Sebutir Pasir Menantang Lautan
Sebutir
pasir menantang lautan
Laut
hanya tersenyum menyambut tantangannya
Laut
terdiam sejenak
Kemudian
menyapunya dalam sekejap mata
Sebutir
pasir sirna, ditelan lautan tanpa ampun
Kisahnya
berakhir sudah
Tiada hal yang lebih menyedihkan bagi seorang teacher ketika
anak-anaknya dikuasai ego dan arogansi.
“Aku akan pergi ke melanjutkan SMA ke tempat lain untuk
meninggalkan “zona nyaman”. Menurutku One Earth School adalah zona nyamanku,
aku ingin keluar dari zona nyaman untuk membuktikan diri bahwa aku bisa
bertahan seorang diri di luar sana.”
Komentar lain adalah…
“Anak saya akan keluar karena dia ingin membuktikan kepada anak-anak
lain di luar sana bahwa anak One Earth School bisa mempertahankan karakter yang
sudah terbentuk di sekolah dimana saja di luar sana.”
Entahlah, saya punya pengalaman pribadi tentang hal ini. Saya
pernah menjalani hidup selama 30 tahun tanpa naungan seorang Guru Sejati. Saya
pernah hidup di luar sana, pernah menjadi bagian kerumuman massa di luar sana.
Hidup penuh dengan masalah pelik, yang berujung pada stress dan depresi.
Dalam 8 tahun terakhir sejak bertemu dengan Guru, hidup
saya menjadi lebih berwarna. Saya merasa perjalanan jiwa saya dipercepat. Saya
bisa mempelajari hal-hal baru dengan cepat, pelajaran-pelajaran baru di luar
dugaan. Saya bersyukur, Guru menaungi saya. Saya tahu bahwa saya bukanlah
siapa-siapa tanpa kehadiran seorang Guru. Saya tidak bisa menjadi pribadi yang
sekarang tanpa bimbingan dan arahan seorang Guru.
Guru, diri ini hanyalah sebutir debu di bawah telapak kakiMu. Guru,
jangan tinggalkan diri yang kecil ini. Berikan diri ini kekuatan untuk
mengingat semua berkah yang Kau beri. Semoga diri ini senantiasa mampu mensyukuri
hadirMu dalam setiap hembusan nafas.
Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpaMu. Saya
tidak bisa membayangkan jika harus hidup di luar komunitasMu. Saya merasa
bersyukur sudah diberikan kesempatan untuk melayani visi dan misiMu. Semoga
saya tidak pernah melupakan kebaikanMu hingga akhir hayat dikandung badan.
Sebutir pasir itu merasa bahwa dia sudah hebat, sudah bisa
menantang lautan yang maha luas. Tetapi nyatanya dia tersapu laut dalam sekejab
mata.
Saya teringat lagi dengan petuah Paramhansa Yogananda:
“Pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dibandingkan kehendak manusia” (Anand
Krishna, dalam buku Sanyas Dharma, hal. 79).
“Persahabatan yang Anda bina akan mempengaruhi diri Anda.
Jika Anda meninggalkan mantel Anda di ruangan penuh asap rokok, maka mantel
Anda akan berbau asap. Jika Anda meninggalkan mantel di taman bunga beraroma
wangi, maka mantel Anda akan menebarkan aroma segar wangi bunga dari taman
tersebut.”
“Begitu pula dengan pikiran Anda. Pikiran Anda menyerap
getaran dari orang-orang yang bergaul dengan Anda. Jika Anda bergaul dengan
orang pesimis, lama-kelamaan Anda akan menjadi pesimis. Sebaliknya, jika Anda
bergaul dengan orang-orang yang ceria dan bahagia, maka Anda akan menjadi ceria
dan bahagia.”
“Pengaruh lingkungan jauh lebih kuat dibandingkan kehendak
manusia. Untuk bergaul dengan orang-orang yang materialistis tanpa terpengaruh
oleh keduniawian mereka, dibutuhkan kekuatan spiritual yang luar biasa besar.”
“Para pemula di jalan spiritual, khususnya, harus sangat
berhati-hati dengan siapa mereka bergaul. Mereka dianjurkan untuk bergaul
dengan para panembah, dan berupaya untuk menghindari pergaulan dengan mereka
yang materialistis (orang-orang yang menganggap materi sebagai satu-satunya
kebenaran dalam hidup). Mereka dianjurkan untuk tidak bergaul dengan
orang-orang yang negatif, meskipun orang-orang itu adalah sesama panembah.”
“Seseorang dapat menjadi orang suci atau pendosa
diakibatkan oleh pergaulan yang mereka jalani.”
(The Essence of Self-Realization by Paramhansa Yogananda).
Banyak yang mengira bahwa mereka akan baik-baik saja di
luar sana. Tetapi anggapan itu sama sekali tidak memiliki dasar. Sebuah
tanaman yang kecil merasa angkuh dan tidak perlu memagari diri, diinjak-injak
oleh hewan-hewan yang lalu lalang di sekeliling mereka.
Bibit sebaik apapun jika ditanam pada lahan yang tandus
tidak akan menjadi apa-apa. Bibit yang bagus hanya bisa tumbuh dan memenuhi
potensi dirinya ketika hidup pada lingkungan yang subur. Lingkungan yang subur
bagi pertumbuhan jiwa manusia adalah ketika dia hidup dalam lingkungan “satsang”,
lingkungan pergaulan yang baik. Dengan tegas saya katakan bahwa: ONE EARTH
SCHOOL adalah SATSANG. Keluar dari One Earth School berarti keluar dari SATSANG.
Keluar dari sebuah satsang berarti keluar dari Laksman
Rekha. Masih ingat cerita bagaimana Sinta diculik oleh Ravan?
Laksman Rekha |
Ketika Rama berhasil menangkap raksasa yang menyamar
sebagai kijang kencana dan memanahnya, dia melengking hebat memanggil-manggil
nama Rama untuk mengecoh Sita. Sita terkecoh dan mengira itu adalah suara Rama
dan meminta Laksman untuk menolong kakaknya. Laksman menolak karena dia yakin
bahwa itu bukanlah suara Rama melainkan suara raksasa yang berhasil dibunuh
Rama.
Sita yang pikirannya tertutup kabut ketidaktahuan memaksa
Laksman untuk membantu Rama. Mereka berdebat hebat dan karena Laksman tidak mau
pergi, maka Sinta melontarkan tuduhan yang tidak pada tempatnya: “Kau tidak mau
menolong kakakmu karena kalau dia mati, kau akan menjadikanku sebagai istrimu.”
Dengan menahan sedih dan amarah karena tudingan yang tidak
benar, akhirnya Laksman pergi. Sebelum pergi, Laksman membentengi Sita dengan
membuat sebuah lingkaran mengelilingi gubuk tempat tinggal mereka. Lingkaran itu
adalah sebuah benteng pertahanan untuk melindungi Sita, dengan syarat, apapun
yang terjadi Sita tidak boleh keluar dari lingkaran tersebut.
Ravan datang dengan menyamar sebagai pendeta tua dan meminta
segelas air kepada Sita. Ravan berpura-pura sakit dan tidak bisa mendekat ke
gubuk dimana Sita tinggal dan memintanya keluar. Ravan tahu dia tidak bisa
masuk karena Sita dilindungi oleh Laksman Rekha, maka dari itu, dia
berpura-pura dan meminta Sita keluar memberinya segelas air. Sita awalnya
menolak tetapi karena Ravan terus memelas, Sita merasa kasihan, dan melupakan
nasihat Laksman. Sesaat setelah keluar dari Laksman Rekha, dia diculik oleh
Ravan. Sungguh sebuah rasa kasihan yang bodoh dan tidak pada tempatnya.
Begitulah kondisi kita sebagai manusia, sudah diingatkan
untuk tetap berada di bawah naungan seorang Guru, tetapi ngeyel, diculik Ravan,
ditawan di Alengka, the city of mental and emotional suffering. Alengka
adalah sebuah simbol penderitaan mental dan emosional yang dialami manusia
karena berada pada lingkungan pergaulan yang tidak tepat. Lahir mati, lahir
mati, tidak berujung, entah berapa kali kelahiran lagi kita akan dipertemukan
dengan seorang Guru Sejati.
Guru, hindarkan diri ini dari pengalaman bodoh seperti itu.
Genggam erat tangan ini, dan jangan pernah lepaskan genggamanMu.
“How does the Lord respond to your calls and petitions? By
deputing someone who has realized Him. The Atma (True Self) knows, and is ever
grateful. The mind, however, ever busy with the body and the senses and refuse
Divine Presence.”
“Bagaimana Gusti menjawab permintaan dan permohonanmu?
Dengan mengirimkan seseorang yang telah menyadari-Nya. Sang Atma (Aku atau Jiwa
Sejati) mengetahuinya dan senantiasa bersyukur. Sebaliknya, mind (gugusan
pikiran dan perasaan) selalu sibuk dengan urusan badan dan indra, serta menolak
Hyang Maha Hadir.”
(Anand Krishna, In the Footsteeps of The Master, pp. 121)
Picture courtesy: Laksman Rekha (https://bit.ly/3ozFawJ)
Komentar
Posting Komentar