Kamera Ayah
Hari ini, tepat pada minggu keempat di bulan Januari 2014,
aku genap berusia 30 tahun. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat bagaikan
anak panah. Aku telah mengalami begitu banyak hal dalam 30 tahun terakhir.
Masih terbayang begitu lekat sebuah peristiwa yang terjadi setahun silam,
peristiwa yang merubah segalanya, mengubah duniaku yang begitu kecil. Kepergian
ayah mengubah diriku menjadi sosok pribadi yang begitu tegar dalam menghadapi
apapun di dalam hidup ini.
Aku dibesarkan di sebuah desa kecil yang bernama Kotaraja
di daerah Lombok Timur. Ayahku adalah seorang keturunan bangsawan Sasak yang
begitu terkenal di desaku. Ayahku adalah seorang pria sederhana yang begitu
terbuka yang begitu bertolak belakang dengan kakekku. Kakek tidak pernah
menganggap pendidikan itu penting, oleh karena itu ia tidak mau menyekolahkan
anak-anaknya untuk meneruskan pendidikan tinggi padahal sebenarnya beliau mampu
untuk melakukannya. Mungkin secara umum, kakekku begitu terpengaruh oleh budaya
Sasak yang cenderung manut, patuh serta ikut arus saja; jarang ada yang
berpikir untuk memulai sesuatu terlebih dahulu untuk menjadi pendobrak. Mungkin
karena kondisi itulah yang menyebabkan masyarakat di desaku menjadi sedikit
tertinggal karena cenderung selalu menunggu uluran tangan pemerintah untuk
menyelesaikan dan menuntaskan segala ketertinggalan yang terjadi di desaku.
Ayahku adalah sosok pahlawan untukku, tidak hanya untukku,
tetapi juga untuk masyarakat di desaku. Beliau hanya tamat Sekolah Dasar,
tetapi ia adalah seorang pendobrak yang berhasil memajukan desaku. Di kalangan
para petani, beliau dikenal begitu ulet dan begitu tekun. Berkat ketekunannya,
ayah berhasil memajukan sektor pertanian di Kotaraja dengan cara melatih dan
memberdayakan para petani sehingga mampu membuat bibit dan pupuk sendiri
sehingga para petani di desaku tidak tergantung kepada perusahaan pemasok benih
dan pupuk kimia.
Aku sering membantu ayah di sawah dan sesekali beliau
membawaku berjalan-jalan ke air terjun Jeruk Manis yang letaknya tidak jauh
dari desaku. Di sepanjang perjalanan, beliau seringkali bercerita tentang
cita-cita dan idealisme di masa mudanya.
“Wijaya, tahukah kamu bahwa tempat kita ini begitu kaya.
Coba bayangkan daerah Tete Batu, lihatlah bebukitan di sana yang begitu indah,
menawan dan begitu sejuk. Tak lupa pula, betapa banyaknya sumber air yang kita
miliki seperti Otak Kokoq, Joben dan Air Terjun Jeruk Manis. Dan juga betapa
kayanya kita akan tanah liat untuk pembuatan industri gerabah di daerah Loyok
sana. Tidakkah kau berpikir bahwa daerah ini memiliki potensi wisata alam yang
begitu besar. Selain itu, kita juga kaya akan flora dan fauna, mulai dari
begitu banyaknya burung serta primata seperti monyet ekor Panjang dan lutung.
Ayah berharap kau mau bersekolah tinggi hingga mencapai gelar master, kembali
ke Kotaraja dan mampu mengaplikasikan semua yang telah kau pelajari untuk
mengembangkan pariwisata di daerah kita. Lihatlah juga betapa banyaknya
kesenian yang kita miliki dari Gendang Beleq hingga seni Peresean. Ayah bolehlah jadi tamanan SD saja, demikian
juga ibumu karena kakek dan nenekmu yang begitu kolot dan mengganggap
pendidikan itu tak penting. Padahal ayah ingin sekali sekolah tinggi dan
mengembangkan pertanian dan wisata di sini, tapi apa daya tangan ayah tak
sampai ke sana. Satu hal yang Ayah sesalkan adalah sikap pemerintah kita yang
tak tanggap dengan situasi dan tidak mau mengurusi infrastruktur terutama
jalan. Kita secara ekonomi menjadi begitu terhambat terkait dengan distribusi
barang dan jasa yang tak lancar karena buruknya prasarana jalan”.
Saat itu aku hanya mengangguk dan mengiyakan saja sebagai
tanda setuju.
Ayah kemudian melanjutkan:
“Ayah akan bekerja keras untuk menyekolahkanmu hingga ke
jenjang master dan penuhilah keinginan ayah yang tak pernah mengenyam bangku
sekolah nak, ayah mohon”, ujar beliau dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku tak tahu harus berkata apa pada ayah. Sekali lagi aku
hanya bisa menggangguk. Pria tua itu begitu sederhana dan bersahaja. Dia
memandang alam sebagai sumber kehidupan yang tiada habisnya dan begitu
menghargai semua hal, dan dia menghargai semua orang yang ada di sekitarnya.
Dia memperlakukan semua hal terutama tanaman dengan cara yang mungkin bagi
kebanyakan orang “sedikit aneh”. Ayah sering “berbicara” dengan tanaman, aku
sering mengamatinya di sawah. Saat panen tiba, hasil panen ayah selalu bagus dan
melimpah.
Ayah pernah berkata padaku:
“Wijaya, jangan kira tanaman itu tak bernyawa ya, segala
sesuatu di alam ini hidup. Jika kamu menyadari itu, kamu akan selalu menghargai
semua bentuk kehidupan di muka bumi ini. Suatu saat penemuan ilmiah akan
membenarkan teori ayahmu ini, tinggal tunggu waktunya saja. Alam punya bahasa
yang begitu halus dan hanya ketulusan hati yang mampu menjangkaunya. Maka dari
itu kamu harus senantiasa bersyukur terhadap segala hal yang kamu terima dan
hargailah semua bentuk kehidupan di muka bumi ini sekecil apa pun itu.”
Semakin dewasa aku semakin menghargai ayah dan prinsif
hidupnya yang begitu sederhana. Di hari ulang tahunku yang ke-17, ayah
menghadiahkanku sebuah kamera dan sampai saat ini kamera itu adalah kamera
kesayanganku. Aku tidak pernah tahu mengapa Ayah menghadiahiku kamera, aku tak
pernah meminta itu. Aneh, tetapi kamera itu justru pada akhirnya membuat
hubunganku dengan ayah menjadi begitu tegang. Hadiah yang dia berikan ternyata
menjadi sebuah palu godam yang menghantamnya telak dan tanpa ampun.
Sejak saat itu, aku lebih fokus untuk belajar fotografi dan
pelajaran di sekolah terkesampingkan. Aku
benar-benar tergila-gila dengan dunia fotografi dan belajar banyak dari sahabat
karib ayah yang punya studio foto. Namanya Pak Budiman, seorang keturunan Jawa
yang begitu kental dengan logat Jawanya yang begitu medok.
Mulai saat itu, aku sering bertengkar dengan ayah dan
semakin lama aku semakin memberontak karena ayah secara terang-terangan
melarangku mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan fotografi. Aku masih
begitu belia dan secara psikologis sedang dalam fase mencari jati diri dan
selalu rentan dengan reaksi pemberontakan.
Seusai kelulusan SMA aku pamit pada ayah dan mengatakan
bahwa aku telah diterima bekerja sebagai asisten seorang fotografer kawakan di
Jogjakarta atas rekomendasi dari Pak Budiman. Sebelumnya ayah sudah
mewanti-wanti agar aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di Universitas
Gajah Mada dan mengambil jurusan yang berhubungan dengan manajemen pariwisata.
Tapi aku tak pernah menggubrisnya dan malah memilih sesuatu yang sesuai dengan
kata hatiku, dengan dunia fotografi yang begitu aku cintai, dan di sanalah aku
meletakkan semua harapan dan cita-citaku.
Di malam kelulusan SMA, aku bertengkar hebat dengan Ayah.
“Kamu benar-benar mengecewakan ayah Wijaya, ayah sudah
menyiapkan segalanya untuk kuliahmu hingga master. Beginikah balasanmu untuk
Ayah?” kata beliau dengan nada meninggi.
“Tapi ayah, aku punya mimpi yang ingin kuwujudkan. Maaf aku
tidak bisa menjadi pribadi seperti yang ayah inginkan. Aku ingin menjadi
fotografer”, sahutku tak kalah nyaring.
Plak… plak… plak… Tiga tamparan yang begitu keras mendarat
di pipiku. Selama ini, sedari kecil, ayah sama sekali tak pernah menampar dan
memukul. Mungkin saking kecewa dan marahnya padaku, tamparan itu mendarat
begitu telak di pipiku.
Aku langsung menangis dan hanya bisa terdiam tanpa berkata
sepatah pun kata. Kemudian aku masuk ke kamar dan mulai mengemasi
barang-barangku seadanya. Aku pergi meninggalkan rumah malam itu juga dan tak
menghiraukan teriakan putus asa dari ayahku yang tak rela aku pergi.
Sejak saat itu, aku menghilang dan tidak pernah memberi
kabar ke rumah. Aku bekerja begitu keras untuk membuktikan kepada ayah bahwa
pilihanku adalah benar. Dari seorang asisten fotografer, aku akhirnya berhasil
mendirikan sebuah production house yang begitu terkenal di Kota Mataram.
Setahun yang lalu, di suatu sore berhujan telepon genggamku
berdering dan terdengar suara ibuku dari kejauhan.
“Wijaya, pulanglah, ayahmu sakit parah, beliau terkena
kanker prostat stadium akhir dan dokter mengatakan bahwa usianya tidak akan
lama lagi.”
Aku hanya diam selama beberapa saat dan tidak mampu berkata
apapun.
“Baiklah bu, malam ini juga Wijaya akan pulang ke
Kotaraja.”
Malam itu juga aku melaju pulang ke Kotaraja ditemani
Radith, sahabat karibku.
“Ayah, maafkan aku atas segalanya dan telah meninggalkan
ayah begitu lama.”
“Tidak nak, ayah yang harus minta maaf padamu. Tidak
seharusnya ayah memaksakan kehendak ayah padamu. Ayah begitu bangga mendengar
kabar bahwa engkau telah mendirikan sebuah production house dan bisa
memperkerjakan banyak orang. Ayah senang karena kau bahagia dengan apa yang kau
kerjakan. Hidupmu adalah milikmu dan kamulah yang paling tahu apa yang terbaik
dan sanggup untuk kau jalani. Akhirnya ayah menyadari semua itu. Sekali lagi
Ayah meminta maaf padamu.”
“Terima kasih ayah, atas segalanya. Aku tidak akan
melupakan semua hal yang Ayah ajarkan kepadaku sejak kecil. Terima kasih telah
mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang jujur. Seperti yang ayah selalu
sampaikan, kejujuran adalah sebuah mata uang yang bisa digunakan dimana saja.
Kejujuran itulah yang membawaku mencapai semua yang bisa kucapai saat ini.”
Ayah hanya tersenyum simpul dan kemudian melanjukan
pesannya.
“Wijaya, ingatlah ini: jangan pernah melupakan jasa
siapapun yang sudah membawamu hingga ke titik ini. Di balik suksesmu, pasti ada
beberapa orang yang telah dengan begitu tulus untuk terus membantu dan
menyemangatimu hingga kau tidak pernah lupa akan cita-cita dan impianmu.”
Sesaat suasana menjadi begitu tenang dan hening, dan
akhirnya Ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir di sampingku.
Ayah, kau benar. Aku bukanlah siapa-siapa tanpa Radith,
sahabatku. Ia adalah orang yang mengubah hidupku, setelah ayah dan Pak Budiman.
Entah berapa kali aku gagal dalam usaha dan ditipu oleh rekan kerjaku. Tetapi
kehadiran Radith ibarat pelita yang menerangi hidupku. Ia tidak hanya membantu
dengan memberi modal untuk membangun kembali usahaku, tetapi dia adalah seorang
penasehat yang begitu bijaksana di dalam segala hal.
Apapun yang aku raih saat ini, semua itu adalah berkat jasa
seseorang yang aku kenal sebagai SAHABAT.
“Berterima kasihlah kepada orang yang layak,
kepada mereka yang mengangkatmu dari lubang berlumpur, bukan kepada mereka yang
menikmati hidup di dalam lumpur. Berterima kasih kepada mereka malah membuktikan
ketidaklayakanmu sendiri.”
(Anand Krishna, In the Footsteeps of the
Master, hal. 11)
Picture courtesy: Harsh Sahu (www.pexels.com/photo/silhouette-of-man-and-birds-by-water-at-sunset-18534016/)
Komentar
Posting Komentar