Menambatkan Diri Pada Hyang Berwujud

Jangan mengharapkan keabadian dari sesuatu yang tidak abadi, yang selalu berubah-ubah, dari  dunia materi. Segala sesuatu di alam benda ini senantiasa berubah, dari detik demi detik, perubahan telah terjadi tanpa kita sadari. Menyandarkan kehidupan pada sesuatu yang berubah-ubah akan mendatangkan kekecewaan yang luar biasa nantinya. Cara yang paling mudah untuk melampaui alam benda adalah dengan mengikatkan diri secara sadar pada sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang lebih berharga. Mengikatkan diri secara sadar pada sebuah simbol yang memiliki makna tinggi dan mendalam adalah pilihan tepat selama kita masih memiliki badan fisik.

Dalam hidup ini, kita hanya punya 2 pilihan, mau menambatkan hidup pada dunia benda atau menambatkan diri pada dunia spirit, pada jiwatma. Kita harus memillih satu di antara kedua pilihan ini. Pilihan pertama (menambatkan diri pada dunia benda), mungkin awalnya akan sangat menyenangkan tetapi pada akhirnya berujung duka derita yang tak berkesudahan. Pilihan kedua (menambatkan diri pada dunia spirit), awalnya seperti meneguk racun tetapi dalam proses perjalanan, racun tersebut berubah menjadi ambrosia, nektar kehidupan yang abadi. Pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Ingatlah, kita tidak mungkin berhamba pada dua majikan. Kita harus memilih satu diantara dua, memilih dunia benda sebagai majikan atau memilih dunia spirit.

Dalam tradisi Sanatana, seorang Sanatani diberikan kebebasan untuk memuja salah satu dari ribuan wujud yang ada. Tujuannya hanya satu, mengingatkan diri kita pada sesuatu yang lebih mulia, bukan menarik kita untuk terjebak di alam benda. Pilihan itu sangat personal dan setiap orang memiliki kekebasan penuh untuk itu.

Satu pertanyaan menarik:

Mengapa kita lebih mudah memusatkan pikiran pada sesuatu yang berwujud?

Jawabannya adalah: karena saat ini kita sedang mewujud, memiliki wujud fisik yang dapat disentuh dan dirasakan. Secara alami, otak kita akan sangat mudah mengasosiasikankan sesuatu jika sesuatu memiliki sebuah wujud fisik. Jadi semua itu dilakukan semata-mata untuk mempermudah otak kita untuk mengasosiasi sesuatu. Contohnya, jika saya mengatakan pada anda itu adalah sebuah botol, maka jika anda tidak memiliki referensi botol itu apa, maka akan sangat sulit bagi saya untuk membuat anda memahaminya. Tetapi jika saya membawa sebuah botol dan mengatakan pada anda, ini adalah botol. Maka anda akan memahaminya dengan sangat mudah.

Sama halnya ketika kita mengatakan bahwa salah satu sifat dari Keberadaan adalah Ia Yang Menghalau Segala Rintangan, bagaimana diri kita mampu untuk memahami dan mengasosiasi sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Tentunya akan sangat sulit dipahami oleh otak jika kita tidak menggambarkannya ke dalam sebuah bentuk tertentu. Maka, dalam tradisi Sanatana, sifat Keberadaan Yang Menghalau Segala Rintangan digambarkan dalam bentuk Ganesha. Ganesha sendiri memiliki begitu banyak atribut yang melambangkan sesuatu. Dengan memandang wujud Ganesha, kita akan diingatkan tentang makna dari simbol-simbol tersebut sehingga kita lebih mudah menterjemahkan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Wujud-wujud Keberadaan dalam tradisi Sanatana dikenal dengan istilah ISHTA yang biasa digambarkan ke dalam sebuah bentuk berupa patung (murti/pratima). Pemilihan istha bersifat sangat personal. Jika saya memilih Ganesha sebagai istha saya, maka saya tidak berhak memaksakan pilihan tersebut supaya orang lain juga memuja istha yang sama seperti saya. Guru saya, Bapak Anand Krishna mengatakan, istha adalah sesuatu yang bersifat sangat pribadi dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Jika memilih ishta, maka sebaiknya kita memiliki hubungan emosional dengan ishta tersebut karena hanya dengan cara tersebut kita bisa mengakses sumber rasa terdalam diri dalam diri kita (mahaanubhava)/kasih.

Picture courtesy: Ganesha (bit.ly/3hgUPYi)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum