Memperhatikan Bibit Manusia Sebelum Memberi Bantuan
Memberikan bantuan kepada
orang lain merupakan tindakan mulia, tetapi ada beberapa faktor yang perlu kita
pertimbangkan sebelum memberi bantuan. Kita juga harus memilah dengan bijak
sehingga bantuan yang kita berikan tidak menjadi sia-sia di kemudian hari.
Salah satu pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah memperhatikan bibit
bebet dan bobot si penerima. Untuk lebih jelasnya, aku akan memaparkannya dalam
bentuk cerita.
Aku memiliki seorang sepupu,
anak dari adik laki-laki ayahku. Pamanku (ayah dari anak itu) meninggal sebelum
dia lahir. Beberapa tahun kemudian, ibunya meninggalkannya dan menikah dengan
laki-laki lain. Sebelum meninggal, pamanku sempat meminta ayahku untuk merawat
anaknya. Ketika anak itu lahir, adik ayah yang lain bersikeras untuk merawatnya
dan akhirnya ayahku menyerahkan hak asuhnya kepada paman tersebut.
Dari pengamatanku, anak itu
memiliki kecenderungan yang malas, tidak disiplin, bebal dan keras kepala.
Ditambah lagi dengan hampir semua orang di keluarga merasa kasihan padanya
karena tidak memiliki ayah dan ibu, sehingga pendidikan awal yang ia terima
adalah penuh dengan rasa dikasihani dan tanpa disiplin. Saat pandemic Covid-19
terjadi, kondisinya semakin bertambah parah. Sejak diberikan ponsel oleh kakak
sepupunya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, dia malah menggunakan untuk
bermain game online. Kita semua sudah tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia
sama sekali tidak pernah mengerjakan satupun tugas dan menjadi semakin kecanduan
dengan game online. Berkali-kali guru di sekolah datang ke rumah dan memintanya
untuk mengerjakan tugas, itupun tidak berhasil membuat dia berubah. Anak itu
juga tidak pernah tinggal di rumah. Dia menginap di rumah temannya dan
penampilannya selalu berantakan, baju kumal dan tidak pernah mandi
berhari-hari.
Setelah menamatkan SMP, ayah
kemudian memintaku untuk membawanya ke Mataram untuk melanjutkan sekolahnya di
sana karena pamanku sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Sejujurnya aku
ragu untuk membawanya ke Mataram, karena aku melihat benih-benih karakter tidak
baik sudah tumbuh subur dalam diri anak itu. Tetapi ayahku bersikeras akan
menyekolahkannya dan berharap dia akan berubah jika berada di lingkungan yang
baru. Aku bertaruh dalam hati bahwa itu tidak akan terjadi, tetapi demi
memenuhi janji, aku membawa anak itu ke Mataram untuk disekolahkan.
Apa yang terjadi kemudian
persis seperti perkiraanku. Untuk basic
life skill saja dia tidak bisa dan tidak peduli. Makan dan mandi harus diingatkan
berkali-kali, termasuk mencuci pakaiannya. Apalagi sopan santun mendasar ketika
tinggal di rumah orang seperti membantu tuan rumah untuk menyapu dan mengepel
tidak dilakukan. Kerjanya hanyalah main game online sepanjang hari. Lama
kelamaan orang tuaku muak dan memarahinya habis-habisan. Dia kemudian mengadu
kepada adikku dan yang lucu adalah adikku ikut membelanya dan mengatakan kedua
orang tuaku terlalu keras dalam mendidik dia.
Aku melihat peristiwa itu
sebagai sesuatu yang sama sekali absurd,
konyol. Itu adalah sopan santun mendasar ketika kita tinggal di rumah orang,
kita ikut berperan aktif dalam membantu tuan rumah dalam menjaga kebersihan
rumah. Jika seorang anak manusia tidak pernah diajarkan etika dan sopan santun
mendasar sejak usia dini, maka kita tidak bisa berharap banyak dari generasi
seperti itu.
Semakin lama, kondisi anak itu semakin parah, dia tidak mau keluar kamar. Disuruh makanpun tidak mau makan dengan alasan diet. Ibuku sampai khawatir sehingga membungkuskan nasi dan diletakkan di depan gagang pintu. Nasi itu ia makan dan sampahnya dibiarkan tergeletak dimana-mana. Akhirnya aku berdiskusi dengan kedua orang tuaku dan memulangkan anak itu setelah dia menyelesaikan semester pertamanya.
Pelajaran yang dapat kupetik
adalah, kita harus melihat kondisi seseorang secara menyeluruh sebelum
memberikan bantuan. Apakah orang tersebut memenuhi standar kelayakan untuk
menerima bantuan atau tidak? Aku teringat saat mengikuti beasiswa, beasiswa
tidak diberikan secara cuma-cuma kepada semua orang. Ada seleksi ketat dalam
beberapa tahap untuk membuktikan kelayakan kita untuk menerima beasiswa.
Berdasarkan pengalaman di atas, kita harus melihat bibit dari anak yang akan
kita sekolahkan. Jika kutilik anak itu, bibit buruknya berasal dari si ibu.
Ibunya memiliki karakter yang sangat buruk, suka memfitnah dan
menjelek-jelekkan orang lain, dan tidak mau bekerja keras tetapi ingin hidup
mewah.
Bibit yang tidak baik
ditunjang dengan pendidikan awal tanpa disiplin, hanya menciptakan seorang anak
yang sangat kacau. Berhati-hatilah dalam memberikan bantuan, berikan bantuan
dengan cara yang cerdas dan periksa secermat-cermatnya latar belakang
seseorang. Dengan memberi bantuan tanpa kecerdasan, kita tidak akan membantu
siapapun, malah kita membuat si penerima bantuan itu semakin malas dan tidak
mau bekerja keras. Jangan memberikan bantuan hanya karena rasa “kasihan”, rasa
kasihan lebih sering mencelakakan.
Jika seseorang mau berubah,
mau memiliki tekad yang kuat untuk memperbaiki diri, maka masih ada harapan.
Tetapi jika sesorang tidak memiliki semangat dan tidak ada itikad untuk berubah
karena kemalasan bawaan, maka kita tidak berbuat apa-apa. Berhati-hatilah untuk
memberi bantuan kepada orang seperti itu.
Komentar
Posting Komentar