The Power of Five
“You can block your mind, and you can unblock
it yourself. When another person motivates you to do so, she/he deprives you of
an essential and natural freedom that you have over your mind. Such person weakens
your mind.”
(Anand Krishna, The Gospel of Mahamaya 298, pp.
149)
Kau dapat menutup dan membuka dirimu. Ketika orang lain
mendorongmu (memotivasimu) untuk melakukan hal itu, maka ia merampas
kebebasanmu terhadap diri sendiri. Orang itu melemahkan jiwamu.
Dalam perjalanan karir saya sebagai seorang teacher, ada
sebuah pertanyaan mengganjal di dalam benak saya selama 2 tahun terakhir. Saya
mengamati beberapa anak-anak sedari mereka SD hingga menamatkan pendidikan SMA dari
jarak yang sangat dekat; dimana saya bisa berinteraksi dengan mereka secara
langsung setiap hari.
Ada satu orang anak yang memang saya amati dan analisa secara
mendalam. Bagi saya, ini adalah sebuah case study dalam hidup. Case yang
bagi saya sebuah kisah tragis.
Dari sisi akademik, anak ini memang biasa-biasa saja,
tetapi hal yang menarik darinya adalah kemampuan leadershipnya yang
memang merupakan bakat alaminya. Selain itu, dia juga termasuk voracious
reader, termasuk membaca buku-buku Guruji Anand Krishna. Selain itu, dia selalu
mendapat kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan Guruji Anand Krishna
sedari kecil hingga menamatkan SMAnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan
bukanlah pertanyaan-pertanyaan biasa untuk level anak-anak dan sering
mengundang decak kagum. Dari pengamatan saya, anak ini pada dasarnya lahir
dengan kecenderungan sebagai seorang seeker, seorang pencari kebenaran.
Pada saat menjelang kelulusan SMA, dia dihadapkan pada 2
pilihan yang sangat sulit. Satu pilihan adalah tentang keinginan hatinya untuk
mengabdikan diri di ashram dan menjalankan visi misi Guruji Anand Krishna
dengan bekerja sambil kuliah dengan penempatan di salah satu sayap ashram. Di
satu sisi adalah memenuhi tuntutan ibunya untuk berkuliah saja seperti anak-anak
pada umumnya. Pada akhirnya, dia memilih untuk mengikuti apa yang dikatakan
oleh ibunya.
Selama hampir 2 tahun, saya selalu merenung, mengapa hal
ini bisa terjadi? Seseorang begitu dekat secara fisik dengan seorang Guru bisa
tidak mengindahkan kata-katanya. Bahkan pada saat detik-detik terakhir sebelum
berangkat melanjutkan kuliah, Guruji juga masih menegurnya dengan sangat tegas
dan ketus, tetapi masih tidak mempan juga.
Apa yang salah? Pendidikan berlandaskan Budi Pekerti yang
telah dia dapatkan selama 12 tahun tidak mampu membuat anak tersebut mengambil keputusan
dengan tepat. Dia seperti layangan putus saja, terombang-ambing tak tentu arah
dan tidak memiliki pijakan. Semakin lama, dia semakin jauh dari spiritualitas,
semakin jauh dari apa yang menjadi tujuan kelahirannya ke dunia ini.
Dalam sebuah satsang (dialog spiritual) dengan Guruji Anand
Krishna, beliau menyampaikan beberapa penelitian mutahir di bidang psikologi. Berdasarkan
hasil penelitian terdahulu (sebelum pandemi), ada sekitar 20 orang yang mempengaruhi
kita dan hal ini terkait dengan urusan hutang piutang dari masa lalu (karma).
Sekarang (pasca pandemi), 5 orang mampu memberi pengaruh sangat besar dan mengubah
pola pikir kita. Dalam dialog tersebut, beliau mengatakan bahwa ini adalah
kabar buruk.
Jika dahulu kita dipengaruhi oleh 20 orang, maka pengaruh
baik dari 10 orang akan mampu mengimbangi pengaruh buruk dari 10 orang, 50:50,
maka masih ada kemungkinan kita tidak tergelincir dengan fatal. Tapi jika kita
bandingkan dengan kondisi terbaru, 5 orang yang mempengaruhi kita, jika
semuanya adalah orang-orang negatif dan tidak memiliki kesadaran, maka habislah
kita. Kita dapat terjun bebas pada jurang yang tidak ada dasarnya. Segala
pencapaian dan akumulasi dari karma baik kita dapat hilang dalam sekejap mata,
yang saya tahu bahwa proses ini adalah perjalanan panjang. Perjalanan kehidupan
yang bisa jadi mencapai ribuan tahun lamanya.
Ketika saya amati kembali, kelima orang yang dia biarkan
mempengaruhi dirinya memang berada di lingkungan keluarga terdekat. Dimana
orang-orang tersebut bukanlah orang-orang spiritual. Cara pandang mereka adalah
cara pandang materialis, mereka menganggap dunia benda ini sebagai satu-satunya
kebenaran dalam hidup. Dan yang paling disayangkan adalah anak ini membiarkan
dirinya terpengaruh, dia tidak mau melawan, tidak berani melawan. Tidak
memiliki keberanian seperti Prahlada yang berani melawan ayahnya yang sangat materialis.
Sayang seribu sayang.
“Some human stories are called examples: do
what these people did. Other human stories are called warnings: don’t do what
these people did. What a wealth of information: knowing what to do and what not
to do. If your story ever gets in somebody’s book, make sure they use it as an
example, not a warning.”
Komentar
Posting Komentar