Labirin Duka Derita Part 7: Beware, Bad Company

Gurudev selalu mengingatkan kami tentang ABC kehidupan, Always Be Careful, dalam setiap langkah yang kita tempuh dalam kehidupan ini. Cerita tentang kejatuhan Sangram tidak berhenti sampai di situ. Cerita tersebut berlanjut sampai 6 bulan setelah Sangram meninggalkan padepokan, meninggalkan gurukula yang telah membesarkan dan memberinya kehidupan.

Kota tempat Sangram melanjutkan pendidikan tingginya merupakan salah satu kota besar di Pulau Gondwana. Penduduk kota tersebut dikenal dengan nama Suku Belalai Gajah. Masyarakat Kota Belalai Gajah memiliki karakteristik yang glamor, mementingkan penampilan fisik, materialis baik para pria dan wanitanya, dan angka penderita AIDS-nya mencetak rekor tertinggi di Pulau Gondwana dan di seantero Negeri Terjajah Gaya Baru. Seram…

Berdasarkan cerita dari Sangram sendiri, ia adalah salah satu dari empat dari mahasiswa yang tidak merokok di kelasnya dengan jumlah total mahasiswa sebanyak 150 orang. Semua mahasiswa maupun mahasiswinya merokok dan itu adalah pemandangan umum di Kota Belalai Gajah. Di kalangan mahasiswa, pembicaraan dan perilaku seks bebas menjadi konsumsi sehari-hari mereka. Yang lebih miris lagi, anak-anak yang sedang menempuh jenjang Junior High School sudah terbiasa clubbing dan menjadi penghuni klub-klub malam.

Kota Belalai Gajah termasuk salah satu kota besar di Negeri Terjajah Gaya Baru, mungkin kita mengira bahwa kualitas pendidikannya baik-baik saja. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Selain masalah degradasi karakter, hal-hal lain yang menjadi sorotan adalah kemampuan multitasking mahasiswa di sana. Siswa-siswa yang bersekolah di Gurukula termasuk Sangram sudah dibiasakan untuk bisa menguasai sebanyak-banyaknya skill kehidupan. Saat bercerita tentang teman-teman di kelasnya, Sangram menyampaikan bahwa bahkan untuk membuat presentasi menggunakan power point saja mereka mengerjakannya dengan “sangat tidak proper”. Entah slide presentasinya terlalu heboh sampai “menyakitkan mata”, huruf yang terlalu kecil, dan segudang detail lain yang tidak diperhatikan dengan baik. Berbicara tentang video editing dasar, ternyata tidak lebih dari 10 mahasiswa yang bisa melakukannya. Bagaimana saat terjadi sesi diskusi di kelas? Tenyata semuanya pada mingkem dan tidak ada yang mau angkat bicara. Saat diminta menjadi pemimpin dari sebuah kegiatan, tidak ada yang berinisiatif untuk memimpin selain Sangram.

Di sana, Sangram dikenal sebagai mahasiswa yang extraordinary, berbeda dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Disegani dan dihargai oleh para pengajarnya karena kesantunan dan kepeduliannya. Menjadi ketua dalam beberapa organisasi kemahasiswaan karena keaktifan dan kemampuannya dalam mengambil inisiatif. Di permukaan, semuanya tampak baik-baik saja, semua terasa berjalan dengan sangat baik.

Tetapi…

Paramhansa Yogananda mengingatkan kita bahwa: “Pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dibandingkan kehendak manusia” (Anand Krishna, dalam buku Sanyas Dharma, hal. 79).

Setelah menyelesaikan semester pertamanya, Sangram pulang ke Pulau Adriatic. Selama berada di Kota Belalai Gajah, ia selalu merindukan sekolah lamanya dan sangat ingin kembali ke Gurukula untuk bertemu dengan para teachers dan adik-adik kelasnya. Baginya, Gurukula sudah seperti rumahnya sendiri.

Beberapa hari setelah menginjakkan kaki di Pulau Adriatic, ia pergi ke Gurukula.

“Sangram, ini kamu?”

“Iya Teacher Medha, teacher apa kabar?”

“Kabar baik, nak. Sangram apa kabar?

“Kabar baik, teacher. Saya senang akhirnya bisa kembali ke Gurukula.”

Sangram banyak bercerita tentang kuliahnya, tentang betapa bersyukurnya ia telah mendapatkan pendidikan di Gurukula. Dengan bekal life skill dan pendidikan berbasis Budi Pekerti yang telah ia dapatkan di Gurukula, Sangram mendapatkan begitu banyak kesempatan-kesempatan dan memegang peranan penting dalam organisasi kemahasiswaan di kampusnya.

Sebagai seorang guru, saya senang mendengar ceritanya, tetapi di sisi lain ada kepedihan yang mendalam yang saya rasakan saat melihat mata Sangram. Saya melihat cahaya di matanya hilang, sinar cemerlang yang pernah ada di mata itu telah menguap tanpa bekas. Cahaya yang terpancar dari mata itu adalah rasa bersalah, kepedihan, keputusaaan dan rasa takut.

Semua itu terlihat saat saya meminta Sangram untuk memberikan testimoni alumni bagi kepentingan konten sosial media Gurukula.

Sangram sedang berada berada di Gurukula untuk memfasilitasi salah satu kegiatan bersama dengan junior-juniornya. Saat itu, tim promosi online untuk social media Gurukula sedang menyiapkan beberapa konten yang akan digunakan untuk mempromosikan Gurukula, salah satunya adalah mengambil video testimoni alumni. Sangram adalah salah satu alumnus yang rencananya akan diminta memberikan testimoni tentang Gurukula, Bersama dengan satu alumnus yang lain, yaitu Sundara.

Setelah selesai makan siang, tim pengambil video telah mempersiapkan diri di perpustakaan Gurukula untuk mengambil rekaman video. Sangram dan Sundara kemudian datang dan mempersiapkan diri mereka untuk rekaman. Selama bersekolah di Gurukula, Sangram adalah siswa yang sangat fasih dalam public speaking, baginya, berbicara sama mudahnya seperti mengambil nafas, as simple as that. Hal itu seperti sudah menjadi bagian dari bawaan lahirnya, ibarat dalam sebuah ponsel pintar, aplikasi public speaking sudah terinstall dalam dirinya.

Hal tersebut berkebalikan dengan Sundara, ia harus berjuang keras untuk berbicara di depan umum dan kemampuan public speakingnya jauh berada di bawah Sangram. Tetapi Sundara memiliki banyak keunggulan di bidang lain seperti bermain alat musik dan menggambar.

Yang mengagetkan adalah Sangram yang biasanya fasih berbicara, saat rekaman video berbicara dengan terbata-bata. Setelah menyelesaikan satu atau dua kalimat, dia berhenti bicara dengan jeda yang cukup panjang. Untuk sesi pengambilan video sendiri, Sangram harus mengulang rekaman hampir 10 kali, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Sementara, Sundara yang biasanya kurang lancar dalam berbicara hanya perlu direkam sebanyak 3 kali.

Mengapa kejadian seperti di atas bisa terjadi?

Sekali lagi, mari kita cermati petuah dari Paramhansa Yogananda: “Pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dibandingkan kehendak manusia” (Anand Krishna, dalam buku Sanyas Dharma, hal. 79).

Lingkungan bisa mengubah orang dalam waktu yang sangat singkat, entah ke arah yang lebih baik atau ke arah yang sangat buruk. Bagaimana kinerjanya? Kita akan mencermatinya dari sudut pandang hipnoterapi. Bagaimana pergaulan bisa menghipnosis manusia?

“Hipnosis memiliki banyak wujud dan nama lain…. Salah satu pelopor NLP (Neuro-linguistic Programming), penulis dan presenter Richard Bandler mengakui secara terbuka bahwa cara terbaik untuk induksi adalah dengan menatap orang yang hendak diinduksi, menyelaraskan nafas dengan dia, dan menginduksi diri untuk memasuki alam trans.”

“Dengan menginduksi diri dan memasuki alam trans itu, orang yang sedang kita tatap pun akan ikut terinduksi dan masuk ke dalam alam trans. Ini adalah salah satu bentuk “hipnosis” yang sering terjadi tanpa kita sadari. Pergaulan dapat menginduksi kita dengan cara tersebut. Dengan makan, minum, dan bergaul, dengan orang baik, kita ikut terinduksi menjadi baik. Jika melakukannya dengan orang yang tidak bermoral, kita juga akan terinduksi dan ikut menjadi orang yang tidak bermoral.”

“Mengapa bisa demikian? Nafas kita bisa secara otomatis menjadi selaras dengan orang-orang yang berada di sekitar kita. Apalagi jika orang-orang itu kita anggap sahabat. Dalam keadaan nafas kita selaras, maka kita dapat saling mempengaruhi” (Anand Krishna, dalam buku Neo Spiritual Hypnotherapy, hal. 84-85).

Sekali lagi, mari kita dengarkan nasehat dari Paramhansa Yogananda tentang pengaruh pergaulan:

The company you keep is important. If you leave your coat in a room where people are smoking, pretty soon it will smell of smoke. If you leave it outside in the garden, later on, when you bring it indoors, it will carry with it the fragrance of fresh air and flowers.”

“Such is the case with the mind. Your garment of thoughts absorbs the vibrations of those with whom you mix. If you mingle with pessimists, in time you will become a pessimist. And if you mingle with cheerful, happy people, you yourself will develop a cheerful, happy nature.”

“Environment is stronger than will power. To mix with worldly people without absorbing at least some of their worldliness requires great spiritual strength.”

“Beginners on the spiritual path, especially, should be very careful in the company they keep. They should mix with other devotees, and try not to mingle with ego-saturated, worldly people. They should especially avoid people who are negative, even if those people are devotees.”

“Whether one becomes a saint or a sinner is to a great extent determined by the company he keeps” (The Essence of Self-Realization by Paramhansa Yogananda).

Paramhansa Yogananda

Terjemahan bebas:

“Persahabatan yang Anda bina akan mempengaruhi diri Anda. Jika Anda meninggalkan mantel Anda di ruangan penuh asap rokok, maka mantel Anda akan berbau asap. Jika Anda meninggalkan mantel di taman bunga beraroma wangi, maka mantel Anda akan menebarkan aroma segar wangi bunga dari taman tersebut.”

“Begitu pula dengan pikiran Anda. Pikiran Anda menyerap getaran dari orang-orang yang bergaul dengan Anda. Jika Anda bergaul dengan orang pesimis, lama-kelamaan Anda akan menjadi pesimis. Sebaliknya, jika Anda bergaul dengan orang-orang yang ceria dan bahagia, maka Anda akan menjadi ceria dan bahagia.”

“Pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dibandingkan kehendak manusia. Untuk bergaul dengan orang-orang yang materialistis tanpa terpengaruh oleh keduniawian mereka, dibutuhkan kekuatan spiritual yang luar biasa besar.”

“Para pemula di jalan spiritual, khususnya, harus sangat berhati-hati dengan siapa mereka bergaul. Mereka dianjurkan untuk bergaul dengan para panembah, dan berupaya untuk menghindari pergaulan dengan mereka yang materialistis (orang-orang yang menganggap materi sebagai satu-satunya kebenaran dalam hidup). Mereka dianjurkan untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang negatif, meskipun orang-orang itu adalah sesama panembah.”

“Seseorang dapat menjadi orang suci atau pendosa diakibatkan oleh pergaulan yang mereka jalani.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum