Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Disrupsi Total

"Memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai perikemanusiaan, membangun budi pekerti, semestinya itu yang menjadi Tujuan Pendidikan..."

~ Guruji Anand Krishna ~

Guruku selalu mengingatkan kami bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah karakter. Mengapa karakter? Mengapa karakter merupakan sebuah pelajaran yang sangat penting dalam kehidupan? Mengapa tujuan pendidikan bukan menjadikan seorang anak sebagai ahli matematika, ahli hukum atau ahli dalam skill lainnya?

Mari kita simak tulisan berikut (Source: Anonymous Indonesian)

“MENGAPA GURU DI NEGARA MAJU LEBIH KHAWATIR JIKA MURIDNYA TIDAK BISA MENGANTRI KETIMBANG TIDAK BISA MATEMATIKA?”

INILAH JAWABANNYA :

Seorang guru di Australia pernah berkata :

“Kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”

Saya tanya "kenapa begitu.......??? ”

Jawabnya :

  • SATU :

Karena kita hanya perlu melatih anak 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran di balik proses mengantri.

  • DUA

Karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian dari mereka akan menjadi penari, atlet, musisi, pelukis, dsb.

  • TIGA

Karena semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika Moral dan ilmu berbagi dengan orang lain saat dewasa kelak.

”Apakah pelajaran penting di balik budaya

MENGANTRI......??? ”

”Oh banyak sekali........!!!"

  • SATU

Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan maka ia harus datang lebih awal dan melakukan persiapan lebih awal.

  • DUA

Anak belajar bersabar menunggu gilirannya jika ia mendapat antrian di tengah atau di belakang.

  • TIGA

Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal mendapat giliran lebih awal.

  • EMPAT

Anak belajar disiplin, setara, tidak menyerobot hak orang lain.

  • LIMA

Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri).

  • ENAM

Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan berkomunikasi dengan orang lain di antrian.

  • TUJUH

Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.

  • DELAPAN

Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.

  • SEMBILAN

Anak belajar disiplin, teratur, dan menghargai orang lain

  • SEPULUH

Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.

  • SEBELAS

Dan masih banyak pelajaran lainnya, silakan anda temukan sendiri..

FAKTANYA di Indonesia......!

Banyak orang tua justru mengajari anaknya dalam masalah mengantri dan menunggu giliran, Sebagai berikut :

  1. Ada orangtua yang memaksa anaknya untuk “menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja.....!!!”
  2. Ada orangtua yang memarahi anaknya dan berkata “Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
  3. Ada orangtua yang memakai taktik atau alasan agar dia atau anaknya diberi jatah antrian terdepan, dengan alasan anaknya masih kecil, capek, rumahnya jauh, orang tak mampu, dsb.
  4. Ada orang tua yang marah-marah karena dia atau anaknya ditegur gara-gara menyerobot antrian orang lain, lalu ngajak berkelahi si penegur.

        Dan berbagai kasus lain yang mungkin pernah anda alami.

Yuk kita ajari anak-anak kita, kerabat dan saudara untuk belajar etika sosial, khususnya budaya ANTRI. Salah satu Budaya SUAP dan KORUPSI juga dimulai dari tidak mau belajar mengantri.....!!!

Sebagai orang tua dan pendidik bagaimana tanggapan kita tentang tulisan di atas? Apakah kita masih mengganggap bahwa prestasi akademik adalah segala-galanya untuk kesuksesan seorang anak?

Sebagai seorang pendidik di One Earth School, aku sepenuhnya meyakini apa yang Guruku selalu sampaikan kepada kami semua bahwa HASIL AKHIR PENDIDIKAN ADALAH KARAKTER.

Seperti ulasan di atas, untuk belajar mengantri, anak membutuhkan waktu selama belasan tahun hingga kebiasaan mengantri menjadi bagian dari dirinya. Sementara untuk belajar matematika hanya dibutuhkan waktu 3 bulan secara intensif. Proses dan pembelajaran di balik mengantri juga tidak kalah penting. Bukan hanya sekadar hasil akhir bahwa anak-anak bisa mengantri dengan tertib, tetapi pelajaran-pelajaran lain di baliknya ternyata tidak kalah penting.

Berdasarkan pengamatanku, hal-hal yang sama juga berlaku ketika kita mempelajari skill-skill lain dalam hidup. Butuh waktu yang lebih singkat untuk belajar sebuah skill dan keilmuan, tetapi untuk membuat seorang anak memiliki karakter yang baik, butuh waktu bertahun-tahun bahkan belasan tahun hingga karakter baik itu menjadi bagian dari diri mereka.

Pertanyaan: “Harus mulai darimana?

Harus dimulai sejak kecil, dari lingkungan rumah, dari lingkungan keluarga. Para orang tua dan lingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter awal seorang anak. Peran ini tidak bisa digantikan oleh apapun dan siapapun.

Pertanyaannya lainnya adalah: “Sudahkah kita sebagai orang tua melakukan kewajiban kita? Kewajiban untuk memberi contoh dan menjadi teladan yang baik untuk anak-anak kita.

“Para orang tua dan pengajar adalah pematung yang harus membentuk para siswa yang menjadi tanggung jawab mereka. Jika orang tua memberikan teladan yang tepat, maka para siswa pun otomatis akan mekar sebagai teladan unggul dan membawa kemuliaan bagi bangsa.”

“Pengaruh orang tua pada mind (gugusan pikiran dan perasaan anak) sangatlah signifikan. Sesungguhnya inilah pengaruh utama dan paling dominan pada kepribadian dan pola perilaku anak. Para orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk membentuk karakter anak. Janganlah memberi terlalu banyak kebebasan atas dasar perhatian berlebihan.

“Orang tua menyesatkan anaknya di rumah dengan kasih sayang yang tidak pada tempatnya. Di rumah, ayah dan ibu harus menunjang pengajaran yang diberikan oleh guru di sekolah.”

(Dikutip dari buku Bringing the Best in the Child, karya Guruji Anand Krishna, cuplikan artikel Sri Sathya Sai Baba tentang Pendidikan)

Kasih sayang berlebih dan tidak pada tempatnya, ini adalah penyebab kegagalan terbesar dalam pendidikan keluarga.

Sebagai orang dewasa, kita harus berpikir dari sudut pandang lain yang lebih luas dan lebih progresif, dan sepakat bahwa hasil akhir pendidikan adalah karakter. Untuk mendidik seorang anak, kita harus memiliki visi jangka panjang yaitu apa yang harus dicapai oleh seorang anak. Bagaimana seorang anak tetap bisa melanjutkan hidup ketika kita sebagai orang tua sudah tidak ada lagi bersama mereka? Bagaimana mereka bisa menjadi mandiri? Bagaimana mereka bisa tetap tangguh untuk menghadapi tantangan dan rintangan tanpa bantuan kita? Hal-hal seperti ini yang harus menjadi fokus dan perhatian kita saat mendidik seorang anak.

Pernahkah kita berpikir dan bertanya kepada diri kita sendiri:

  • Mengapa saya menjadi seperti saya yang sekarang?
  • Mengapa saya bisa sesukses seperti sekarang?
  • Proses apa yang telah saya lalui untuk menjadi seperti sekarang?
  • Bagaimana cara orang tua dan keluarga saya mendidik saya sehingga saya menjadi seperti sekarang?
  • Apakah orang tua saya mendidik dengan cara memanjakan saya dan memberikan apapun yang saya inginkan yang membuat saya bisa menjadi seperti sekarang?

Kalau mau berjujur kata, jawabannya adalah tidak. Kita tidak akan pernah menjadi setangguh sekarang jika orang tua kita selalu memanjakan kita dan memberikan apapun yang kita inginkan tanpa perlu bekerja keras.

Aku akan bercerita tentang sebuah kisah yang diceritakan oleh seorang ayah kepadaku. Simaklah baik-baik cerita berikut:

Aku memiliki dua orang anak, anak pertamaku lahir tiga tahun sebelum anakku yang kedua lahir. Karena tekanan ekonomi, aku dan istriku terpaksa merantau ke pulau seberang untuk mencari penghidupan yang lebih layak sehingga kami harus meninggalkan anak pertama kami bersama ayah dan ibuku. Anak pertama kami adalah cucu pertama di keluarga kami. Nenekku (buyut dari anakku) sangat ingin untuk merawatnya. Ia sama sekali tidak mengizinkanku membawa anakku. Aku tidak punya pilihan lain selain meninggalkannya bersama nenekku. Jika tidak, nenekku memaksa untuk ikut bersama kami supaya bisa merawat dan melihat buyutnya tumbuh.

Sejak umur 1,5 tahun, anak pertamaku diasuh oleh kedua orang tuaku dan nenekku. Yang aku tahu, ayahku mendidik putriku persis seperti caranya mendidikku. Ayahku adalah orang yang sangat disiplin dan pekerja keras. Putriku tumbuh menjadi pribadi yang sangat mandiri, disiplin, pekerja keras, cerdas, percaya diri dan pantang menyerah sebelum mencapai apapun yang dia cita-citakan. Orang tuaku sama sekali tidak pernah menyuruhnya belajar, dia selalu bisa membagi waktunya dengan baik antara belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh ayahku. Tugas-tugas yang diberikan oleh ayahku dan ibuku kepada putriku cukup banyak seperti membersihkan rumah, memasak, memelihara ternak, dan mengurus tanaman di sawah kami. Dia selalu bisa membagi waktunya untuk mengerjakan semua tugas rumah dan tugas di sekolah. Prestasinya di sekolah juga selalu bagus. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengatur waktunya sehingga tidak satupun tugas yang tidak dia kerjakan.

Ayahku juga selalu mengajarkan kepadanya bahwa kemandirian adalah segala-galanya. Ayahku berkata kepadanya:

“Jika kamu manja dan selalu mendapatkan apa yang kamu mau maka apa jadinya nanti jika Kakek sudah tidak ada dan tidak bisa meberikan segala apa yang kau mau? Kamu harus bererja keras dan bekerja cerdas jika ingin mendapatkan sesuatu dalam hidup. Cucuku, ada pepatah yang mengatakan bahwa “tidak ada makan siang yang gratis”. Jika kamu mau mendapakan sesuatu dalam hidup maka kamu harus bekerja keras dan kerja dengan cerdas. Hidup ini sulit dan keras, jika kamu tidak mandiri maka kamu tidak akan pernah mampu menghadapi hidup. Peganglah nasehat ini baik-baik.”

Hal ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada anak keduaku yang berada di bawah pengasuhanku dan istriku. Kondisi ekonomi kami sejak merantau berangsur-angsur membaik dan anak keduaku lahir dengan kondisi ekonomi yang lebih baik dibanding ketika anak pertamaku lahir. Istriku sangat menyayangi anak kedua kami dan apapun yang dia minta akan selalu dipenuhi oleh istriku. Sejak kecil dia sudah terbiasa dimanja oleh istriku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hampir setiap hal yang dia inginkan akan selalu dia dapatkan dengan cara merayu ibunya. Tetapi kami tidak pernah memikirkan dampak dari pola asuh seperti itu.

Aku baru menyadarinya dua puluh lima tahun kemudian. Pada suatu ketika aku bertengkar hebat dengan anakku yang kedua. Aku sangat kecewa dengannya, hampir semua proyek yang dia kerjakan tidak menghasilkan hal yang berarti setelah begitu banyak uang yang tercurah untuk menyelesaikan proyek tersebut. Terlalu banyak mismanagement yang dia lakukan dalam hal pengelolaan keuangan. Aku pergi dari rumah dan pulang ke kampungku. Rasanya sangat perih menyadari kenyataan bahwa uang tidak digunakan dengan efisien, seolah-olah uang itu turun begitu saja dari langit tanpa perlu kerja keras. Aku hanya berpikir: “Jika aku mati kelak, mampukah anak itu mengelola semua hal yang aku tinggalkan untukknya? Apakah hasil kerja kerasku tidak akan ludes dalam sekejap dengan caranya mengelola keuangan seperti saat ini?

Andai saja aku bisa mengulang waktu dan mengubah caraku mendidik anak keduaku seperti cara ayahku mendidik putriku. Ah, tapi sudahlah. Semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat.

Cerita tentang “kegagalan sang ayah” di atas bukanlah cerita baru. Raja Salomo pernah berkata: “tidak ada hal baru di bawah kolong langit ini.” Semua sudah pernah terjadi, ceritanya itu lagi, itu lagi. Hanya latar dan pemerannya saja yang berubah.

Kegagalan sang ayah disebabkan oleh “penglihatan” jangka pendek, sementara sang kakek jauh lebih progresif dan bisa melihat jauh ke depan. Mereka yang melihat jauh ke depan “tidak akan pernah gagal’, prosesnya mungkin memang tidak mudah layaknya membalik telapak tangan. Mereka mungkin akan berdarah-darah dalam mencapainya, tetapi mereka tidak akan gagal.

Growing Through Disruption

Sebagai orang tua dan pendidik, mari kita merenung kembali. Sudahkah kita berpikir jauh ke depan? Sudahkah pola pendidikan yang kita terapkan di rumah maupun di sekolah berorientasi pada pembentukan karakter yang akan mencetak manusia-manusia tangguh yang siap menghadapi badai seberat apapun di masa depan? Mampukah kita mencetak generasi-generasi penerus yang mampu berkontribusi bagi bangsa dan negara serta dunia?

Guruku lagi-lagi mengingatkan kami tentang pentingnya pendidikan karakter:

Pada masa disrupsi total seperti saat ini, banyak sekali mereka yang berorientasi pada ranking, mereka yang cum laude pada masa kuliah tidak mampu bertahan menghadapi tekanan. Mereka yang saat ini bisa bertahan hanyalah mereka yang memiliki wawasan yang luas, tidak ranking tetapi mereka adaptif terhadap perubahan. Mereka siap sedia menghadapi setiap perubahan. Jika anak-anak tidak sedari kecil dilatih untuk menjadi mandiri dan bekerja keras, maka kelak mereka hanya akan menjadi beban bagi masyarakat, bagi bangsa dan negara dimana mereka tinggal.”

Latih anak-anak kita sedari kecil untuk melakukan hal-hal kecil ini dengan excellence: merapikan dan membersihkan kamar sendiri, memasak, mencuci piring, bercocok tanam, mengelola keuangan dengan baik, dll. Semua ini adalah basic skill kehidupan sehingga mereka bisa survive di masa depan sehingga jika kondisi terburuk terjadi, mereka siap menghadapi situasi dan tidak mudah ditumbangkan oleh badai.

Picture courtesy: Growing Through Disruption (bit.ly/30In9y7)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum