Vivaha Part 2 – Nicholas, I Love You

Perkawinan adalah sebuah pilihan, demikian pendapat Guruku. Bagi mereka yang telah menyelesaikan PRnya, entah pernah menikah sebelumnya ataupun pernah menikah di kehidupan sebelumnya, dan masih mengingat pengalaman tersebut, maka ia tidak harus mengulangi pelajaran yang sama.

Haruskah aku menikah? Pertanyaan tersebut menghantuiku semakin gencar saat mulai berusia 25 tahun. Jauh di lubuk hatiku aku sama sekali tidak ingin melakukannya, tetapi desakan dari kanan kiri membuatku bimbang. Semua teman-temanku mulai menikah satu demi satu. Di masyarakat pun pernikahan menjadi sebuah kewajiban, semua orang mesti menikah, harus menikah.

Aku akui, kisah cintaku selalu kandas. Dari satu kegagalan menuju kegagalan berikutnya. Dari satu cerita patah hati ke kisah patah hati berikutnya, lelah juga harus hidup seperti itu terus-menerus. Gali lubang tutup lubang, hanya untuk jatuh ke lubang yang sama. Betapa bodohnya. Sampai kapan?

Setalah bertemu dengan Gurudev, orientasi hidupku mulai berubah. Aku mulai mampu melihat begitu banyak sisi kehidupan. Banyak tokoh-tokoh yang berjuang demi kebaikan banyak orang memilih untuk tidak menikah. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk berbagi, melayani dan menyebarkan kebajikan. Tokoh-tokoh seperti Swami Vivekananda, Dilip Kumar Roy, Nikola Tesla dan Chaterine Helen Spence sangat menginspirasiku.

“I am a new woman, and I know it. I mean I am an awakened woman… awakened into a sense of capacity & responsibility, not merely to the family & household, but to the state; to be wise, not for her own selfish interest, but that the world may be glad that she had been born.”

-       Chaterine Helen Spence

Terjemahan bebas:

“Saya adalah seorang wanita baru, dan saya memahami itu. Maksud saya, saya adalah wanita yang sadar… menyadari kapasitas dan tanggung jawab saya, tidak hanya untuk keluarga & rumah tangga, tetapi untuk negeri saya. Untuk menjadi pribadi yang bijaksana, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk dunia, sehingga dunia berbahagia atas kelahirannya ke muka bumi ini. 

Dalam salah satu sesi Past Life Regression (regresi ke masa kehidupan yang lalu), aku akhirnya memahami mengapa aku tidak ingin menikah…

“Jangan pergi Jane, aku mencintaimu”, kata Victor terbata-bata.

“Tapi aku harus pergi, banyak korban berjatuhan akibat perang. Aku harus pergi dan merawat mereka. Aku tidak bisa berdiam diri dan menutup mata terhadap penderitaan mereka. Ikutlah pergi bersamaku dan menjadi bagian dari gerakan mulia ini.”

Victor menjawab istrinya: “Aku tak bisa, berada di garis depan sangatah berbahaya. Kita bisa terbunuh tanpa sebab. Perang tidak akan pernah memandang siapapun, tak ada kawan dan tak ada lawan yang pasti. Aku tidak mau mati sia-sia demi orang-orang yang tidak aku kenal. Mereka bukan kerabatku. Aku tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap mereka semua.”

Jane menangis mendengar kata-kata Victor dan akhirnya pergi ke garis depan untuk merawat para korban perang tanpa persetujuan Victor. Ia tidak mengerti mengapa Victor menjadi selemah itu. Sepanjang perjalanan, Jane terus menangis, tetapi ia telah menetapkan hatinya untuk menjadi sukarelawan di garis depan untuk merawat para korban perang. Perang memang tidak adil bagi semua orang, tidak adil untuk para tentara yang dikirim ke garis depan untuk membela negaranya. Tetapi siapa yang memikirkan para korban perang yang menjadi cacat dan lumpuh, tidak banyak yang mau memikirkan nasib mereka. Jane menyadari perannya sebagai warga negara, sebagai seorang perawat. Ia harus melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka.

************************************

Aku adalah burung merpati yang bebas dan lepas, sampai di suatu masa ketika memasuki usia untuk menikah, begitu banyak lamaran dari para pria dari berbagai macam latar belakang. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tetapi desakan keluarga membuatku berpikir berulang kali dan aku harus mengambil keputusan. Di antara pria-pria tersebut, ada dua orang yang menarik perhatianku. Pria pertama bernama Ryan. Ia adalah pria yang sangat menawan, kepribadiannya lembut dan mempesona. Tipikal pria yang pendiam, tetapi sangat romantis dan sering mengungkapkan perasaannya padaku lewat alunan lagu dan puisi. Aku sering bertukar pikiran dengannya dan bisa mendiskusikan banyak hal tentang penelitian-penelitian mutahir di bidang kimia dan metafisika

Pria yang kedua bernama Victor, memiliki kepribadian yang sangat dinamis dan berapi-api. Dia lugas dan tegas, tidak terlalu puitis tetapi berani mengambil resiko. Dia adalah seorang bangsawan yang terkenal karena kemurahan hatinya di kotaku. Keluarga besar Victor memiliki kepedulian terhadap masyarakat luas serta sering memberi bantuan kepada masyarakat pinggiran kota.

Aku menyukai keduanya dengan segala perbedaan mereka, tetapi aku harus memilih salah satu di antara keduanya. Akhirnya setelah memikirkannya selama 6 bulan, aku mengambil keputusan. Aku memilih Victor sebagai calon suamiku. Berat bagiku untuk mengatakan kepada Ryan bahwa aku memilih Victor sebagai suamiku. Ryan, maafkan aku atas keputusan ini. Aku tahu bahwa aku telah melukai hatimu, aku tahu kau mencintaiku sejak kita masih remaja. Ryan, masih bisakah kita bersahabat?

Ryan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai kepala peneliti di negara bagian lain dan meninggalkan kota kami, tepat pada hari pernikahanku dengan Victor. Aku menangis pada hari pernikahannku karena Ryan tidak hadir, tetapi aku sadar bahwa aku meminta terlalu banyak darinya. Maafkan aku menolak lamaranmu Ryan, semoga kau mampu melanjutkan hidupmu.

Pernikahanku berlangsung meriah dan keluarga Victor menerima kedatanganku ke dalam rumah mereka dengan hangat. Aku secara perlahan akhirnya mampu beradaptasi dengan kehidupan mereka. Setahun kemudian, aku melahirkan anak pertama kami yang diberi nama Nicholas. Keluarga Victor sangat bahagia dengan kelahiran Nicholas sebagai cucu pertama dalam keluarga mereka.

Seiring dengan berjalannya waktu, cintaku kepada Victor bertumbuh dan aku terlibat dalam begitu banyak kegiatan komunitas di kota kami. Aku bahagia karena aku memiliki kesempatan untuk melayani begitu banyak orang serta mengajar tentang sanitasi dan kesehatan keluarga pada masyarakat di di pinggiran kota. Sampai akhirnya semua keadaan berubah akibat perang yang mulai berkecamuk dan melanda seluruh dunia.

Pada suatu hari datanglah ketua komite pusat palang merah yang meminta bantuan kepada keluarga besar kami untuk mengirimkan beberapa sukarelawan ke garis depan untuk merawat para korban perang serta meminta bantuan dana untuk membeli perlengkapan medis. Victor memberikan uang dalam jumlah besar tetapi menolak untuk mengirimkan beberapa relawan.

Malam harinya aku bertengkar hebat dengan Victor dan meninggalkan rumah. Nicholas, maafkan mama pergi ke garis depan. Mama harus pergi memenuhi kewajiban sebagai seorang warga negara. Kamu sudah remaja nak, mama yakin kau sudah bisa mengurus dirimu sendiri. Mama tidak bisa menutup mata ketika melihat penderitaan orang-orang di sekitar mama. Nicholas, I love you so much…

Situasi di garis depan memanglah berbahaya, tetapi yang jauh lebih berbahaya adalah ketidakpedulian kita terhadap penderitaan sesama. Aku selalu teringat nasihat mendiang ibuku, bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri kita. Kelahiran kita sebagai manusia adalah sebuah berkah yang tidak terhingga, sebuah berkah sehingga kita bisa melayani orang lain.

Perang yang berkecamuk melumpuhkan tentara kami satu demi satu. Banyak di antara mereka yang menjadi cacat dan tidak bisa berjalan lagi. Banyak juga yang tidak selamat karena tidak tertolong akikat kurangnya obat-obatan yang membuat luka mereka menjadi semakin parah. Oh Tuhan, mengapa perang harus terjadi? Tidak bisakah kita hidup dalam harmoni dan tanpa konflik mematikan seperti ini. Setiap malam aku selalu berdoa, bagi keselamatan semua, bagi yang sedang berada di garis depan dan orang-orang yang menjadi korban, entah para tentara maupun masyarakat sipil yang terkena dampak perang.

Victor dan Nicholas, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya. Aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu tatkala negara memanggilku. Jika saja aku tidak menikah, tentu masalahnya tidak akan sepelik ini. Tentu aku akan bisa berkontribusi bagi negeriku tanpa beban seperti ini. Berat memang rasanya untuk memilih, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. Tetapi aku harus mengesampingkan perasaan untuk keluarga. Manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri.

“Lari… selamatkan pasien-pasien kita”, terdengar teriakan berkumandang dari kejauhan. Musuh telah datang mendekat. Desingan peluru memekakkan telingan dan kami buru-buru pergi untuk membawa pergi pasien-pasien kami ke dalam mobil dengan kap terbuka. Semakin lama deru mereka semakin mendekat dan menakutkan, sebagian besar dari kami berhasil lolos. Tetapi naas untukku karena satu peluru menembus pundak kiriku dan darah terus mengucur tanpa henti. Aku pingsan dan tidak sadarkan diri selama berhari-hari.

Saat kesadaranku sudah sedikit pulih, aku mendengar sayup-sayup suara. “Kondisinya sangat parah dan tidak mungkin diselamatkan. Pendarahannya sangat fatal dan sulit sekali bagi kami nememukan orang dengan golongan darah AB.”

“Dokter, tolong selamatkan mamaku. Hanya ia yang aku punya. Papa sudah melayangkan surat cerai kepada mama dan aku tidak ingin hidup bersama ayah”, kata Nicholas. Semakin lama, tangisan Nicholas semakin menjadi. Dengan berat kubuka mataku, pandanganku kabur dan aku hanya melihatnya dalam sekelebat bayangan.

“Mama, mama, akhirnya kau bangun. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpa mama. Ayah sudah menikah lagi setelah beberapa bulan bercerai dengan mama. Aku tidak menyukai ibu tiriku, dan papa sudah tidak peduli lagi padaku. Ia mengatakan, setiap kali melihatku, ia teringat mama dan menjadi marah tanpa kendali.”

Aku hanya tersenyum pasrah sambil menahan rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhku. “Senang melihatmu dalam keadaan sehat Nicholas, mama merindukanmu.”

Nicholas bercerita padaku bahwa setelah aku pergi meninggalkan rumah, Victor menjadi begitu kalut dan marah. Seluruh keluarga besarnya kemudian mengadakan rapat dan mengatakan bahwa aku sudah tidak patuh pada suami dan tidak layak menjadi bagian dari keluarga tersebut. Rapat keluarga besar tersebut memutuskan bahwa Victor harus menceraikanku sehingga tidak melakukan pencemaran terhadap nama baik keluarga. Pada zaman itu, posisi seorang suami memegang peranan yang sangat penting dalam keluarga dan tidak mematuhi kata-kata suami adalah sebuah penghinaan yang sangat besar di dalam masyarakat. Surat cerai dilayangkan padaku saat aku sedang sibuk berjuang di garis depan. Setelah beberapa hari memikirkannya, aku akhirnya menandatangani surat cerai tersebut. Satu-satunya yang aku cemaskan hanyalah kondisi Nicholas, tetapi posisiku memang dalam kondisi yang tidak menguntungkan.

Nicholas, maafkan mama telah melahirkanmu ke dunia ini. Maafkan karena mama tidak  bisa selalu berada di sisimu. Maafkan mama karena telah menyeretmu ke dalam permasalahan ini. Seandainya saja kau tidak pernah lahir, kau tidak akan mengalami semua penderitaan ini. Tetapi ketahuilah bahwa mama tidak bisa mengabaikan nurani mama saat melihat begitu banyak orang menderita. Mama mencintaimu, dan juga mencintai negeri yang telah memberi kita kehidupan. Maafkan mama harus pergi seperti ini. Nicholas, I Love You…

************************************

 “Tarik nafas, buang nafas. Perlahan, bawa kembali kesadaran Anda ke badan fisik. Sebentar lagi, kita akan kembali menelusuri kembali terowongan waktu dan kembali ke masa kini.”

Suara fasilitator hipnoterapis past life regression membawaku kembali ke masa kini dan apa yang terjadi barusan terasa bagaikan mimpi.

************************************

Haruskah aku menikah? Dengan tegas dan lugas aku katakan tidak. Aku masih mengingat semua pengalaman itu, mengingat setiap getir yang aku alami dalam kehidupan itu. Apa yang aku inginkan saat ini? Tidak lain hanyalah untuk mewujudkan visi dan misi Guruku untuk melayani masyarakat. Untuk menjalani dan menyelesaikan ini misi ini, aku membutuhkan seluruh fokusku. Aku tidak bisa membagi diriku, pun tidak bisa membelah diri seperti amuba untuk memperbanyak diri. Jika aku menikah, maka aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menyelesaikan misi ini. Masalah keluarga akan menyeretku dan semua mungkin akan berakhir tragis seperti pengalaman di masa itu. Cukup dengan pernikahan, biarkan aku mengabdikan diriku sepenuhnya di kehidupan kali ini tanpa ada intervensi dari keluarga. Kutipan dari Swami Kriyananda berikut mengingatkanku kembali pada tujuan jiwa untuk memiliki badan, yaitu menjadi pengabdi kemanusiaan.

“…even the best of marriages never fulfil the eternal longing of the soul…

The Love of man and woman, even at its best, is compromise with the highest ideals, and cannot but disappoint the heart’s natural yearning.”

 

“Sebaik apapun suatu perkawinan, tetap tidak dapat memenuhi kerinduan jiwa…

Setulusnya cinta antara seorang pria dan wanita, tetap saja merupakan kompromi terhadap kerinduan jiwa tersebut, dan pada akhirnya hanyalah mengecewakan.”

 

(Swami Kriyananda, dikutip dari Buku Sanyas Dharma karya Guruji Anand Krishna)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum