Vivaha, Parenting, dan Pendidikan Part 1: Bibit Bebet Bobot

Haruskah seseorang menikah? Haruskah seseorang menempuh jalur vivaha (perkawinan) dalam perjalanan hidupnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita cermati dulu tentang tahapan hidup manusia.

Dalam psikologi timur yang sudah berusia minimal 5.000 tahun, tahapan perjalanan hidup manusia terbagi atas empat tahapan utama yaitu:

1.     Brahmacharya Ashram

“Sebuah masa dalam hidup dari masa kanak-kanak hingga remaja, belajar untuk menemukan potensi dirinya. Tidak berhenti pada tahap penemuan potensi diri saja, ia dibimbing oleh seorang Guru untuk tidak hanya mengembangkan potensi tersebut, tetapi diajarkan untuk menjadi kreatif dan mampu beradaptasi terhadap perubahan. Pada akhir masa pendidikannya, ia diberi gelar Srajanahaar atau sarjana, Sang Kreatif, ia yang mampu menciptakan sesuatu yang baru dan mampu mengungkapkan potensi diri sepenuhnya. Di atas segalanya adalah ia mampu menjadi manusia yang manusiawi.”

“Masa ini dimulai dari lahir hingga usia 20-an tahun. Tergantung pada tingkat kecerdasan seorang anak, ada yang mampu mengakhiri masa ini pada usia 20 tahun tepat, ada yang menyelesaikannya pada usia 21, 22, 23, dan batas maksimalnya adalah pada usia 25 tahun.”

2.     Grahasthya Ashram

“Masa ini dimulai di atas usia minimal 25 tahun, saat seorang sarjana telah menyelesaikan masa Brahmacharya dan memiliki pekerjaan tetap, sehingga mampu membiayai diri dan keluarganya serta memutuskan untuk menikah dan membina keluarga.”

“Grahasthya berarti “Komitmen terhadap Keluarga”, jadi bukan sekadar membina keluarga atau rumah tangga, tetapi berkomitmen terhadap pasangannya dan putra-putrinya. Grahasthya bukan sekadar kawin, tetapi menghormati lembaga perkawinan. Masa ini adalah masa untuk berkeluarga, berkarya, dan “berhasil” secara holistik.”

“Masa ini berlanjut hingga usia 48 tahun, saat orang tua telah menyelesaikan segala kewajiban terhadap anak-anaknya. Dalam arti, anak-anak tersebut sudah meraih pendidikan dan mandiri. Dalam keadaan tertentu, masa ini bisa diperpanjang hingga usia 60 tahun. But, then that is it. Tidak ada perpanjangan lagi.”

Berarti apa?

“Mereka yang ingin menikah dan membina rumah tangga semestinya sudah melaksanakan hal tersebut selambat-lambatnya sebelum usia 30 tahun, sehingga masih memiliki waktu yang cukup untuk membiayai anak-anak mereka dan membantu anak-anak tersebut menjadi mandiri.”

3.     Vanaprastha Ashram

“Selambat-lambatnya pada usia 60 tahun, para orang tua yang telah menyelesaikan tugas dan kewajiban terhadap anak-anak mereka, mereka meninggalkan rumah untuk bermukim di vana, wana, atau hutan untuk selanjutnya “sepenuhnya” mendalami laku spiritual.”

“Para Vanaprasthi atau Vanaprastha Ashram boleh juga bergabung dengan salah satu ashram (padepokan), yang pada masa lalu umumnya berada di tengah hutan.”

Apakah masih applicable pada masa kini? Ketika hutan semakin jarang dan ashram tidak selalu berada di tengah hutan.

“Untuk itu, Vanaprastha Ashram mesti dimaknai Kembali. Vanaprastha Ashram dalam konteks masa kini mesti diterjemahkan sebagai pelepasan diri dari ketergantungan pada materi. Materi tetap dibutuhkan untuk bertahan itu dan berbagi berkah. Para Vanaprasthi sudah tidak lagi mengejar kemewahan. Mereka dapat bergabung dengan padepokan spiritual secara purnawaktu dan mengabdikan dirinya di sana.”

4.     Sanyas Ashram

“Masa ini merupakan masa terakhir dalam tahapan hidup manusia. Ia yang masuk dalam masa sanyas melepaskan segala macam “keterikatan” duniawi. Ia tidak lagi membedakan antara anak kandung, anak saudara, anak orang lain, bahkan tidak lagi membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.”

“Lepas dari keterikatan tidak berarti ia tidak peduli terhadap dunia. Sebaliknya, ia memiliki kepedulian yang luar biasa dan menggunakan sisa hidupnya untuk melayani segenap bentuk kehidupan.”

(Anand Krishna, dikutip dari buku Sanyas Dharma)

Kembali ke pertanyaan awal: haruskah seseorang menikah?

Haruskah seseorang melewati keempat tahapan di atas secara berurutan?

Jika kita cermati dari sudut pandang Sanatana Dharma, maka keempat tahapan tersebut tidak harus dilewati secara berurutan. Vivaha/pernikahan bukanlah sebuah kewajiban. Setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka. Mau menikah atau tidak, seseorang harus menentukan sendiri pilihannya. Untuk lebih detail, silakan baca artikel yang penulis tulis dengan judul Vivaha Part 1: Mengapa Nicholas Tesla Tidak Menikah?  (http://bit.ly/3LtsMaS).

Sita Memilih Rama Dalam Swayamvar

Bagaimana jika seseorang ingin menikah? Apakah ada kriteria khusus yang bisa digunakan sebagai panduan? Mengapa pada zaman dahulu orang melakukan sistem perjodohan atau arranged marriages? Selain itu, kita juga menemukan dalam cerita-cerita Ramayana atau Mahabarata, Sita dan Drupadi melakukan swayamvar (memilih jodoh sendiri dengan menyeleksi calon suami yang akan mendampingi mereka). Jika kita lihat benang merah dalam kedua cara memilih pasangan tersebut, kata kuncinya adalah seleksi.

Istilah seleksi juga popular pada bidang pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk mempelajari pertukaran dan perbaikan karakter tanaman yang akan diwariskan pada suatu populasi baru dengan sifat genetik yang baru. Pemuliaan tanaman umumnya dilakukan dengan berbagai cara utama seperti penangkaran, persilangan, dan seleksi. Jika untuk mendapatkan tanaman jenis unggul saja para petani dan ilmuwan melakukan berbagai cara untuk menyeleksi sifat atau karakter tanaman, apakah untuk mendapatkan manusia unggul, calon pengantin tidak perlu melakukan seleksi ketat terhadap calon pasangannya?

Salah satu faktor yang perlu dijadikan pertimbangan untuk memilih pasangan adalah faktor usia.

Dalam ilmu genetika, “seluruh data memori dalam DNA seorang anak berasal dari sperma ayah. Energi untuk menggerakkan tubuh berasal dari sel telur ibunya. Kendati demikian, data tersebut tidak dapat dibaca jelas jika wahana atau sperma yang mengantarnya berkualitas rendah. Kualitas motorik seorang anak ditentukan oleh kualitas sel telur ibunya” (Anand Krishna, The Science of Fear Management & The Art of Being Happy, hal. 40).

Salah satu faktor yang menyebabkab kualitas sperma dan sel telur berkualitas rendah adalah faktor usia orang tua. “Idealnya, seorang ibu tidak lagi mengandung dan melahirkan jika sudah berusia di atas 35 tahun. Demikian juga seorang ayah, batas usia ketika sperma masih relative baik adalah di bawah 40 tahun. Itu sudah maksimal. Sesungguhnya, usia 30 tahun adalah yang paling ideal” (Anand Krishna, The Science of Fear Management & The Art of Being Happy, hal. 41).

Dalam budaya Jawa Kuno, kita mengenal istilah bibit, bebet dan bobot. Ah, terlalu kuno dan klise untuk dijadikan sebagai panduan pernikahan. Begitukah?

Mari kita cermati terlebih dahulu apa itu bibit, bebet dan bobot.

Bibit berarti benih atau asal usul kelahiran, latar belakang. Bobot berarti kemampuan dan bebet bermakna pencapaian.

Dalam Bhagavad Gita, ada sebuah sloka yang menarik untuk dicermati terkait dengan bibit bebet dan bobot.

Purusa atau gugusan Jiwa yang berinteraksi dengan Prakrti dan segala sifat kebendaannya, mengalami berbagai pengalaman sebagai hasil interaksi. Interaksi ini pula yang kemudian menjadi sebab kelahiran Jiwa lewat rahim yang baik atau tidak baik.”

(Bhagavad Gita, 13:21, Transkreasi Guruji Anand Krishna)

Guru saya, Bapak Anand Krishna dalam salah satu videonya menyampaikan bahwa “anak terpengaruh yoni (rahim) seorang ibu. Rahim seorang ibu memegang peranan sangat penting bagi perkembangan seorang anak.”

“Memori seorang anak (yang berasal dari sperma seorang ayah) bisa salah-salah sedikit. Tetapi jika kondisi yoni (rahim) tidak baik maka akibatnya bisa fatal. Seorang pria harus sangat selektif saat memilih seorang perempuan untuk dijadikan calon istri. Bibit bebet dan bobot seorang perempuan akan mempengaruhi kondisi yoninya (rahim). Sang jiwa yang akan lahir kembali memilih yoni (rahim) seorang perempuan.”

Sifat seorang anak menjadi baik atau menjadi buruk karena pengaruh ibunya. Karena itu, pada saat hamil seorang ibu harus merawat diri. Ia harus memiliki disiplin yang ketat selama masa kehamilannya. Bukan hanya soal makanan yang harus diperhatikan. Apa yang ditonton, didengar dan dirasakan oleh seorang ibu akan berpengaruh pada rahimnya.

“Bagi pihak perempuan yang akan memilih calon suami, mereka juga harus sangat selektif. Perempuan “harus jual mahal” sedikit. Jangan begitu mudah terbuai oleh rayuan laki-laki. Mereka harus diuji kelayakannya terlebih dahulu. Bibit bebet dan bobot seorang pria juga harus dicek terlebih dahulu sebelum diterima sebagai calon suami.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum