air
mataku supaya tidak menangis. Aku merenung dan bertanya cukup lama kepada
diriku. Apakah niatku baik dengan berdua-duaan saja dengannya? Apakah aku jujur
kepada diriku sendiri tentang niatku padanya?
“Baik, jika memang itu yang kamu mau. Silakan kamu pacaran
dengan temanmu itu. Lupakan sekolahmu. Lupakan bahwa kamu punya guru yang galak
seperti Ibu, dan Ibu tidak akan mau membimbingmu lagi. Ibu tidak akan mau
mengajarkan kamu IELTS lagi dan tidak akan ada lagi sesi diskusi malam bersama
dua kawanmu yang lain bersama Ibu. Lupakan tentang rencana masa depanmu,
silakan merajut masa depanmu dan menikah saja dengan anak perempuan tersebut.
Ibu tidak mau lagi berbicara dengan kamu lagi, anggap saja bahwa Ibu sudah mati
untukmu.”
Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Aku menangis
terisak-isak di depan beliau, menyesali semuanya dan berkata.
“Ibu, aku tidak sanggup jika harus berpisah darinya.
Rasanya berat sekali jika aku harus melupakannya.”
“Jika memang itu yang kau kehendaki, maka lupakan bahwa Ibu
pernah menjadi gurumu. Mulai saat ini, anggaplah Ibu sudah mati. Kamu tidak
perlu mendengarkan nasehat Ibu lagi, mulai saat ini, Ibu tidak akan pernah
berkata sepatahpun kata padamu.”
Beliau meninggalkaku seorang diri dalam keadaan membeku.
Matanya memancarkan kepedihan dan kekecewaan yang amat sangat. Hingga beberapa
hari kemudian beliau tidak pernah mengucapkan sepatahpun kata. Beliau begitu
dingin, sedingin es di kutub selatan. Aura kepedihan terpancar begitu jelas di
matanya, ya, aku menyakiti beliau dengan sikapku. Aku tidak bisa memenuhi
komitmenku, komitmen yang aku bangun untuk merajut masa depanku. Aku lupa akan
komitmenku dan sibuk dengan urusan remeh-temeh dan mengejar-ngejar perempuan.
Masih adakah celah maaf untukku? Masih maukah beliau
memaafkan ketololanku?
Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri untuk
menghadap beliau dan berkata:
“Ibu, ini surat penyataan maafku. Maafkan aku karena telah melanggar
disiplin di asrama sekolah.”
“Kamu tidak salah, yang salah adalah Ibu terlalu galak dan
mengekang kebebasanmu. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau mulai saat ini.
Hubungan kita sebagai guru dan murid sudah berakhir. Kamu tidak perlu mendengarkan
kata-kata orang tua ini.”
Beliau berdiri dari tempat duduknya dan bersiap untuk
meninggalkan ruangan kelas. Aku langsung bersujud di kakinya, dan menangis
terisak-isak.
“Ibu, maafkan kesalahanku. Aku salah, aku mau Ibu tetap
menjadi pembimbingku seperti sebelumnya. Seperti yang selalu Ibu katakan
padaku, bahwa bukan masalah bisa atau tidak bisa. Tetapi masalah mau atau tidak
mau. Aku akui, bahwa selama ini memang aku belum sepenuhnya mau untuk meniatkan
diriku meniti masa depan. Mulai sekarang, aku akan meniatkan diri untuk
sepenuhnya fokus pada pelajaranku, menjadi seorang pelajar yang sukses dan fokus
pada rencana untu membangun start up yang
sudah aku susun bersama Ibu dan satu kawan lainnya.”
“Untuk apa semua itu, sepertinya sudah tidak penting. Yang
paling penting saat ini adalah pacaran. Bila perlu kau berhenti sekolah saja
dan melamarnya. Kehidupan berumah tangga lebih menyenangkan untuk dijalani.
Sekolah? Apa enaknya? Susah dan bikin pusing kepala. Sudahlah, lupakan
sekolahmu.”
Tangisku semakin menjadi dan semakin keras. Aku hanya bisa
menunduk malu dan menangis sejadi-jadinya. Aku menyesali semuanya, aku
benar-benar malu. Sebagai seorang siswa paling senior di sekolah, seharusnya
aku bisa memberi contoh yang baik kepada adik kelasku. Tetapi aku justru
melakukan hal sebaliknya. Aku begitu bodoh dan mengecewakan guruku yang selalu
peduli pada setiap detail perkembangan diriku. Beliau terlalu baik hati untuk
aku kecewakan seperti itu.
Aku tahu, dalam hati beliau menangis dan menjerit karena
kebodohanku. Tololnya aku menyakiti hati seorang guru seperti itu.
“Ibu, maafkan aku. Aku malu dengan diriku sendiri, aku
tidak tahu bagaimana caranya memaafkan diriku sendiri.”
Beliau hanya melihatku dan membiarkan semua tangisanku
tumpah ruah. Sudah hampir 4 tahun aku tidak bisa menangis seperti ini. Ada
banyak hal yang terjadi dalam hidupku dan semua itu menyakitiku dan aku hanya
bisa menceritakan semuanya pada beliau. Guruku, yang sudah aku anggap seperti Ibuku
sendiri. Tangisan itu, bukan hanya tangisan penyesalanku, tetapi juga semua
pendaman emosi yang menumpuk selama 4 tahun belakangan ini. Kejadian ini memicu
semua pendaman emosi dan ketakutanku keluar ke permukaan.”
Beliau kemudian berkata:
“Mau memaafkan diri, gampang. Repent and sin no more, demikianlah petuah Gurudev kepada kita
semua. Perbaiki dirimu dan jangan ulangi kesalahan yang sama.”
“Semudah itukah Bu?”
“Ya, semudah itu. Jika kamu mau meniatkan diri untuk berubah,
maka kamu akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.”
Beliau menepuk pundakku dan memintaku untuk kembali duduk.
Masih ada sedikit sisa tangis, dan beliau menatapku dengan gaya khas seorang Ibu.
“Sana, cuci mukamu dan kita akan berjalan ke halaman!”
Aku mencuci muka dan mengikuti beliau ke halaman. Beliau
memberiku coklat bar dan aku meminta izin untuk membaginya dengan teman lain
yang sedang bermain basket di halaman. Aku kemudian kembali dan duduk bersama
beliau di halaman.
“Enak dicuekin dan tidak diajak bicara sekian hari?”
“Tidak enak Ibu.”
Beliau hanya tertawa dan menepuk pundakku.
“Dasar anak tolol. Nanti jika memang sudah saatnya, kau punya banyak waktu untuk pacaran. Tetapi sekarang tugasmu adalah belajar dan menata masa depan. Jangan kecewakan kedua orang tuamu yang menaruh harapan begitu besar pada dirimu.”
“Untuk mencapai semua hal yang kau impikan dalam hidup, untuk kebaikan sebanyak-banyaknya orang, kau membutuhkan ketekunan yang luar biasa. Dengarkanlah petuah ini baik-baik:
“Nothing in the world can take the place
of persistence.
Tak
ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menggantikan ketekunan.
Talent will not; nothing is more common than
unsuccessful men with talent.
Keahlian
tidak bisa; seringkali kita melihat para ahli yang tidak berhasil.
Genius will not; unrewarded genius is
almost a proverb;
Kejeniusan
tidak bisa; para jenius yang tidak dihargai sudah menjadi pepatah lama.
Education will not, the world is full of
educated derelicts.
Pendidikan
tidak mampu, dunia ini penuh dengan orang-orang tidak berguna walau
berpendidikan tinggi.
Persistence and determination alone are
omnipotent.
Ketekunan
dan kebulatan tekad, itu saja yang maha daya.”
(Coolidge, dalam buku Total Sukses karya Anand Krishna, pp. 136-137)
Baiklah, aku akan mengejar cita-citaku,
mengejar mimpiku. Mimpi yang kurajut untuk menyebarkan visi dan misi Gurudev. Aku akan melaju seperti yang
beliau kehendaki, menjadi penerang bagi hidupku dan hidup banyak orang. Apa
yang sudah terjadi, aku telah belajar dengan sebaik-baiknya dan tidak perlu
mengulangi kesalahan yang sama. Mimpi ini, adalah mimpiMu Gurudev.
Picture courtesy: https://bit.ly/3axiKC3
Komentar
Posting Komentar