Memaknai Sebuah Teguran
Ketika kita ditegur, apa hal paling umum yang biasa kita lakukan?
Berdalih dan berkelit, bahwa saya tidak salah. Atau semua
itu bukan salah saya, yang salah adalah orang lain.
Atau belajar untuk diam sejenak dan berani berkata: “Baik,
saya salah dan kesalahan itu akan saya perbaiki.”
Rata-rata dari kita akan berkelit, berdalih, dan bila perlu
menyalahkan orang lain atas kelemahan dan kesalahan kita. Adalah hal yang “normal”
dan “wajar”, jika saat ditegur, kita merasa malu atau dipermalukan. Maka
kecenderungan dari kita bereaksi dengan berkelit dan bahkan menyalahkan situasi
serta orang lain.
Tetapi pernahkah kita bertanya: “Apa maksud teguran dari
seorang Guru?” Guru yang saya maksud di sini adalah sosok Guru Spiritual, Ia
yang memandu perjalanan jiwa kita. “Apa tujuan seorang Guru menegur kita?”
![]() |
Sesungguhnya seorang Guru tidak memiliki kepentingan
pribadi, tidak ada agenda terselubung. Satu-satunya tujuan dari teguran seorang
Guru adalah untuk mempercepat evolusi jiwa kita, sehingga kita bisa menjadi kontributor
bagi kemajuan dunia, bisa berkarya demi masyarakat luas. Kita bisa mempercepat
penyelesaian karma-karma kita.
Tapi, teguran seorang Guru kadang bisa menjadi “bumerang” bagi
beliau sendiri. Beliau menyadari hal tersebut dan tetap mengambil resiko
tersebut karena cinta dan kasihnya kepada kita semua yang dianggapnya sebagai
murid, dengan segala kebebalan dan ketololannya.
Kadang, dalam sebuah padepokan spiritual, ada beberapa
orang yang seakan-akan “diistimewakan” dan berada begitu dekat sekali dengan
seorang Guru. Jika dilihat sekilas, mereka akan memuja-muji Guru dengan
berlebihan. Tetapi ketika ditegur, entah secara pribadi apalagi di depan umum,
ego yang bersangkutan meledak. Mengapa kesalahan-kesalahan saya dibeberkan di
depan umum? Mengapa saya dipermalukan di depan umum?
Orang-orang seperti ini, yang awalnya memuja dan memuji
bisa menyerang balik dan mendiskreditkan sosok Guru. Saat tidak bisa menerima
teguran itu, dia akan menganggap sosok Guru sebagai sosok monster yang jahat.
Ego yang melambung tinggi itu membuat ia yang ditegur menjadi buta dan salah
persepsi, ia tidak bisa berpikir dengan jernih lagi.
Semua itu menjadi bertambah fatal jika dia bergaul dengan
orang-orang yang tidak tepat. Pergaulan yang tidak tepat pada akhirnya akan membawa
kita ke dalam sebuah jurang kehancuran. “Kusang” atau pergaulan yang tidak
tepat akan memberikan bensin kepada ego kita. Ego kita semakin membesar, dan
kemudian akan membakar habis diri kita sendiri.
Satu hal lain yang menjadi ciri khas “barisan sakit hati”
karena ditegur oleh seorang Guru adalah mereka memiliki “literasi yang minim”. Mereka
“TIDAK SUKA MEMBACA”. Karena kurang membaca, daya analisis mereka kurang.
Mereka tidak bisa melihat jauh ke depan. Mereka tidak memiliki “critical
thinking”, sulit untuk memilah mana yang tepat dan mana yang tidak tepat.
So, ABC – always be careful. Seberapa pun dekatnya kita
dengan seorang Guru, berhati-hatilah selalu. Jagalah kebersihan diri kita,
kebersihan pikiran, kebersihan perasaan. Jangan pernah lepaskan “sadhana
pribadi”, laku spiritual kita, bermeditasilah setiap hari. Bacalah buku-buku
yang menunjang perjalanan jiwa kita sehingga kita menjadi semakin terbuka. Hal
lain lagi adalah, jagalah pergaulan kita. Jika kita bergaul dengan para bijak,
maka kita akan menjadi bijak. Jika bergaul dengan para penipu, maka kita akan
menjadi penipu.
Komentar
Posting Komentar