Labirin Duka Derita Part 4: Medha

“Berjanjilah bahwa kau akan kembali dan mempertemukan kami dengan Master Agung,” ucap mereka dengan tangis terisak-isak menjelang detik-detik kematianku.

“Aku hanya tersenyum dan berkata: “Jika Master Agung berkenan, maka kalian akan bertemu dengannya di salah satu masa kehidupan berikutnya.”

“Master, berjanjilah pada kami. Jangan tinggalkan kami,” ucap mereka dengan tangis yang semakin menjadi.

Racun yang ditaburkan pada makanan itu telah menjalar ke seluruh tubuhku dan aku sudah tidak kuasa untuk menahan semua itu. Saatnya telah tiba, aku harus pergi dari tubuh ini.

Pada detik-detik terakhir itu, yang terbayang di pelupuk mata hanyalah wajah Guruku, Sang Master Agung. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Rasa rindu membuncah dan memenuhi diriku. Tiada hal lain lagi yang terlintas dalam benakku selain wajahnya.

Death is Myth
Sesaat kemudian aku merasakan diriku melayang begitu ringan. Aku melihat tubuh tuaku tergeletak di pinggir pembaringan jerami  dan murid-muridku menangis tak tertahan. Aku sedih, tetapi di satu sisi sangat lega karena akhirnya keluar dari penderitaan fisik akibat racun ganas tersebut. Setelah mengitari tubuh itu beberapa kali, aku akhirnya pergi dan melayang-layang di angkasa. Rasanya sangat ringan dan lega, badan yang membelenggu diri ini terlepaskan sudah. Kematian ternyata tidak mengakhiri kehidupan, aku masih ada.

Setelah puas melayang-layang, seberkas cahaya putih menghampiriku dengan cepat dan meraih genggamanku. Ternyata cahaya itu menjelma menjadi Master Agung.

“Master Agung!??” aku tercengang, antara percaya dan tidak, akhirnya aku bertemu dengan Guruku, Pemandu Hidupku.

Beliau berkata: “Ayo ikut denganku.”

Guru menggenggam erat tanganku dan membawaku melesat ke sebuah gunung. Di puncak gunung itu, tampak beberapa orang sudah menunggu kedatangan kami.

“Brother, akhirnya kau datang. Kami menunggumu.”

Master Agung kemudian memberikan pengarahan kepada kami dan berkata:

“Mandala yang telah kita bangun di negeri itu sudah dihancurkan oleh para tentara yang diutus kaisar. Sudah tidak ada gunanya kita mempertahankan mandala itu. Kita akan memindahkannya ke tempat lain. Kita akan memperbaharui mandala kita di negeri di bawah gunung ini, negeri di bawah Gunung Udaya. Pada saatnya, aku akan lahir kembali dan memperbaharui mandala kita. Bersediakan kalian untuk membangun kembali mandala itu bersamaku?”

Dengan serentak kami menjawab: “siap Master Agung.”

“Wu Wei, dengarkan aku. Aku akan menemukanmu kembali saat kau berusia 30-an tahun. Bersiaplah pada masa itu, kau harus melanjutkan apa yang belum kau selesaikan saat ini. Sampai jumpa!”

Master Agung kemudian meninggalkan kami. Kami harus melanjutkan perjalanan kami masing-masing hingga tiba saatnya untuk kami terlahir kembali dan hidup sezaman dengan Sang Master Agung.

Seribu tahun kemudian…

“Kembalilah ke negeri kelahiranmu, negeri di bawah Gunung Udaya.”

Suara pria tua dalam mimpi itu menggema dan selalu menghantui pikiranku. Siapa dia? Rasanya sosok itu tidak asing. Entah, aku tidak mampu mengingat dia, tetapi wajah dan suara itu terasa sangat tidak asing.

“Medha, ada lamaran yang menunggumu. Ia adalah anak dari sahabat baik ayah. Menikahlah dengannya. Kau akan menemukan kebahagiaan dalam pernikahanmu.”

“Tidak ayah, aku tidak mau menikah.”

“Kamu harus menikah. Ayah sudah berjanji pada kawan karib ayah untuk menjodohkan anak ayah dengan anaknya. Ayah tidak bisa ingkar janji. Tolong jangan permalukan ayah. Kalau tidak…”

“Kalau tidak…, apa ayah? Ayah mengancamku.”

Ayah tidak melanjutkan kata-katanya dan meninggalkanku dengan muka merah menahan amarah.

Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak mau menikah. Aku masih penasaran dengan pria tua dalam mimpi itu. Siapa dia? Rasa penasaranku tidak tertahankan. Tetapi dimana aku bisa menemuinya? Apakah dia nyata? Aku tidak tahu, tetapi mimpi itu terasa sangat nyata.

Salah seorang kawan menawarkan pekerjaan baru di Pulau Adriatic dan aku langsung menerimanya. Aku pergi dari rumah tanpa mengucapkan sepatahpun kata. Aku tidak mau menikah. Satu-satunya yang kuinginkan adalah menemui pria tua dalam mimpiku. Wajahnya tidak bisa kulupakan, wajah yang begitu tenang, lembut, tetapi juga begitu tegas dan berwibawa.

Tepat 3 bulan aku bekerja di sebuah usaha keluarga di Pulau Adriatic. Suatu hari, salah seorang teman mengajakku untuk mengikuti ceramah dari seorang Guru. Aku sangat tertarik dan semua terjadi begitu cepat. Tidak ada sesuatu yang kebetulan di muka bumi ini. Saat kulihat wajahnya, wajah itu mengingatkanku pada wajah pria tua dalam mimpiku. Oh My God. Nyatakah semua ini?

Setelah ceramah yang mencerahkan itu berakhir, aku bergegas menemui Guru tersebut dan merangkapkan kedua tangan sambil menyalami beliau.

“Namaste Guru, perkenalkan saya Medha. Saya pernah melihat Guru dalam mimpi saya. Saya tidak menyangka bahwa akan dipertemukan dengan Guru hari ini. Terima kasih atas pertemuan indah ini.”

Beliau tersenyum dan menepuk pundakku.

Welcome back, aku menunggui kedatanganmu.”

Saat itu, waktu terasa terhenti. Kilasan memori dari masa lalu muncul ke permukaan. Ya, aku mengingat semuanya. Beliau adalah Sang Master Agung, pemandu spiritualku. Yang selalu kunantikan kehadirannya dalam setiap masa kehidupan. Guru, aku sangat merindukanmu, sangat rindu. Tak bisa kujelaskan perasaanku saat ini, semua bercampur aduk, tawa dan tangis berbaur menjadi satu. Guru, aku milikMu.

Guruku, cintaku…kau adalah segala-galanya…

Aku langsung bersujud di telapak kaki beliau setelah menyadari semuanya. Beliau berkata:

“Aku menunggumu anakku, kembalilah ke Gurukula. Gurukula menunggui kedatanganmu.”

“Tapi Guru, layakkah aku untuk semua itu. Aku tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pengajar di Gurukula.”

Beliau tertawa terbahak-bahak hingga perutnya yang besar bergerak-gerak tanpa henti. “Medha, yang dibutuhkan adalah hati yang penuh kasih, siap berbagi dan bersedia melayani. Itu adalah kualifikasi utama seorang pengajar. Gelar kesarjanaan apapun tidak akan membuatmu menjadi sumber inspirasi jika hatimu tidak dipenuhi kasih dan kepedulian.”

Aku hanya terpana mendengar kata-kata beliau dan kepalaku tertunduk malu.

“Aku juga tahu kau kabur dari rumah karena tidak mau dikawinkan dengan pria pilihan ayahmu. Hatimu tahu bahwa kau harus mengerjakan sesuatu yang berbeda dalam kehidupan kali ini. Karena itulah kau tidak tertarik dengan dunia perkawinan. Kau memiliki janji yang harus kau penuhi kepadaku.”

Lagi-lagi aku tidak tahu harus berkata apa. Tiada satu pun hal yang bisa kusembunyikan dari beliau. Beliau mengetahui segala hal tentang diriku. Guru…

Beliau berkata:

“It is only the privileged ones, the fortunate and blessed ones who get the chance to serve fellow living beings.

“Not everybody gets the chance to serve. Some people are so busy with their daily chores and family responsibilities that even though they want to serve, they don’t get the chance.

It is only when the Lord is pleased that one gets the chance to serve.”

(Anand Krishna)

Terjemahan bebas:

“Tidak setiap orang memiliki keberuntungan, kesempatan dan berkah untuk melayani sesama makhluk hidup. Sebagian besar orang begitu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari dan tanggung jawab mereka terhadap keluarga sehingga meskipun mereka ingin melayani, mereka tidak mendapatkan kesempatan.

Hanya ketika Tuhan/Keberadaan berkenan, seseorang mendapat kesempatan untuk melayani.”

“Medha, datanglah besok pagi ke Gurukula jam 6 pagi. Tinggalkan pekerjaan yang kau jalani saat ini. Kau akan tinggal di Gurukula dan menjadi salah satu pengajarnya.”

“Baik Guru, dengan berkahMu, saya akan hadir di sana sebelum jam 6 pagi. Saya pamit pulang untuk berkemas. Terima kasih atas segalanya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum