Negeri Tirai Bambu, Epitome of Love

Setiap kali saat berada di Anand Ashram Ubud dan menatap pratima (patung) Bodhidharma dalam postur bersila dan sedang bermeditasi, ada sebuah rasa tak terjelaskan yang muncul. Rasa itu berbaur seperti permen nano-nano, campuran rasa antara takjub, kagum, senang, sedih, haru, dan rasa lain yang terjelaskan. Aku tidak pernah mengerti dengan semua perasaan itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan diri ini? Tubuhku selalu bergetar hebat saat menatap pratima itu.

Karena munculnya perasaan-perasaan yang tak terjelaskan itu, aku rasa ada sesuatu yang harus aku ungkap. Ada hal yang ingin aku ketahui tentang pratima itu, entah apa. Sepertinya dengan memahami fenomena dengan pratima itu akan memajukan perkembangan jiwaku. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa jalan ini adalah jalan kehidupan yang harus kutuju.

Untuk mengatasi kebimbangan itu, aku kemudian mengikuti kelas Past Life Regression yang diadakan oleh L’ayurveda dan difasilitasi Ma Archana. Saat sesi Past Life Regression, Ma Archana meminta kami membayangkan diri kami tengah berada di sebuah tempat yang paling indah. Aku membayangkan diriku sedang berada di Mount Lofty Botanical Garden, tempat yang paling aku sukai selama bersekolah di Adelaide, South Australia. Aku sangat mengagumi keindahan tamannya terutama saat musim gugur, saat daun-daun berubah warna dengan begitu indah menjadi merah dan kuning. Saat itu, aku sedang membayangkan diriku berada di tepian danaunya dan mengampiri sebuah bangku di salah satu sudutnya. Di sana, seorang Pemandu Spiritual sedang menantiku, dan beliau adalah Guruku, Guruji Anand Krishna. Guruji kemudian mengajakku untuk masuk dalam sebuah gerbong kereta dan kereta itu melaju semakin cepat dan membawaku ke masa lalu.

Aku melihat sebuah scene seperti menonton sebuah film China kuno. Ada seorang pemuda belia dengan pakaian khas China berumur 15-an tahun sedang berjalan menyusuri tepian danau dan membawa nampan berisi makanan. Dari kejauhan, nampak seseorang duduk bersila dan bermeditasi. Semakin pemuda itu mendekat, aku bisa melihat wajah orang yang sedang duduk bermeditasi itu, wajah itu adalah wajah pratima (patung) Bodhidharma yang aku lihat di Anand Ashram Ubud dalam posisi sedang bermeditasi. Sekarang aku akhirnya paham mengapa hanya dengan melihat patung itu, aku seperti terbawa ke masa silam. Ternyata ingatan tentang beliau terekam begitu kuat dalam memoriku.

Chinese Painting

Pada usia 20-an tahun, Guru mengajakku pergi ke sebuah bukit dan di sana beliau membangun sebuah kuil, aku kemudian diajari banyak hal tentang kehidupan oleh Guruku dan menjadi bagian dari kuil tersebut. Singkat cerita, dimasa itu, aku adalah seorang “meditator Shaolin”.

Hingga akhir hanyatku di kehidupan itu, aku mengabdikan diriku di kuil tersebut dan menjadi salah satu master kungfu pada saat itu. Saat detik-detik kematian datang, aku sedang berbaring dan dikelilingi oleh murid-muridku. Mereka menangis tersedu sedan melihat kematian semakin medekatiku. Mereka tidak ingin aku pergi meninggalkan mereka. Sepertinya mereka takut dengan apa yang akan terjadi berikutnya dengan mereka. Di sisi lain, aku menantikan momen itu, aku sedang menunggu kematianku dengan penuh suka cita.

Yang aku tahu, kematian akan membawaku bertemu dengan Guruku. Aku benar-benar merindukan beliau. Aku hanya berpesan kepada anak-anak muda yang menangisiku, suatu saat aku akan kembali bertemu mereka di suatu masa, mereka tidak akan pernah kehilanganku. Aku meminta mereka untuk melepaskan kepergianku tanpa sebuah beban. Ketika keluar dari tubuh tua tersebut, aku melayang-layang dengan bebas ke angkasa dan Guruku sedang menunggu. Beliau meraih dan menggengam erat tanganku, membawaku pergi sebuah puncak gunung. Di sana, tampak teman-teman lain sedang menunggu dan Guru mengajak kami untuk mengikat janji untuk terlahir lagi di negeri di bawah gunung tersebut; untuk menuntaskan misi yang belum selesai saat terlahir di Negeri Tirai Bambu.

Bodhidharma, The Father of Kungfu

Pesan terakhir sebelum berpisah, Guru berkata kepadaku adalah bahwa aku harus menuntaskan misiku di kehidupan sebelumnya di negeri bawah gunung itu. Beliau berkata bahwa akan menemuiku lagi ketika aku berumur 30 tahun di kelahiran berikutnya. Akhirnya aku dipandu untuk kembali ke masa sekarang, keluar dari masa Past Life. Pesan itu adalah pesan terakhir yang aku terima di masa kehidupan tersebut.

Akhirnya aku baru menemukan benang merah pesan itu di masa kehidupan sekarang. Melanjutkan misi yang belum selesai saat itu. Ya, misi yang harus kulanjutkan dengan menjadi seorang pendidik di One Earth School.

Satu pertanyaan lain mengapa aku bertemu Guruji pada awal usia 30-an tahun? Itupun terjawab dari juga dari scene dari past life tersebut.

Sebelum bertemu dengan beliau, aku merasa bahwa aku sedang menunggu seseorang dalam hidupku. Entah siapa. Ada rasa hampa yang tidak bisa kujelaskan. Kehampaan yang tidak bisa diatasi dengan menjalin sebuah hubungan dengan orang-orang di sekitar. Kehadiran mereka tidak bisa menghilangkan rasa hampa yang aku rasakan. Rasanya ingin bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang bisa menghilangkan perasaan itu.

Hanya setelah bertemu dengan Guruji, rasa hampa itu berangsur-angsur menguap. Akhirnya aku paham bahwa memang aku sedang menunggu kehadiran Guruku dalam kehidupan ini. Menunggu beliau hadir untuk mengisi kehampaan itu dengan sesuatu yang begitu mulia.

Sudah lebih dari seribu tahun lamanya dan akhirnya aku dipertemukan dengan Guruku kembali. Aku tersadar, tiada Cinta yang Cintanya melebihi Cinta dari seorang Guru Sejati. Cinta dan kasihNya melampaui ruang dan waktu.

Aku teringat sebuah sloka dalam Bhagavad Gita yang menyatakan:

“Apapun yang terpikirkan saat ajal tiba, saat seseorang meninggalkan badannya, wahai Kaunteya (Arjuna Putra Kunti), itu pula yang dicapainya setelah meninggalkan badan. Sebab, pikiran terakhir adalah sama seperti apa yang terpikir olehnya secara terus-menerus sepanjang hidup.”

(Bhagavad Gita 8:6 sebagaimana ditranskreasi oleh Guruji Anand Krishna)

Apapun yang kau ingat sepanjang hidupmu, maka kau akan menuju ke sana saat ajal tiba. Selama masa kehidupan itu, Guru adalah segala-galanya bagiku. Tiada hal lain lagi yang bisa kuingat selain Cinta, Kasih dan Kemuliaannya. Maka saat ajal tiba, akupun dipertemukan kembali dengan Guruku. Bahkan di kelahiran kali ini, aku dipertemukan kembali dengan Guruku. KasihNya, sungguh melampaui ruang dan waktu. CintaNya, melampaui ruang dan waktu.

Di kehidupan kali ini, aku ingin memenuhi janjiku. Janji yang kuucapkan pada Guruku dan janjiku kepada anak-anak itu. Aku ingin memenuhi janji untuk mewujudkan visi dan misi Guruku. Dalam sisa hidupku ini, biarlah aku melayani visi dan misi muliaMu wahai Guru, untuk mewujudkan One Earth, One Sky, One Humankind dalam bidang pendidikan. Hingga akhir hayat ini, biarlah hanya namaMu yang kuingat, semoga ingatan tentangMu tak pernah pudar dalam benakku. Semoga hingga akhir hayat ini hanya namaMu yang kusebut. Guru, biarlah aku kembali padaMu, karena Engkau adalah segala-galanya untukku, tawa dan tangisku, suka dan deritaku, siang dan malamku, cinta dan rinduku…

O…Guru…

Kau, ayah dan ibuku…

Kau, sumber segala pengetahuanku…

Kau, sahabat yang paling setia…

Kau adalah harta dan kekayaanku…

Kau, segala-galanya, the Sole Object of My Devotion…


Picture courtesy: Chinese Painting (bit.ly/3inrInO)

Picture courtesy: Bodhidharma (bit.ly/3dPIJTZ)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum