Vivaha, Parenting, dan Pendidikan Part 6: Three Bad Combinations

Saat penerimaan rapor pada tanggal 20 Desember 2024, banyak catatan-catatan menarik yang bisa dijadikan bahan pelajaran berharga terkait dengan pola asuh anak dalam keluarga.

Sebenarnya, Guruji Anand Krishna sudah mengingatkan kita semua sejak awal Covid-19:

“Jika covid berlangsung selama 2 tahun, maka ke depan kita akan menghadapi masalah yang sangat serius. Kita akan menghadapi kondisi dimana anak-anak kecil sudah terlahir dengan menderita gangguan mental.”

Apa yang beliau sampaikan kemudian menjadi kenyataan. Siswa yang awalnya hanya akan belajar selama 2 minggu di rumah karena Covid menjadi belajar di rumah selama 2 tahun.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, khususnya setelah Covid, terjadi perubahan besar-besaran dalam bidang pendidikan. Terjadi penurunan yang sangat signifikan (baca: terjun bebas) pada anak-anak dalam hal fokus, kemampuan berbahasa (berkomunikasi, memahami instruksi, merangkai kata-kata dan kalimat, menggunakan diksi), berkurangnya sopan santun, kemampuan bersosialisasi, kemampuan membaca dan memahami bacaan.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan anak-anak kita? Dari hasil pengamatan, penelusuran dan wawancara dengan orang tua, sebagai seorang pendidik, saya menemukan tiga kombinasi buruk dalam proses tumbuh kembang anak. This is THE THREE BAD COMBINATIONS:

Pertama, pola makan seorang anak akan berpengaruh pada kemampuan kognitifnya. Anak-anak sekarang dari kecil sudah terbiasa diberikan ultra processed food. Mulai dari susu formula, makanan bayi yang diproses, makanan dan minuman manis dengan kadar gula yang sangat tinggi, makanan dengan kadar garam tinggi (snack seperti chiki ball dan sejenisnya), sosis, nugget, mie instan, dsb. Jangan berharap anak-anak yang dengan pola makan seperti bisa menjadi cerdas, karena makanan seperti di atas TIDAK AKAN MEMBUAT OTAKNYA BERKEMBANG. Intinya mereka akan menjadi bodoh dan gampang ditipu orang lain. Untuk berkembang, otak membutuhkan protein dalam jumlah besar. 

Seperti yang kita ketahui, otak memegang peranan sangat penting dalam fungsi kognitif (kecerdasan), sosial dan emosi anak. Mari kita belajar sedikit tentang sel-sel saraf (neuron). Bayangkan jika sel-sel otak kita akan membentuk jalur semacam jalur lalu lintas. Jalur lalu lintas terbentuk ketika satu neuron bergandengan dengan neuron yang lainnya (dikenal dengan istilah sinapsis). Semakin banyak neuron yang saling terhubung, maka akan semakin kompleks jalur lalu lintasnya. Artinya: anak akan semakin cerdas, memiliki kemampuan sosial yang sangat baik dan perkembangan emosinya akan semakin membaik.

Untuk memastikan proses tersebut berjalan baik, maka anak membutuhkan protein dalam jumlah tinggi untuk proses perkembangan otaknya. Selama ini kita dicekoki dengan doktrin, kalau tidak makan daging maka tubuh dan otak kita tidak akan berkembang. Saat ini, sudah banyak sekali penemuan bahwa konsep itu sengaja dibesar-besarkan oleh animal farming industry (industri peternakan) untuk melariskan dagangan mereka. Silakan cermati gambar di bawah ini:

Dari gambar di atas dapat kita cermati bahwa sayuran seperti bayam (49%), kale (45%), brokoli (45%) dan bunga kol (40%) memiliki kadar protein dengan persentase yang tinggi. Protein yang berasal dari hewan memiliki persentase protein yang sangat jauh di bawah keempat sayuran tersebut. Untuk mengetahui dengan detail tentang keserakahan dan pembodohan publik yang dilakukan oleh animal farming industry, silakan pembaca menonton dua film dokumenter dengan judul: ‘The Game Changer’ dan ‘What the Health’.

The Game Changer
What The Health

Kedua, penggunaan gadget yang terlalu dini juga akan merusak otak anak. Hanya karena tidak mau diganggu dan direpotkan oleh anak-anak, orang tua memberikan gadget untuk mendiamkan dan menenangkan mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi teradiksi dengan gadget.

Ketiga, salah asuhan alias dimanja. Anak-anak yang sangat dimanja dan dilayani oleh orang tua ataupun pembantunya sulit untuk mandiri. Kondisi ini terlihat dari hal-hal kecil, anak-anak kelas 1 yang dibiasakan untuk mandiri sejak dini akan bisa memasang sepatu dan kaus kakinya sendiri dengan cepat. Kontras dengan anak-anak kelas 1 yang selalu dilayani layaknya prince ataupun princess, mereka bahkan sangat kesulitan untuk memasang kaus kaki sendiri. Kalaupun bisa, mereka membutuhkan waktu yang sangat lama hanya untuk memasang kaus kakinya, gerak motorik halus mereka sangat payah. Itu baru pengamatan pada anak berusia 6 tahun yang sangat dimanjakan sejak kecil. Bagaimana jika proses pemanjaan itu berlangsung selama belasan bahkan puluhan tahun? Bisa dibayangkan betapa TIDAK MANDIRInya anak-anak yang diasuh dengan pola seperti itu. Mereka tidak akan mampu berdikari, tidak mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri. Mereka menjadi BURUNG TANPA SAYAP, tidak mampu terbang ke manapun, apalagi menembus langit biru tak berbingkai. Silakan pembaca menyimak sebuah cerita tentang akibat dari pemanjaan berlebihan pada anak, sebuah akibat yang penulis amati selama 37 tahun dengan judul: Kebodohan Suku Beep (https://ayudia13asmita.blogspot.com/2024/06/kebodohan-suku-beep.html).

Saatnya bercerita kembali…

Teringat dengan sebuah kisah lama pada tahun 2018 di sekolah kami. Ada seorang anak yang baru bergabung dengan kami selama 3 bulan di TK A dan pada suatu ketika dia jatuh dari ayunan dan mengalami kejang-kejang. Setelah di  CT scan, anak tersebut menderita kanker otak stadium 3. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa anak umur 5 tahun sudah menderita kanker otak stadium 3? Apa penyebabnya?

Usut punya usut ternyata setiap malam ibu dari sang anak menyetelkan musik supaya dia tertidur dan HP yang digunakan untuk menyetel alat musik diletakkan di dekat kepalanya.

Pertanyaan berikutnya: apa kaitan HP dengan kanker otak pada anak?

Sebenarnya sudah dilakukan penelitian terkait dengan kondisi ini sejak tahun 1960-an oleh seorang peneliti Angkatan Laut US, Dr. Allan Frey. Sang peneliti menginjeksikan cairan berwarna biru pada darah tikus. Setelah dicek, semua bagian tubuh tikus berwarna biru, tetapi, otak memiliki suatu mekanisme khusus untuk memblokade sehingga cairan berwarna biru itu tidak sampai pada otak. Mekanisme ini disebut dengan istilah blood brain barrier. Kemudian, sang ilmuwan melakukan pengulangan dan memberikan radiasi HP pada tikus sebelum dilakukan injeksi cairan berwarna biru tersebut. Dengan diberikan radiasi HP (gelombang mikro), cairan berwarna biru tersebut berhasil sampai ke otak.

Artinya, ketika radiasi HP masuk ke dalam tubuh manusia, maka sistem blood brain barrier otak yang menghalagi racun-racun berbahaya berhasil dijebol sehingga otak tidak mampu menahan racun-racun yang masuk ke dalamnya. Mekanisme inilah yang memicu terjadinya kanker pada otak manusia.

Pernyataan berikutnya: siapa yang lebih rentan terkena kanker otak ketika terpapar radiasi HP? Anak-anak atau orang dewasa?

Mari kita perhatikan hasil penelitian berikut:


Gambar pertama (kiri):

Gambar tersebut menunjukkan penampang otak pada anak berumur 5 tahun dengan ketebalan tulang tengkorak 0.5 mm. Area bagian putih menunjukkan sebaran radiasi pada otak. Jika kita lihat sekilas maka hampir sekitar 75% bagian otak anak terkena radiasi dan serapan radiasinya (absorption rate) mencapai 4.49 Watt/kg.

Gambar kedua (tengah):

Menunjukkan penampang otak pada anak berusia 10 tahun dengan ketebalan tulang tengkorak 1.00 mm. Area bagian putih menujukkan sekitar 50% bagian otak anak terkena radiasi dengan serapan radiasi (absorption rate) mencapai 3.21 Watt/kg.

Gambar ketiga (kanan):

Menunjukkan penampang otak pada orang dewasa dengan ketebalan tulang tengkorak sudah mencapai 2.00 mm. Area bagian putih menunjukkan bagian otak orang dewasa terkena radiasi sekitar 25%, dengan serapan radiasi (absorption rate) mencapai 2.93 Watt/kg.

Dari paparan di atas dapat kita simpulkan, semakin kecil anak diberikan HP maka semakin besar serapan radiasi yang masuk ke otak karena ketebalan tulang tengkorak mereka masih sangat tipis. Semakin dini diberikan HP maka kemungkinan otak mengalami kerusakan semakin tinggi, bahkan bisa memicu kanker otak pada anak.

Dalam sebuah interview pada tahun 2011 oleh The New York Times, Steve Jobs mengatakan: “We don’t allow the iPad in the home. We think it’s too dangerous for them in effect.”

Kami tidak memperkenankan penggunaan iPad di rumah. Kami berpikir bahwa efeknya akan sangat berbahaya bagi anak-anak.

Cerita lain yang hampir serupa juga datang dari Bill Gate.

Bill Gates did not give his children cell phones until they were 14 years old. In addition, its use was prohibited during lunch, dinner and before sleeping.

Gates and his wife Melinda took a decisive step by limiting screen time to 45 minutes for games, with an additional hour allowed on weekends. This was in addition to the time required for homework.

“My kids get limited computer time. Just because you’re the daughter of Bill Gates does not mean you get to play on your computer all day long” (Bill Gates).

Bill Gates tidak mengizinkan anak-anaknya menggunakan HP sampai berumur 14 tahun. Selain itu, ia juga tidak memperbolehkan anak-anaknya menggunakan HP saat makan siang, makan malam dan sebelum tidur.

Gates dan Melinda (istrinya), mengambil keputusan untuk membatasi screen time anak-anaknya selama 45 menit untuk bermain game. Dan tambahan waktu 1 jam diberikan saat weekend untuk menyelesaikan tugas sekolah.

Bill Gate berkata: “Saya sangat membatasi anak-anak saya menggunakan computer. Hanya karena kamu anak dari Bill Gates, bukan berarti kamu bisa bermain computer seharian.”

Pertanyaan berikutnya:

Jika Steve Jobs dan Bill Gates melarang anak-anaknya menggunakan laptop dan HP, mengapa mereka masih menjual produknya kepada anak-anak kita? Mengapa mereka tidak mengedukasi publik tentang bahaya radiasi HP? Mereka punya data, mereka tahu informasi tentang penelitian-penelitian di atas, tetapi mengapa tidak membagikan informasi tersebut kepada public, kepada kita semua? UUD – ujung-ujungnya duit, dagangan mereka tidak akan laku. Haruskah kita memberikan iPad dan perangkat elektronik lainnya kepada anak-anak kita sejak usia dini?

Sebagai orang tua, orang dewasa yang memutuskan untuk memiliki anak, kita harus berpikir jauh ke depan.

“Dalam 30 tahun dari sekarang, kita ingin anak-anak kita menjadi seperti apa? Menjadi pribadi yang mandiri, berintegritas, mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri atau menjadi pribadi yang selalu bergantung pada orang lain.”

Ingat, kita tidak hidup selamanya, kita tidak akan ada selamanya untuk anak-anak kita. Pada suatu saat kita akan meninggalkan mereka. Jika mereka tidak dibiasakan untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab sejak dini, maka dalam 30 tahun ke depan atau saat kita tidak ada, maka mereka hanya akan hidup dalam penderitaan.

Hidup ini penuh dengan kesulitan dan tantangan, dan untuk bisa menjalani hidup kita harus memiliki ketangguhan. Ketangguhan dalam diri manusia harus dibentuk dalam proses yang sangat panjang sejak usia dini. Tidak mungkin anak-anak yang tidak mandiri dan disiplin sejak dini bisa menjadi mandiri dan memiliki disiplin ketika mereka dewasa.

Segala sesuatu di alam ini membutuhkan proses. Seperti kata pepatah:

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian

Jika proses ini dibalik, maka pada akhirnya kita akan selalu beraduh-aduh dan hidup akan terasa seperti duka derita yang tidak berkesudahan. Pilihlah semua ini dengan bijak, termasuk dengan cara kita mendidik anak-anak kita. Pilihan sepenuhnya di tangan kita, dan apapun pilihan itu, semua ada akibatnya. Sebab yang baik akan mendatangkan hasil yang baik, sebab yang buruk akan menghasilkan akibat yang buruk. As simple as that.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Anand Krishna, The Gospel of Love

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava