Unveil Yourself To The Master
“Keep your veil for the world,
unveil yourself to the Master.”
“Tutuplah dirimu terhadap
dunia, bukalah dirimu terhadap Sang Guru.”
(Anand Krishna,
The Gospel of Mahamaya, hal. 113)
Guru Shishya Parampara |
Guru, kuserahkan diri
ini hanya padaMu. Kau tahu segala hal tentang diri ini. Kaulah penguasa tiga
masa yang mengetahui kebenaran tentang masa lalu, masa kini, dan masa depanku.
Sungguh, tiada satupun yang hal yang perlu kusembunyikan dariMu. Guru, tuntun
aku dalam setiap langkah. Semoga setiap keputusan yang kuambil selalu selaras
denganMu. Berikan aku kekuatan sehingga hanya namaMu selalu terucap di bibir
ini. Hingga akhir hayat, semoga hanya Engkau yang selalu kuingat. HadirMu
ibarat oase yang membasahi kegersangan jiwaku.
Orang bilang, kehadiran
seorang Guru dalam sebuah masa kehidupan adalah anugrah yang tak terhingga…
Seorang anak di
sekolah pernah bertanya: “Teacher, apakah kita bisa mendalami spiritualitas
tanpa seorang Guru?”
Aku hanya tersenyum,
dan lagi-lagi hanya bisa bercerita tentang petuah Guruku.
Pada saat masih
kecil, bisakah kita belajar untuk menggunakan toilet dengan benar jika tidak
diajarkan oleh toilet training oleh
orang tua/teacher di sekolah? Bisakah kita belajar berjalan sendiri tanpa
dibantu? Bisakah kita menulis dan membaca jika tidak dituntun oleh para teacher
di sekolah?
Untuk hal-hal yang
sederhana seperti toilet traning, berjalan, membaca dan menulis, kita
membutuhkan bantuan para guru. Terlebih lagi untuk urusan spiritualitas, jelas
kita membutuhkan guru. Sebuah petuah menarik dari Guru Nanak Dev (1469 –
1539) patut kita renungkan:
“Jangan
sampai ada seorang pun di dunia ini berkhayal. Tanpa seorang Guru, tiada
seorang pun yang bisa menyebrang ke tepian sana” (Dikutip dari Buku Guru Yoga, hal. 7, Anand
Krishna).
Dari apa yang Guruji
selalu sampaikan:
“Spiritualitas… adalah sebuah kemewahan terbesar. Sebuah upaya yang mengakhiri upaya lainnya. Mereka yang miskin, dalam pengertian mereka yang menggangap harta
benda dan kenyamanan materi sebagai segala-galanya tak akan pernah tertarik dengan spiritualitas. Sebab, mereka tidak mampu untuk membelinya – tidak
mampu memahami nilainya.”
“Sesungguhnya,
spiritualitas tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa diperdagangkan. Spiritualitas adalah sesuatu untuk mereka yang betul-betul makmur, mereka yang telah tersadarkan bahwa harta benda dan segala
kenyamanan materi hanyalah bualan sesaat. Saat ini ada, sesaat lagi tidak ada.”
(Anand Krishna, Guru
Yoga, hal. 7)
“Guru
Bina Gati Nahin – Tak Ada Pencapaian tanpa Guru sebagai Pemandu. Tak ada
pencapaian tanpa seseorang yang dapat menunjukkan jalan kepada kita” (Anand
Krishna, Guru Yoga, hal. 9).
Berguru berarti
berserah diri sepenuhnya. Menyerahkan segala urusan kepada seorang Guru.
Termasuk apa yang kita anggap sebagai “urusan duniawi.”
Pertanyaan berikutnya
adalah: perlukah seorang Guru mengurusi urusan “duniawi” si murid?
Mari kita bayangkan
bahwa seorang Guru ibarat seorang dokter. Kita datang kepada seorang dokter dan
meminta sang dokter untuk menyembuhkan penyakit kita. Kita akan menyerahkan
segala urusan tentang kesehatan kita kepada dokter tersebut. Dokter akan
memantau segala hal tentang diri kita untuk bisa tahu kondisi kita yang
seutuhnya. Kita perlu menceritakan segala hal tentang diri kita sehingga dokter
bisa melakukan diagnose dengan tepat. Jika kepada seorang dokter saja kita
perlu tunduk seperti itu, apalagi kepada seorang Guru.
Seorang Guru ibarat dokter bagi jiwa
kita yang menderita penyakit ketidaksadaran. Untuk itu, kita perlu menyerahkan segala urusan
kita kepada sang dokter jiwa. Tidak perlu ada yang kita sembunyikan dari
seorang Guru. Seorang Guru mengetahui segala hal tentang diri kita, bahkan
rahasia terdalam diri kita. Seorang Guru memiliki penglihatan “helicopter view”. Seorang Guru melihat kehidupan secara utuh, maka
mampu melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan kita.
Saya memiliki satu
pengalaman menarik tentang “urusan duniawi” yang kelihatannya sepele, tetapi
bagi seorang Guru ternyata tidak sesepele itu. Dulu, saat bersekolah S2, saya
memiliki rambut panjang. Kondisi iklim dengan kelembaban rendah di tempat saya
bersekolah membuat saya mudah untuk memelihara dan merawat rambut panjang.
Begitu pulang ke Bali, dengan kelembaban yang sangat tinggi, rambut panjang
membuat saya kegerahan dan mudah rontok. Karena kepanasan, akhirnya saya
memotong rambut pendek sekali. Saat menjadi teacher di One Earth School, sejak
awal rambut saya selalu pendek. Hingga suatu
ketika, saya mendapat teguran dari Guruji via Ma Archana perihal rambut. Singkat
cerita, saya diwajibkan untuk memanjangkan rambut.
Awalnya saya berpikir
mengapa Guruji sangat “kepo”, bahkan urusan rambut saja menjadi “masalah”. Saya
sempat bertanya dalam hati, tetapi tetap mengikuti petunjuk beliau dan mulai
memanjangkan rambut. Lama kelamaan, akhirnya saya menyadari posisi dan peran
saya sebagai seorang teacher. Untuk menjalankan peran saya sebagai seorang
teacher perempuan, saya perlu menonjolkan sisi feminine dan keibuan, bukan sisi
maskulin atau “macho”. Ketika saya bandingkan foto-foto saya saat masih
memiliki rambut cepak dan rambut panjang, feel-nya memang berbeda. Saya
sendiri lebih menyukai foto-foto saya ketika rambut saya panjang.
Itulah seorang Guru,
perhatiannya begitu luar biasa. Bahkan untuk hal-hal yang kelihatan sangat “sepele”
beliau perhatikan dengan begitu detail. Teguran dari seorang Guru adalah demi
kebaikan kita, teguran itu adalah untuk
kemajuan kita. Bahkan apa
yang dianggap “amarah” oleh seorang murid adalah ungkapan kasih dan kepedulian
dari Guru.
“Adakah kita memarahi orang
asing…? Kita tidak pernah
memarahi orang asing dalam pengertian orang yang kita tidak kenal, atau baru
kenal. Kita
memarahi mereka yang adalah dear and near, mereka yang kita sayangi, mereka yang dekat,
bahkan dekat sekali dengan kita.”
(Anand Krishna, Jatuh,
Bangun, Jatuh Lagi & Bangun Kembali, hal. 40)
Komentar
Posting Komentar