Total Sukses Mozaik VII: Applied Faith
You can do it, if you think you can.
Kau dapat melakukannya bila kau yakin kau
mampu melakukannya.
(Anand Krishna, Total Sukses, pp. 128)
Sekali lagi, kita bicara soal keyakinan. Ia yang tidak
pernah meyakini dirinya mampu untuk mencapai sesuatu tidak akan mencapai apapun
dalam hidup. Keyakinan harus kita tumbuhkan sendiri di bawah telapak kaki kita.
Tidak ada yang bisa membantu kita untuk itu, tetapi hal itu bisa didukung
dengan berada dalam lingkungan pergaulan yang tepat.
Ada perbedaan mendasar antara kepercayaan dan keyakinan;
kepercayaan masih dapat mengalami pasang naik dan pasang surut, sangat
tergantung dengan kondisi di luar diri kita. Sementara keyakinan itu pasti dan
tak dapat digoyahkan oleh apapun dan siapapun.
****************************
Aku ingin pergi dan meninggalkan semuanya, pergi sejauh
mungkin darimu. Menghapus semua kenangan yang pernah ada di antara kita.
Bagiku, ini adalah jalan yang terbaik dan akupun tidak ingin dihubungi lagi
olehmu. Aku tidak ingin komitmenku digoyahkan lagi oleh apapun. Jadi maafkan
kalau aku memutuskan untuk pergi dan menjauh.
Seperti katamu, kita tidak akan mungkin bersama dengan
segala perbedaan di antara kita. Akupun sungguh sangat menyadari semuanya.
Maaf, bahkan untuk berteman seperti dulupun aku sudah tak sanggup. Jadi kau
takkan pernah bisa menghubungi aku lagi.
Kisah ini, adalah tentang “kisah cinta” yang gagal, yang
bukan pertama kali aku alami, tetapi entah mengapa pengalaman ini adalah
pengalaman paling menyakitkan yang aku alami. Tidak, kau tidak salah. Yang
salah adalah aku yang terlalu berharap banyak pada hubungan ini, hubungan yang
tidak akan pernah mungkin menjadi kenyataan.
Jikapun kita bersama, akan ada banyak hal menyakitkan yang
mungkin terjadi kelak di kemudian hari. Jadi keputusan untuk mundur adalah
keputusan yang paling tepat, meskipun rasanya tidak mudah untuk menjalani
semuanya. Aku sudah begitu terbiasa dengan hadirmu, dan memilih untuk pergi
menjauh adalah keputusan yang sangat berat dan menyakitkan. Ada sebuah
keyakinan dalam diri yang muncul bahwa memang aku harus pergi demi sesuatu yang
lebih mulia, entah apa.
Lotus - Painting of Nicholas Roerich |
Aku baru memahami maksud dari peristiwa itu hampir lima tahun kemudian, saat aku bertemu dengan Guruku. Aku kemudian baru menyadari apa yang menjadi tujuan kelahiranku saat ini. Ada sebuah cetak biru yang sudah aku rencanakan sebelum kelahiran kali ini.
Semakin aku mengamati keadaan di sekelilingku, aku makin
sadar bahwa itu bukanlah jalan yang ingin aku tuju dalam kehidupan kali ini.
Pada awal saat bergabung di Anand Ashram, aku memiliki
seorang kawan dekat dan dialah orang yang pertama kali mendekatkanku dengan
semua kegiatan di ashram. Orang yang pertama kali mengajakku berkunjung ke
Secret Garden (sebuah Kuil yang didedikasikan untuk Ma Durga) dan mengajakku
menginap di Ashram Ubud. Sebuah kuil yang sejak pertama aku menginjakkan kaki
di sana, aku sudah merasa sangat tersentuh dengan keheningan tempat tersebut.
Hingga pada akhirnya, bertahun-tahun kemudian, aku mendapatkan kesempatan untuk
tinggal di bagian depan kuil tersebut. Sebuah berkah yang tidak pernah
henti-hentinya untuk kusyukuri.
Aku sangat terkesan dengan semua idealismenya tentang
kehidupan berashram. Pada saat itu, kawan tersebut baru saja melangsungkan
pernikahannya. Sampai suatu ketika anak pertamanya lahir, awalnya semua masih
baik-baik saja, tetapi lama-kelamaan aku merasa bahwa idealismenya makin
memudar. Dia bukanlah orang yang dulu pernah kukenal, entah kemana semangat dan
idealismenya menghilang.
Aku juga teringat sebuah petuah dari Buku Autobiografinya
Paramhansa Yogananda, dimana beliau pernah membakar horoskop yang disodorkan
kepadanya yang menyatakan dia akan menikah dan punya banyak anak. Beliau
menjelaskan dengan detail bahwa sebagian besar teman-temannya yang dulu sangat
idealis tentang Tuhan kemudian lupa akan tujuan kehidupan saat mereka telah
berkeluarga. Beliau tidak mengatakan ada yang salah dengan kehidupan berkeluarga,
yang salah adalah kita mengikatkan diri terlalu jauh pada hal tersebut dan
melupakan tujuan mulia kehidupan yaitu melayani segenap bentuk kehidupan.
Cerita menarik lainnya aku baca dari Buku Pilgrim of the Star karya Dilip Kumar
Roy dan Indira Devi. Sebelum keberangkatan Dilip Kumar Roy ke Eropa untuk
melanjutkan pendidikan, kakek dan neneknya menjodohkan beliau dengan seorang
gadis. Karena sangat ingin menjadi seorang sanyas, beliau kabur dari rumah pada
hari perjodohan berlangsung.
Dari cerita-cerita para Guru Spiritual tersebut, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa mereka firm,
teguh dalam keyakinannya serta berkomitmen penuh untuk menjalani kehidupan
spiritual.
Dalam tradisi Sanatana Dharma, menikah bukanlah sebuah
kewajiban. Hal ini mungkin bertolak belakang dengan tradisi lain yang
mengganggap perkawinan adalah kredo yang tidak dapat diganggu gugat. Seorang Sanatani (penganut Sanatana) memiliki
kebebasan penuh atas dirinya, entah mau menikah atau tidak menikah.
Ada sebuah konsep menarik dalam ajaran Sanatana yaitu
konsep Chatur Ashram. Konsep ini mengacu pada perenungan mendalam dari para
leluhur kita terhadap perkembangan psikis atau kejiwaan manusia. Adapun tahapan
itu mencakup (Anand Krishna, Sanyas Dharma):
- Brahmacharya
Ashram yaitu masa untuk mengembangkan kreativitas melalui
pendidikan dan masa ini dimulai dari lahir sampai usia 20-an tahun. Pada masa
ini, seorang anak belajar untuk menemukan potensi dirinya dan dibimbing oleh
seorang Guru yang tidak hanya mengembangkan potensi tersebut, tetapi
membantunya melangkah lebih lanjut dan menjadi kreatif serta mendapat gelar Sarjana,
Srajanahaar.
- Grahasthya Ashram adalah masa di atas usia minimal 25 tahun, saat seorang Sarjana telah menyelesaikan masa Brahmacarya dan memiliki pekerjaan tetap, sehingga mampu membiaya diri dan keluarganya serta memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga. Grahasthya berarti “Komitmen terhadap Keluarga”, jadi bukan sekadar membina keluarga atau rumah tangga, tetapi komitmen terhadap pasangannya dan putra-putrinya. Grahasthya bukan sekadar kawin, tetapi menghormati lembaga perkawinan.
- Vanaprastha
Ashram, selambat-lambatnya pada usia 60 tahun, para orang tua
telah menyelesaikan tugas dan kewajibannya terhadap anak-anak mereka. Vanaprastha dalam konteks modern mesti
diterjemahkan sebagai pelepasan diri dari ketergantungan pada materi. Materi
tetap dibutuhkan untuk bertahan hidup. Seorang vanaprasthi yang bergabung dengan suatu ashram, ia masih tetap berhubungan
dengan keluarganya.
- Sanyas Ashram, merupakan masa terakhir, masa akhir kehidupan manusia. Dalam masa ini, seorang sanyasi – ia yang telah masuk sanyas – melepaskan segala macam “keterikatan” duniawi. Ia tidak lagi membedakan antara anak kandung, anak saudara, anak orang lain, bahkan antara manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya.
Lepas dari keterikatan tidak berarti ia bersikap tidak
peduli terhadap dunia. Tidak. Ia justru menjadi sangat peduli terhadap dunia,
dan menggunakan sisa hidupnya untuk melayani semua (Anand Krishna, Sanyas
Dharma, pp. 2-15).
“Pembagian ini tidaklah bersifat kaku karena “banyak orang
yang terpanggil untuk menjadi sanyasi
sejak masa brahmacharya. Maka tidak
ada paksaan bagi mereka untuk tetap menjalani grahasthya dan vanaprastha
sebelum memasuki sanyas. Mereka bisa langsung memasuki sanyas ashram dari brahmacharya.
Itu menjadi pilihan masing-masing. Tidak ada paksaan, dan seorang brahmachari tidak perlu memaksa diri” (Anand
Krishna, Sanyas Dharma, pp. 16).
Petuah dari Paramhansa Yogananda berikut dapat menjadi
sebuah renungan yang menarik:
“If
you marry as a necessity, you will have to reincarnate again to reach the point
where you can live for God alone.
Artinya: “Jika masih perlu kawin, Anda mesti lahir kembali
dan mencapai suatu titik dimana Anda bisa hidup untuk Tuhan saja” (Anand Krishna,
Sanyas Dharma, pp. 75).
“Hampir semua agama dan kepercayaan mengatakan bahwa Cinta
itulah Tuhan; Kasih itulah Allah. Kita pun sudah terlalu sering membaca,
mendengar, bahkan mengatakan hal itu. Namun apakah kitta betul-betul
mempercayainya?”
“Jika kita betul-betul percaya bahwa Kasih itulah Allah,
bahkan Allah adalah Maha Kasih, maka kita tidak akan pernah mencari cinta dari
hubungan-hubungan lain di dunia ini” (Anand Krishna, Sanyas Dharma, pp. 75-76).
Picture courtesy: Lotus (www.roerich.org/museum-paintings-catalogue.php)
Komentar
Posting Komentar