Sepenggal Kenangan Dalam Balutan Aksara
Dalam untaian waktu, dia lenyap dan tak ada ujung
pangkalnya. Hanya burai tawanya yang tersisa di benakku, dan kata-katanya yang tajam
menusuk bak pedang, membangunkanku dari khayalan ini. Akankah kita bertemu
lagi? Sudah begitu lama aku menanti dalam amarah yang membara, tidak terima
dengan semua yang dia sampaikan lewat sepucuk surat itu. Aku marah dan kesal,
tetapi sangat berharap bisa bertemu denganya, meskipun hanya untuk sekali saja.
Di satu sisi, dia tidak sepenuhnya bersalah, salahku juga,
yang tidak berani memberi kepastian padanya, kemana hubungan ini akan bermuara.
Aku takut, entah apa yang menjadi sebab ketakutan ini. Aku tidak tahu, yang
jelas aku takut. Aku takut jika dia meninggalkanku, tetapi aku juga tidak
berani melangkah maju dan berjujur kata, betapa aku mencintainya.
Ketika dia bertanya: “kemana kita akan melanjutkan langkah
ini?”
Aku hanya terdiam membisu dan tak berkata apa-apa selama
beberapa saat. Setelah mengumpulkan keberanian aku berkata:
“Maafkan aku, aku bingung. Aku tidak bisa menjanjikan
apa-apa padamu.”
Dia terdiam lama dan menahan tangis, aku tidak tega melihat
matanya yang berkaca-kaca penuh harap dan kupatahkan begitu saja.
“Baiklah, jika memang seperti itu. Aku akan pergi. Aku
harus melanjutkan hidup. Mungkin semuanya takkan pernah sama tanpamu.”
“Jangan, jangan pergi. Aku tak pernah ingin kau pergi
dariku.”
“Tetapi kau sudah mengambil keputusan, tidak adil rasanya
jika aku terus berjalan bersamamu dan terkatung-katung tanpa penjelasan.”
Dia pergi, meninggalkanku dalam sesal yang medalam. Selama
ini, tak ada orang lain di hatiku selain dia. Dia memberi indah pelangi dalam
lika-liku perjalanan hidupku. Dalam setiap keputusasaan dan kekecewaan yang
mendera, dia adalah setitik pelita yang selalu memberi harapan baru untukku melanjutkkan
hidup. Dalam tawa dan tangisku, dialah yang selalu ada, yang mengulurkan tangan
dan meraihku tatkala aku terjatuh. Dia adalah kekuatanku untuk melangkah.
Sekarang, aku sudah kehilangannya. Kemana lagi harus
kucari lagi sosok seperti dia? Maafkan aku, aku benar-benar menyesali segalanya.
Lima tahun kemudian…
Sepucuk email melayang di inbox-ku…
Kita perlu bertemu dan menyelesaikan beberapa persoalan
yang belum tuntas 5 tahun silam…
Apa yang harus kulakukan, menemuinya? Aku berpikir
beberapa hari sebelum menjawab emailnya. Tetapi kami memang harus bertemu untuk
menyelesaikan beberapa persoalan yang belum terselesaikan. Setidaknya, aku masih
bisa melihatnya sekali lagi.
Sebulan setelah email itu dikirim, kami bertemu. Banyak
hal yang sudah berubah. Dia terlihat lebih dewasa, lebih bijak dan lebih anggun.
Kami membicarakan beberapa persoalan yang dulu sempat tertunda penyelesaiannya
dan sekarang semuanya menjadi jelas dan usai. Aku bertanya:
“Apakah kau sudah menikah?”
“Tidak, aku belum menikah, dan tidak ada rencana untuk
menikah. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dalam perjalanan hidup kali
ini. Menikah sudah tidak ada dalam bucket list-ku.”
“Mengapa, apa karena kau kecewa padaku?”
Dia tertawa terbahak-bahak:
“Bukan, bukan karena kamu. Jangan ge er. Aku pernah berjanji
pada Guruku hampir 1.000 tahun lalu untuk melanjutkan visi dan misinya dalam
kehidupan kali ini. Dan aku akan menepati janjiku pada beliau. Jika aku memilih
menikah, aku tidak akan bisa menyelesaikan tugas yang beliau beri padaku, aku
bukan tipikal manusia yang bisa ingkar janji, apalagi kepada seorang Guru.”
“Jadi sekarang kau sudah memiliki seorang Guru?”
“Ya, Guruku adalah segala-galanya. Beliau membuatku
melihat sisi lain kehidupan yang selama ini tidak mampu kulihat. Beliau membuatku
memahami bahwa hidup adalah sebuah pelayanan dan persembahan kepada Yang Maha Kasih.”
Berguru, apa itu? Sesuatu hal yang asing dalam kosa
kataku. Tetapi setiap kali dia menyebutkan nama sang Guru, dia terlihat begitu
bersemangat dan berbinar-binar. Matanya terlihat begitu bahagia. Belum pernah
kulihat dia sebahagia itu, bahkan ketika kami masih bersama.
“Apakah kau masih menulis?”
“Selama 5 tahun ini sudah jarang, tetapi dalam waktu
dekat aku akan menulis lagi. Menulis lagi untuk memuliakan Guruku, memuliakan Cinta
dan Kasihnya yang tiada tara.”
Aku tahu dia suka menulis. Saat kami masih bersama, dia
sangat sering mengirimiku puisi dan prosa yang sangat indah dan menyentuh hati.
Teringat pada suatu ketika kami pernah menyusun sebuah sajak bersama.
Senandung Alam
(Compose by Ayudia Asmita & LYR)
Subuh kan lenyap diterpa pagi
Pagi kan sirna karena siang
Teriknya siang tergantikan lembayung senja
Sore menghilang dalam dekapan malam
Malam yang panjang tergantikah
fajar
Yang merekah walau tuk
sesaat
Siang dan malam terus
bergulir
Dalam putaran sang kala
Musim datang dan pergi
Silih berganti dalam
keabadian
Selamat datang wahai fajar
Kuuntai selaksa syukur
Dalam lantunan simfoni indah pipit-pipit kecil
Bersama kepakan sayap
burung sriti yang mengudara di angkasa
Selamat datang wahai mentari
Terima kasih atas cahayaMu
Atas hari baru yang penuh berkah
Selamat pagi Cinta
Semoga damai pagi senantiasa bertahta di hatimu di sepanjang hari ini
(Mataram, April 2012)
******************
“Apakah
kau menyesal dengan perpisahan kita?”
Dia
hanya tersenyum dan berkata:
“Tidak, aku tidak pernah menyesalinya. Justru aku berterima
kasih atas perpisahan itu. Menyakitkan memang ketika apa yang sangat kita
harapkan dalam hidup tidak kita dapatnya. Tetapi, everything happens for
a reason. Perpisahan itu membuka pintu lain dalam hidupku. Pintu
gerbang yang mempertemukanku dengan Guru. Membuatku memahami arti hidup yang sesungguhnya,
bahwa hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Bukan
tentang hanya tentang pernikahan dan membangun keluarga kecil saja, tetapi membangun
dan mengabdikan diri kepada keluarga besar umat manusia dalam bidang pendidikan.
Cinta seorang Guru, melebihi cinta 1000 ibu kandung. Cinta sejati hanya kutemukan
dalam diri Guruku.”
“Speechless, aku tidak tahu harus menganggapi dia
seperti apa. Lidahku kelu, sekaligus takjub dengan kata-katanya. Dia tidaklah
seperti wanita kebanyakan, cara berpikirnya sangat jauh ke depan, tegas, pemberani,
tetapi sekaligus penuh cinta. Dia adalah sebuah paradoks yang takkan pernah
kupahami misterinya. Aku mengaguminya, mencintainya, dan mungkin takkan pernah
lagi menemukan seseorang seperti dia dalam hidup ini.”
Burung Phoenix |
Itu adalah terakhir kalinya kami bertemu, berpisah selama 5
tahun, bertemu sekali lagi dan berpisah lagi untuk selamanya. Aku bahagia melihatnya
bahagia setelah kupatahkan hatinya menjadi serpihan-serpihan kecil. Dia bangkit
lagi bak burung phoenix yang bangkit dari abunya. Dia, begitu indah, terlalu
indah untuk dilupakan. Maafkan aku atas segalanya, cintaku… Semoga kau selalu bahagia.
“If
you lose your sense of discrimination, you are dead intellectually.
If
you lose self-confidence, you are dead mentally.
If
you lose the softness of your feelings, you are dead emotionally.
You
no longer require a Medical Certificate to pronounce you clinically dead.”
(The
Gospel of Mahamaya 356)
Komentar
Posting Komentar