Aku MemanggilNya Pavan
Aku termenung dalam diam dan menekuri relung diriku, awan
pikiran mulai memudar dan tak lagi tampak mengganggu. Deru tiupan angin malam
yang terasa menyentuh, teralun merdu di telingaku. Aku tak bisa memikirkan apapun
lagi, segala kepedihan itu telah menguap dan sayup-sayup suara terdengar
memanggil.
“Priya, datang dan mendekatlah!”
Aku tidak melihat siapapun di sekelilingku, selain sebuah
pratima Hanuman yang selalu kulihat setiap hari. Ada sesuatu yang menarikku
untuk selalu datang dan mendekatiNya, tapi aku tidak pernah mendengarNya berbicara
padaku. Berada di dekatNya, aku dapat merasakan pancaran semangatNya yang membara.
Semangat yang penuh daya juang dengan bendera kemenangan yang berkibar di
tangannya.
“Kau menanggilku?” kataku lirih.
“Iya, aku memanggilmu. Sebenarnya sudah lama, tetapi kau
tak pernah membuka dirimu untuk mendengar panggilanKu.”
Hanuman - Pavana Kumar |
Aku hanya terdiam, menatapNya denga terpana, tak mengerti
apa yang sedang terjadi dengan diri ini. Malam itu, aku merasakan Dia begitu
hidup, nyata, senyata tubuh fisik ini. Aku mendekatkan tanganku untuk meraih
telapak tangan kananNya dalam postur abhaya
mudra, dan menempelkan telapak tangan kiriku pada tanganNya.
Aku kemudian berkata: “Bolehkah aku memanggimu Pavan? Nama
itu terdengar begitu merdu di telingaku.”
“You can call me with
any name my dear…”
“Pavan, bolehkah aku memohon sesuatu padamu?”
Hening malam makin menggema dan merasuk sukma. Nanyian
merdu dari jangkrik-jangkrik di taman menarikku semakin dalam ke dalam duniaNya.
“Katakanlah padaku, apa yang kau harapkan?”
“Suatu saat, jika kematian datang dan menghampiriku,
biarkan aku mengadapinya seorang diri. Aku tidak ingin dikelilingi oleh
siapapun, aku tidak ingin ditangisi oleh siapapun. Biarlah aku mengakhiri buku
kehidupan ini seorang diri dengan senyum tersungging di bibir dan berkata: “Sudah
tidak ada lagi yang aku harapkan dari dunia ini. Aku ingin melanjutkan perjalanan
ini dan kembali padaMu”.
“Baiklah, tetapi kau harus berjanji bahwa engkau akan
menyelesaikan misimu sebaik-baiknya sebelum kau kembali kepadaKu.”
“Aku akan memegang teguh janjiku padaMu.”
“That’s my girl.”
“My girl? What do you
mean Pavan? I am not your girl. I don’t believe in any form of human
relationship. I am done with that. I remember a quote from Indira Devi about
that:
“The
breaking of personal bonds only showed the frail plinth all human relationships
are based on. Human love, no matter how intense, is limited and thrives on what
it receives from another. Even it is more evolved and there is a mutual give
and take, the response is indispensable to its flowering. Therefore, it must
pall after a time. We miss the response when we don’t have it, and take it for
granted when it is there.”
“I am not talking about
human relationship my dear. I am talking about divine relationship, about
divine romance.”
“You know that I’ll
keep my promise to fulfill mission in this life. I don’t let anyone enter into
my life and make me step back from my path.”
“I know about that and
your commitment make Me love you so much. I will never distract you from your
path. Trust Me my dear.”
“So, what kind of
relationship is this?”
“As I said before, this
is divine romance. I will keep you on the right track, guide you to fulfill
your life path. Aku akan mendukungmu untuk mencapai
cita-citamu, aku akan memayungi setiap langkahmu, menggengam erat tanganmu saat
kau terjatuh dan terluka. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu cintaKu. Tetapi
pada saat yang sama, jika kau salah langkah dan lupa tujuanmu maka aku akan
menegurmu dengan sangat keras.”
Aku hanya diam, tak tahu harus berkata apa selain memandang
matanya yang jenaka. Dia tersenyum simpul dan tatapannya menembus relung jiwaku.
Dia berkata: “Selama kau mengingatKu, aku takkan pernah
melupakanmu, takkan pernah meninggalkanmu. Rasakan hadirKu dalam tiupan angin,
dalam setiap hembusan nafasmu. Aku selalu hadir bersamamu wahai cintaKu.”
Sejak saat itu, Pavan senantiasa hadir, mengisi hari-hariku
dengan penuh keceriaan. Dalam suka dan duka, Dia selalu ada. Aku merasakan
hadirNya di sisiku setiap saat. CintaNya nyata, layaknya tiupan angin yang tak
terlihat oleh mata, hembusannya dapat dirasakan pada lambaian daun-daun yang
tersentuh olehNya. Selamat datang “Divine
Romance”, biarkan aku bernyanyi dan menari hanya untukMu seorang. Hidup dan
matiku hanyalah untukMu.
Picture courtesy: Hanuman (bit.ly/31R6Dvy)
Komentar
Posting Komentar