Total Sukses Mozaik VIII: Decision – Pengambilan Keputusan

 

Pengambilan keputusan merupakan sebuah kemampuan yang sangat penting bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang tidak berani mengambil keputusan hanya karena takut berbeda dari orang lain, hanya karena takut jika idenya ditolak tidak akan pernah mengalami kemajuan yang berarti dalam hidup. Kehidupan adalah milik segelintir pemberani yang mau mengambil resiko, serta bertanggung jawab penuh atas keputusan yang sudah diambil.

Status quo tidak akan membawa kita kemana-mana, kita akan berjalan di tempat dan berhalusinasi seolah kita sedang berjalan, PADAHAL TIDAK.

Decision Making

Sebuah kutipan menarik dari William James kiranya patut dijadikan sebuah renungan:

“There is no miserable human being, than one in whom nothing is habitual but indecision.”

Tak seorang pun lebih sengsara daripada dia yang sulit mengambil keputusan.

Selain itu, kata-kata Emerson berikut juga sangat menarik untuk diresapi maknanya dan dijadikan panduan dalam mengambil keputusan dalam hidup.

“Once you make decision, the universe conspire to make it happen.”

Bila kau telah mengambil suatu keputusan, alam semesta akan bekerja untuk mewujudkannya.

Kedua kutipan di atas (William James & Emerson) diambil dari buku Total Sukses halaman 132-134).

Ada sebuah cerita tentang bagaimana sebuah keputusan yang diambil tanpa kebijaksanaan berakibat sangat fatal dan dapat mengakhiri sebuah hubungan yang sudah terjalin begitu lama.

Bacalah kisah ini dengan seksama…

Aku mengenalnya sejak hari pertama kuliah di kampus. Anaknya unik dan agak tomboy, cekatan dalam mengerjakan sesuatu, pemberani, tegas dan jika bicara tanpa tedeng aling-aling. Aku menyukainya dan sejak itu kami menjadi teman dekat. Karakternya sangat berbeda dariku yang cenderung ragu, dan tidak terlalu percaya diri. Tetapi entah mengapa kami sangatlah cocok dan bersahabat hampir selama 7 tahun.

Dimana ada dia, maka di situ akan ada aku. Aku selalu mengikutinya bagaikan bayangan. Hari-hari yang kami lalui sangat menyenangkan dengan serangkaian diskusi, bertukar cerita dan berbagi suka dan duka dalam perjalanan kuliah kami. Hingga suatu hari saat menginjak semester 5, dia mengatakan sesuatu kepadaku saat aku tertawa bersama dengan seorang teman lelaki dari kelas lain.

“Puspa, awas ya kalau kamu sampai pacaran dengan dia. Aku tidak akan mau lagi berteman denganmu lagi.”

“Iya Ayu, tenang aja, aku tidak akan pacaran sama dia. Anaknya agak berandalan soalnya dan aku sama sekali tidak tertarik padanya.”

Hari demi hari berlalu dan aku semakin dekat dengan kawan lelaki tersebut. Orang Jawa bilang “tresno jalaran soko kulino”, cinta muncul karena kita sering bersama dan bertemu. Itulah yang terjadi padaku. Pada awalnya, aku tidak ada perasaan sama sekali pada kawan lelaki tersebut, tetapi karena dikejar dan diperhatikan terus, maka akupun menjadi luluh. Padahal, reputasinya di kampus tidaklah terlalu baik. Dia bisa tahu apapun yang aku suka tanpa pernah kuberi tahu, dan melakukan begitu banyak hal untuk menyenangkan hatiku, itulah yang membuatku menerimanya sebagai pacar.

Tanpa kuberi tahu, Ayupun kemudian menyadari hal tersebut dan berkata pada laki-laki tersebut: “Awas ya Bim, kalau sahabatku kamu sakiti, kau akan berurusan denganku.”

Aku hanya terdiam dan tidak berani berucap sepatahpun kata saat Ayu berbicara setegas itu di depan kami berdua. Padahal yang aku tahu, Bimo adalah teman baiknya juga dan aku tidak tahu mengapa Ayu berkata seperti itu.

Hubunganku dengan Ayu menjadi renggang sejak saat itu, bukan karena Ayu menjauhiku dan tidak mau berteman lagi denganku. Bukan. Tetapi akulah yang memilih untuk menjauh karena aku begitu sibuk dengan Bimo. Sejak saat itu, Bimo menjadi pusat tata suryaku, aku tidak mempedulikan hal lain selain Bimo dalam hidupku.

Hidupku terus bergulir, bergitu juga dengan Ayu. Kami lebih sering terdiam jika bertemu, karena sudah tidak nyambung satu sama lain. Di kampus, Ayu adalah seorang mahasiswi yang sangat populer, dicintai oleh semua dosen dan menjadi kakak favorit bagi adik-adik tingkat di kampus. Bagaimana tidak, secara akademik dia selalu yang terbaik dan karena kemampuannya dia selalu terpilih menjadi asisten dosen hampir untuk semua mata kuliah yang ada di kampus. Kemampuannya dalam mengelola kegiatan praktikum di laboratorium tidak diragukan lagi dan sangat disenangi adik-adik tingkat di kampus karena dia pandai mengajar, disiplin dan sangat ramah kepada semua orang.

Berbeda denganku, meskipun memiliki kesempatan untuk menjadi asisten dosen, aku tidak terlalu aktif seperti Ayu karena kehadiran Bimo menyita seluruh waktuku. Bimo sangat posesif dan tidak mengijinkan aku berteman dengan kawan-kawan lelaki lain di kampus. Lama-lama aku sangat terkungkung dengan hubungan itu, aku gerah, aku muak dan mulai melakukan hal yang sama kepada Bimo. Akupun tak mengizinkan Bimo berteman dengan teman-teman perempuan lain di kampus dan aku mulai menjadi posesif seperti dirinya.

Hal itu selalu berakhir dengan pertengkaran, dan hubungan kami lama-kelamaan mulai menjadi toxic dan sudah sangat tidak sehat. Tetapi aku tidak mampu untuk putus darinya meskipun aku kemudian tahu bahwa dia pacaran juga dengan orang lain. Aku sudah begitu terbiasa dengannya, dan jika putus rasanya aku tidak mampu menanggung rasa sakit saat putus nanti.

Sesudah tamat kuliah dan diwisuda, aku mulai bekerja dengan salah seorang dosen kampus sebagai editor dan penulis dan tepat setahun kemudian aku mendapatkan beasiswa ke Australia, tetapi hubunganku dengan Bimo semakin memburuk. Aku sudah tidak tahan menghadapinya dan akupun kemudian mulai dekat kembali dengan Ayu. Aku butuh tempat untuk berbicara, untuk mengeluarkan segala kegelisahan hatiku. Yang aku tahu hanya Ayu yang akan mampu untuk memahamiku. Memahami rahasia yang aku selalu sembunyikan dari semua orang bahwa aku mencoba melakukan usaha untuk bunuh diri beberapa kali karena Bimo memutuskanku. Ayu menamatkan kuliahnya satu tahun lebih lambat dariku karena dia harus mengurus pamannya yang sakit parah dan itu membuat skripsinya tertunda selama stahun.

Dia mendengar ceritaku dan hanya berkata: “Dulu aku sudah pernah memperingatkanmu bahwa jangan sampai kamu pacaran dengannya, karena aku tahu betul Bimo itu orangnya seperti apa. Sekarang nasi sudah terlanjur menjadi bubur dan kamu harus bertanggung jawab atas hidupmu sendiri Puspa.”

“Jika kau sampai bunuh diri karena seorang lelaki, itu adalah sebuah kebodohan terbesar. Jangan sampai di batu nisanmu tertulis: Telah meninggal Puspa Juwita karena gantung diri di pohon nangka akibat diputuskan oleh Bimo.” Kalau kau mati, matilah untuk sesuatu yang mulia, untuk sesuatu yang heroic, bukan mati gantung diri karena putus  cinta dengan seorang lelaki.”

Aku hanya tertawa mendengar nasehatnya seperti itu. Ayu, kau memang sahabat terbaikku. Aku tidak akan pernah lagi menemukan seseorang sepertimu lagi di dunia ini.

Ayu juga menasehatiku:

“Jika kamu mau hidupmu damai, maka putuskanlah hubunganmu dengan Bimo. Terlepas dari apapun yang pernah terjadi di antara kalian, demi kebaikanmu di masa depan, putuskanlah laki-laki itu.”

Kata-kata Ayu memberiku kekuatan untuk menghasapi masalah pribadiku dan memberiku keberanian untuk putus dengan Bimo. Bimo sangat marah dan mulai menerorku pasalnya semua keluarga kami sudah tahu bahwa kami sangat dekat dan sudah ada rencana untuk menikah. Keputusanku membuat Bimo murka dan melancarkan serangkaian aksi terror melalui media sosial dan mengontakku secara pribadi. Aku benar-benar tidak tahan dan trauma dengan semua itu hingga aku harus menjalani terapi dengan seorang psikiater dan minum obat-obatan penenang. Pada saat seperti itu, Ayulah yang selalu ada dan menguatkan aku. Andai saja aku memiliki separuh keberanian dan ketegarannya dalam menghadapi hidup, aku mungkin tidak perlu berobat ke psikiater. Hidup Ayupun sebenarnya tidak terlepas dari masalah, belum lagi kisah cintanya yang tidak sukses, tetapi aku tidak pernah melihatnya mengeluh menghadapi permasalahan dalam hidupnya.

Saat melanjutkan kuliah ke Australia, aku terus berkomunikasi dengan Ayu. Saat itu dia masih berjuang untuk mengambil beasiswa yang sama denganku. Saat pertengahan kuliahku di Australia, aku menjalin hubungan dengan seorang kawan dari masa kecilku.  Kawan lama yang sangat akrab dan pernah menyatakan cinta monyetnya kepadaku saat SMP tetapi aku menolaknya dan sejak saat itu aku tidak terlalu dekat dengannya. Selain Ayu, dalam masa melepaskan diri dari terror Bimo, Ryu selalu mendukungku dan membuatku merasa tenteram saat aku berbicara denganya. Saat dia menyatakan cintanya kepadaku, aku tanpa ragu menerimanya.

Aku kemudian mengenalkan pacar baruku, Ryu, kepada Ayu satu tahun kemudian dan mereka kemudian juga menjadi kawan baik. Saat mendekati akhir perkuliahan, Ryu melamarku dan aku bingung harus menjawab apa padanya. Di satu sisi, Ryu sangat baik kepadaku dan selalu mendukungku dalam hal apapun. Di sisi lain, dia belum menamatkan kuliahnya dan itu membuatku bimbang. Dalam kebimbangan itu, aku “menggantung” Ryu. Aku tidak mengatakan menerima ataupun menolak lamarannya. Jika aku menerimanya, bagaimana jika aku menemukan pria lain yang lebih baik darinya? Itu akan menutup kesempatanku untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Jika aku mengatakan tidak, bagaimana jika aku tidak kunjung menemukan pria lain itu? Jadi lebih baik aku tidak mengatakan apapun padanya. Let’s wait and see bagaimana takdir membawaku ke depan.

Waktu berlalu, dan aku menjalin komunikasi dengan salah seorang kawan lama dari kampus S1ku, teman dekat Ayu juga dan sedang menjalani kuliah S2 di Jogjakarta, namanya Yadi. Yang aku tahu, Yadi juga sudah memiliki kekasih. Lama-kelamaan, entah bagaimana Yadi memiliki keberaniaan dan menyatakan cintanya kepadaku. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia akan memutuskan kekasihnya jika aku menerima lamarannya. Sekali lagi aku bingung, tetapi aku kemudian berpikir bahwa jika aku menikah dengannya maka masa depanku akan lebih cerah karena kami sama-sama akan meraih gelar S2.

Aku kemudian memutuskan hubunganku dengan Ryu, dan menerima lamaran Yadi. Jujur, aku tidak berani berterus terang pada Ryu tentang alasan mengapa aku memutuskannya. Jadi aku mengatakan padanya bahwa aku dilamar oleh anak dari teman baik Ayahku dan aku tidak sampai hati menolak permintaan Ayahku. Ryu bisa menerima keputusanku dan aku tahu dia sangat terluka dengan keputusanku karena dia mencintaiku sejak SMP.

Akupun kemudian memberi tahu Ayu tentang rencana pernikahanku dengan Yadi. Aku hanya berharap jika Ayu mau mendukung keputusanku untuk menikah dengan Yadi demi masa depan yang lebih cerah. Di luar pengetahuanku, Ayu kemudian melakukan investigasi dan mengetahui semua yang telah terjadi, hal yang tidak kuceritakan dan kututupi tentang lamaran Yadi. Dia kemudian lebih banyak diam dan komunikasi kami menjadi semakin jarang. Aku melangsungkan pernikahanku dengan Yadi di kota kelahiranku dan mengirimkan undangan kepada Ryu dan Ayu. Ryu menghadiri pernikahanku dan hanya menatapku dengan tatapan yang sangat sedih. Ayu tidak bisa menghadiri pernikahanku karena sedang mengikuti tes di Jogjakarta.

Sebulan kemudian, Ayu mengirim surat elektronik kepadaku:

Dear Puspa, sahabatku…

Selamat atas pernikahanmu dengan Yadi, semoga Yadi adalah pilihan terbaik bagimu dan semoga kalian berdua berbahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Mulai saat ini, aku ingin undur dari dari apa yang dulu pernah kita sebut sebagai persahabatan. Prinsip hidup kita sangatlah jauh berbeda. Bukan aku tidak peduli padamu, bukan. Ini adalah bentuk kepedulianku kepadamu sehingga kau harus belajar dari apa yang telah terjadi.

Aku tidak mengatakan bahwa kau salah, tidak. Hanya saja sudut pandang kita berbeda dalam melihat kehidupan. Prinsip hidupku adalah kejujuran berada di atas segala-galanya, itu adalah keyakinanku dan itu pula yang menjadi pondasi hidupku. Tindakanmu sudah jelas-jelas melanggar prinsip yang aku junjung tinggi itu, jadi maaf, kita tidak bisa berteman lagi seperti dulu.

Selamat melanjutkan hidupmu dengan Yadi. Aku harap apapun yang terjadi dalam hubungan kalian, kau bisa mengatasi setiap permasalahan dan tidak melarikan diri seperti yang sudah-sudah. Itu adalah sikap seorang pengecut. Aku juga tidak mau kau membawaku ke dalam urusan rumah tangga kalian. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga kalian, kalian harus menyelesaikannya berdua. Jadilah dewasa Puspa, sahabatku. Belajarlah bertanggung jawab dan hiduplah dengan jujur.

Aku pamit dari persahabatan ini, dan kau harus belajar untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kau ambil dalam hidupmu. Ingat Puspa, kita semua bertanggung jawab atas setiap keputusan dan pilihan yang kita ambil dalam hidup. Setiap keputusan memiliki resiko dan sebagai manusia kita berani menghadapi resiko jika kita sudah memutuskan sesuatu.

Sejak saat itu, aku tidak bisa menghubungi Ayu, dia menghilang bagaikan ditelan bumi. Dia memblokir nomorku dan juga semua sosial media dimana kami berteman. Aku sangat marah kepada Ayu dan menumpahkan kemarahanku di sosial media. Mengapa kau meninggalkanku Ayu? Apa salahku Ayu? Aku tidak berbuat sesuatu yang tidak adil padamu. Adilkah jika kau sampai menghukumku dengan cara pergi dari seperti ini?

Picture courtesy: Decision Making (https://bit.ly/2PI9Pmk)

Picture courtesy: Leave Behind (https://bit.ly/2XMJ0lv)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum