Bodhicitta, Sebuah Lompatan Kuantum
Bodhicitta Hall di Anand Ashram Ubud |
“Ada masa-masa dalam kehidupan kita masing-masing, dimana kita merasa kehilangan arah, tidak tahu kemana harus melangkah. Tidak tahu jalan mana yang harus dipilih dan ditempuh.”
“Karena itu,
menepilah sejenak, masuklah ke dalam diri. Fokuslah pada diri, lakukan
perjalanan ke dalam diri. Arjuna pun melakukan hal yang sama 5.000 tahun lalu.
Ia masuk ke dalam diri dan menemukan Krishna, sang kusir agung yang menjadi
pemandu bagi kereta kehidupannya. Krishna berkata padanya: “Aku di sini, jangan
takut.””
“Begitu fokus ke dalam diri, kita mendapatkan
panduan yang kita butuhkan. Jika perlu, kita akan dituntun untuk bertemu dengan orang yang tepat yang dapat membantu kita atau dipertemukan dengan
kondisi yang tepat yang menguntungkan kita. Biarkan Suara Batin membimbing
kita. Jangan biarkan mind, gabungan
gugusan pikiran dan perasaan menjadi tuan atas diri kita. Biarkan pencarian di
luar dimulai dari dalam diri. Biarkan Realitas Tunggal di dalam diri yang
memandu kita.”
“Biarkan Realitas
Tunggal di dalam diri membebaskan kita dari semua rasa takut terlebih dahulu.
Setelah terbebas
dari rasa takut, apapun yang Anda lakukan akan
menjadi tepat. Anda tidak akan salah langkah. Sebaliknya, dalam keadaan takut, Anda akan selalu
salah langkah dan tidak mampu untuk bertindak dengan tepat.”
(Saduran bebas buku Bhagavad Gita Yesterday, Today & Tomorrow karya Guruji Anand Krishna)
**********************************
Setelah sembuh dari
covid pada akhir Maret 2021, aku sadar bahwa kondisi tubuh ini tidaklah sama
seperti sebelumnya. Bahkan untuk memulihkan kondisi menjadi cukup normal, tubuh ini memerlukan waktu sekitar 3 bulan. Upaya yang tidak mudah dan akupun menyadari
bahwa hampir sebagian besar organ-organ dalam tubuh ini kinerjanya semakin
lambat. Setiap kali naik ke lantai 3 untuk mengajar, aku selalu ngos-ngosan dan kehabisan nafas. Butuh
waktu sekitar 5 menit untuk mengembalikan nafas untuk menjadi normal kembali. Selain
itu, berat badan yang bertambah membuatku tidak nyaman untuk bergerak leluasa.
Stamina tubuh turun drastis dan aku menjadi lebih mudah lelah dibandingkan
sebelumnya.
Selain masalah
kesehatan fisik, aku juga harus menghadapi dan menyelesaikan beberapa
permasalahan keluarga yang menguras mental dan emosiku. Satu-satunya tempatku
berpaling adalah meditasi. Dengan meditasi, aku lebih mampu menerima kondisiku,
tetapi di satu sisi aku juga sadar bahwa aku harus mencari jalan keluar. Aku
tidak bisa seperti ini terus. Aku lelah dengan tubuh lemah seperti ini.
Selain meditasi,
khususnya Meditasi Emotion Culturing yang dikembangkan oleh Guruji Anand
Krishna, aku biasanya meminum ramuan herbal Ayurveda dan rutin ke fisioterapi.
Tetapi ternyata semua itu belum cukup. Apalagi yang harus dilakukan untuk
memperbaiki kondisi ini?
Dua bulan yang lalu,
Guruji menyampaikan sebuah pesan dalam video beliau tentang cara untuk
mengakhiri the Year of Shiva. Beliau
sudah memberikan peringatan pertama tentang the
Year of Shiva yang akan terjadi mulai tahun 2020 - 2024 sejak akhir tahun
2018. Peringatan kedua kembali diberikan pada akhir tahun 2019, sejak saat itu,
apa yang beliau sampaikan terjadi. Mulai dari pandemi, bencana alam, kehancuran
ekonomi, perang, dan sederet peristiwa lain di dunia kita yang
memporak-porandakan kita semua secara kolektif. Shiva yang sedang marah menjadi
sosok Rudra yang mematikan. Ketidaksadaran kita secara kolektif mengundang
bencana, bukan, bukan salah alam, tetapi kita yang salah.
Untuk menenangkan
Rudra sehingga beliau kembali dalam bentuknya sebagai Shiva Hyang Maha Mulia,
maka kita perlu mengundang Kartikeya, putra beliau. Dikisahkan bahwa Kartikeya/Skanda/Saravana lahir atas berkah Shiva untuk membantu para dewa
mengalahkan para danawa/raksasa. Selama masa itu, para dewa selalu dikalahkan oleh
danawa karena tidak memiliki panglima perang dan ahli strategi perang. Dengan
kehadiran Kartikeya, para dewa berhasil mengalahkan para danawa dan akhirnya
dharma dapat ditegakkan kembali.
Pada zaman itu, mudah
sekali untuk membedakan para dewa dengan danawa karena mereka hidup pada
konstelasi yang berbeda. Pada zaman Ramayana pun masih mudah, Rama berada di
Ayodya, sedangkan Rahwana berada di Alengka. Zaman Mahabarata, dewa dan danawa
berada dalam satu keluarga, 5 Pandawa mewakili sifat-sifat dewa (perwujudan
dharma), 100 Kurawa mewakili sifat-sifat danawa (perwujudan adharma). Sementara
pada zaman kali yuga, sifat-sifat dewa dan danawa dua-duanya berada dalam
manusia. Untuk memurnikan dan menyucikan diri sehingga kita mampu menaklukan sifat-sifat danawa
dalam diri, kita membutuhkan sebuah strategi
jitu. Untuk itulah kita perlu meng-invoke
Kartikeya sehingga
kecenderungan-kecenderungan danawi (keraksasaan) dalam diri dapat kita eleminir.
Guruji memberikan
sebuah mantra untuk meng-invoke Kartikeya/Skanda
(Kartikeya Sadhana) di dalam diri kita untuk mempercepat pemulihan keadaan
dunia:
Om Shiva
Saravana Bhava Om/Namaha
Om Guru
Saravana Bhava Om/Namaha
Atau versi singkatnya
Om Saravana
Bhava Om/Namaha
Berikut adalah mystical formula dari setiap suku kata pada kata Saravana Bhava berdasarkan penjabaran oleh Guruji dari video tersebut:
Kartikeya/Skanda/Saravana |
- Sa – Satya Palana: setia pada kebenaran, menjunjung tinggi kejujuran, jujur dalam pikiran, ucapan dan tindakan.
- Ra – Roga Nivarana: jika kita jujur, maka segala macam penyakit, baik fisik maupun mental emosional dapat diatasi.
- Va – Vairagya: pengendalian diri, melampaui rasa suka dan tidak suka.
- Na – Nitya: fokus pada Hyang Abadi
- Bha – Bagya: meraih kebahagiaan, fortune, diberkahi dengan nasib baik, tidak kekurangan sesuatu
- Va – Vinay: selalu bersikap rendah hati meskipun sudah mendapatkan berkah, makna lain dari Bhava:
- Bhava – Bhava Sagara: terbebas dari lautan samsara
Ketika kita teguh
pada prinsif-prinsif di atas, maka aspek Rudra yang mematikan dapat kembali
menjadi Shiva yang Maha Mulia dan Maha Membahagiakan.
Setelah melakukan japa Kartikeya Sadhana selama
21 hari berturut-turut
sebanyak 1 putaran japamala (108 kali), aku menemukan titik terang. Salah
seorang sahabat bercerita bahwa ia mengalami permasalahan fisik yang tidak
terselesaikan dan terbantu ketika menjalani terapi akupuntur. Mendengar cerita
tersebut, aku tertarik dan meminta sahabat tersebut untuk membuatkan appointment
dengan sang terapis.
Balik
pada kekuatan mantra…
Kata mantra merupakan gabungan
dari dua kata, Manasa atau Mana dan Trayate. Mantra, “Manasa-yantra: alat pengendali pikiran/perasaan, atau lapisan mental/emosional” (Anand Krishna,
Cinta yang Mencerahkan, hal. 43).
Mananaat
Trayate Iti Mantrah…
“Sesuatu yang dapat membebaskan pikiran dan
perasaan kita; sesuatu yang
dapat memerdekakan
jiwa kita; sesuatu yang
dapat membebaskan
diri kita dari belenggu-belenggu
pendapat, pemahaman,
dan pandangan yang sempit” (Anand Krishna, Cinta yang
Mencerahkan, hal. 44).
Ketika mantra (Gayatri) dilagukan secara
sempurna…
“Ia akan mengakses Sumber
Pencerahan Kosmos, Jagad Raya… Matahari adalah salah satu satelit saja. (Mantra) Gayatri menembus matahari untuk mengakses Sumber
Cahaya – bukan saja matahari kita, atau matahari-matahari di galaksi kita.
Tetapi planet sejenis matahari di setiap galaksi ditembusnya dalam sekejap…”
“(Mantra) Gayatri tidak membutuhkan waktu sekian tahun cahaya untuk sampai
pada planet matahari terjauh di galaksi paling jauh… Ia
menembus waktu dan ruang dengan memanfaatkan mekanisme kuantum. Ia melompat
dari satu galaksi ke galaksi lain dan kembali kepada kita dalam waktu sekitar 9
detik “waktu kita””.
(Anand
Krishna, Cinta yang Mencerahkan, hal. 93-94).
Dari pengalaman
pribadi, setiap pengulangan mantra akan meningkatkan will power (kekuatan
kehendak) dalam diri kita. Seringkali keajaiban-keajaiban dalam hidup terjadi
begitu saja setelah melakukan mantra sadhana (sadhana: laku spiritual).
Amazing!
Setelah beberapa kali
terapi akupuntur, kondisiku perlahan mulai membaik. Belum sepenuhnya pulih
tetapi vitalitas tubuh semakin terasa. Selain rutin melakukan terapi akupuntur,
sang terapis juga memberikan sebuah saran untuk meminum jamu kunyit dan
temulawak segar selama 2 bulan. Selama 2 minggu mengkonsumsi jamu tersebut,
stamina tubuh mulai meningkat, perlahan tapi pasti. Aku juga diminta untuk
memperbaiki pola tidur supaya tidur tidak lewat dari jam 10 malam karena
organ-organ tubuh mulai melakukan detoks, bersih-bersih pada jam tersebut.
Guruji, terima kasih
atas tuntunanMu. Tiada cinta lain yang kutemukan di dunia ini selain cintaMu.
Guru, tanpaMu, aku tidak akan pernah tahu makna kehidupan. Aku tidak akan
pernah mengenal Cinta Sejati… Akhir
dari Cinta Sejati
adalah pelayanan kepada
sesama, pelayanan terhadap
semua bentuk kehidupan. Terima kasih telah memberikan diri ini kesempatan untuk
melayani 160-an anak-anakMu setiap hari. Sebuah berkah mulia yang tak terhingga
dariMu. Guru, kaulah segalanya, where
would i be without you…?
Guru,
akan selalu kuingat petuahMu:
“Tidak
semua orang ditakdirkan menjadi pelayan umat manusia. Tidak semua orang
mendapatkan kesempatan untuk memperluas cakupan dan jangkauan pelayanannya,
sehingga dapat merangkul seluruh umat manusia.”
(Anand Krishna, Alam Sini Alam Sana, hal. 115)
Guru, dengan berkah kesehatan
ini, semoga aku dapat melayani visi dan misiMu. Semoga sampai akhir hayat, aku
mampu menggunakan berkah kesehatan ini untuk melayani anak-anak di sekolah.
Semoga masa depan bangsa dan dunia ini cerah karena generasi mendatang
mendapatkan pendidikan sejati yang membuat mereka memahami kemanusiaan. Semoga
anak-anak ini menjadi manusia sejati, seperti yang Guruji selalu sampaikan
berulang kali, the
end of education is character… Semoga, mereka menjadi terang
bagi dunia…
Brother
Bayu (Bodhicitta Acupuncture), terima kasih telah memberikan terapi akupuntur
kepada saya…
Kata Bodhicitta mengingatkan
saya pada sebuah pesan lama saat melakukan soul
reading dengan Ma Archana
beberapa tahun lalu. Go to the next level, bodhicitta…
Citta bermakna
benih pikiran. Bodhicitta
adalah sebuah state
of being dimana benih pikiran
telah mengalami transformasi, telah terjenihkan, telah tersucikan
sehingga mampu membedakan mana yang tepat (shreya – yang membawa kemuliaan) dan yang tidak
tepat (preya
– yang merupakan kenikmatan
sesaat, kesenangan sesaat, yang akhirnya menyengsarakan).
Salah satu sloka dalam Bhagavad
Gita (18:30) juga mengingatkan tentang Buddhi/intelegensia…
pravṛttiṃ ca nivṛttiṃ ca kāryākārye bhayābhaye
bandhaṃ mokṣaṃ ca yā vetti buddhiḥ sā pārtha sāttvikī
“The Buddhi or Intelligence which knows exactly when to
act and when not to act; what is to be done and what is not to be done; what is
fear and what is fearlessness; as well as what is bondage and what is
liberation – that Buddhi, that Intelligence is Sattvika.”
(Anand Krishna, Bhagavad
Gita Yesterday, Today & Tomorrow)
Buddhi atau Inteligensia yang secara tepat dapat menentukan
saat untuk bertindak dan saat untuk tidak bertindak; apa yang patut dilakukan dan
apa yang tidak patut; apa yang mesti ditakuti dan apa yang tidak perlu ditakuti;
apa yang mengikat dan apa yang membebaskan. Buddhi/inteligensia seperti itu
disebut inteligensia Sattvika.
Akhir kata, saya teringat lagi
akan pesan Guruji bahwa…
“Setiap pengalaman, setiap
kejadian di padepokan Guru – entah dialami oleh siapa saja, dan terjadi pada
siapa saja – merupakan pelajaran bagi seluruh warga ashram, asrama, atau
padepokan.”
“Mereka yang belajar dari pengalaman-pengalaman
itu, kejadian-kejadian itu – mengalami quantum
leap – lompatan
kuantum, lompatan hebat. Sehingga
mereka tidak perlu mengalaminya sendiri.”
“Banyak kejadian-kejadian yang terasa tidak
enak, padahal bukan tanpa alasan. Dan, alasannya hanyalah satu – supaya orang yang mengalaminya naik kelas. Bahkan, mereka
yang tidak mengalami pun bisa ikut
belajar dari pengalaman-pengalaman seperti itu dan ikut
mengalami kenaikan kelas. Asal mau
belajar. Asal rendah hati.”
“Guru menjelaskan tentang adanya
sekian banyak tahapan-tahapan umum yang mesti dilewati setiap orang, “Seperti pengendalian panca indra. Mengatasi ketertarikan pada dunia benda; amarah yang disebabkan oleh keterikatan kita pada dunia benda; keserakahan; keangkuhan; dan, kecemburuan.”
“Ada yang mesti melewati
semuanya. Belajar dari pengalaman diri. Jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit
kembali berulang-ulang. Bahkan, ada
yang tidak pernah belajar, atau
membutuhkan waktu beribu-ribu tahun untuk memetik hikmah dari pengulangan yang menghabiskan
sekian banyak waktu.”
“Sementara itu, ada yang bersifat
observant – jeli,
peka. Ia bisa
belajar dari pengalaman orang lain. Ia
tidak perlu mengalami sendiri setiap pengalaman yang bersifat umum. Orang-orang
seperti itulah yang mengalami
lompatan kuantum. Seorang meditator
semestinya seperti itu. Bila tidak, apa gunanya ia bermeditasi? Ia tidak
memahami meditasi.”
(Anand Krishna, Jatuh, Bangun,
Jatuh Lagi dan Bangun Kembali, hal. 40-41)
Guruji…
“Let
me think of You all the time.
Whatever comes from You or is sanctioned by You is a blessing for me: joy or
pain, love or rejection, or whatever i received, let me accept on bended knees.
Only reveal to me Your
will and the way to do Your will.
Give and take what You will, but let me not take my eyes off the goal. I do not
know what is good for me, nor what to know why or how You are drawing me toward
You. That
You draw to me close to You is all i ask. If this self-will does not bend, break it with the
wrath of Your love. Let me learn to give all i have and keeping back nothing.
All that i give i save, all that i hoard i lose. Let me become what you want me
to become. Good or bad, whatever
i am, i belong to you...”
(Indira
Devi, Pilgrim of the Star).
Guruji, Mera Koti Pranaam…
Picture courtesy:
Kartikeya: bit.ly/3EoHqws
Komentar
Posting Komentar