Vivaha Part 1: Mengapa Nikola Tesla Tidak Menikah?

“Everyone credits humanity by leaving his progeny to it” - Tesla spoke - “My children are my inventions… My only wish is to convey a message through them to future centuries… A woman is a magnificent being of which I am not worthy.”

(Nikola Tesla)

Tesla’s only love, inseparable and sincere was - science.

Nikola Tesla, seorang ilmuwan yang luar biasa memiliki begitu banyak penemuan, memiliki pandangan yang sangat terbuka dan revolusioner. Tesla memiliki sudut pandang yang sangat menarik tentang perkawinan: 

“Setiap orang yang menghargai kemanusiaan akan berharap untuk memiliki keturunan untuk meneruskan rekam jejaknya. Bagi Tesla, anak-anaknya adalah penemuan-penemuannya. Harapan dia adalah ia mampu menyampaikan pesan-pesannya lewat penemuan-penemuan tersebut selama beberapa abad ke depan. Seorang wanita, baginya, adalah sesosok mahluk yang sangat luar biasa dan dia merasa tidak layak untuk mereka (Nikola Tesla).”

Satu-satunya cinta dalam hidup Tesla adalah Science - tidak terpisahkan, dan tulus. 

Aku sangat mengagumi Tesla dan mengenalnya lewat sebuah film dokumenter tentang autobiografinya. Begitu banyak sumbangan penemuan Tesla dalam bidang Fisika seperti: AC power (alternating current)/arus bolak balik, Tesla coil, magnifying transmitter, Tesla turbine, shadowgraph, radio, neon lamp, hydroelectric power, induction motor, dan radio controlled boat. Satu-satunya kecintaan Tesla adalah Science, tiada cinta lain baginya di luar Science. Tesla juga sangat humanis dia sempat membuat sebuah desain untuk mengalirkan listrik tanpa kabel pada lampu dan setiap rumah tangga dapat membangkitkan listriknya sendiri dan mereka tidak perlu  membayar satu sen pun untuk listrik keperluan sehari-hari. Tetapi sayang, begitu banyak penemuan dan laboratoriumnya dibakar oleh rivalnya di bidang yang sama, yaitu Edison. 

Mengapa dia begitu fokus pada dunia pengetahuan dan mengesampingkan kehidupan romansanya?

Siapa yang tidak kenal dengan manuskrip Mahabarata, Bhagavad Gita, Veda dan Srimad Bhagavatam? Pengumpul dan penyunting naskah kuno tersebut adalah Bhagavan Vyasa dan teks-teks ini sudah berusia kurang lebih 5000 tahun. Vyasa adalah sosok yang sangat visioner dan mendapat gelar  sebagai Rishi. Rishi berarti futurist, ia yang dapat melihat jauh ke depan, seseorang yang visioner. Vyasa memiliki anak bernama Bhagavan Shukadeva, tetapi kita mengenang Vyasa melalui tulisan-tulisan beliau yang masih dibaca sampai saat ini oleh para Sanatani. 

Apakah setiap orang mesti menempuh jenjang Vivaha/perkawinan?

Guruku, Bapak Anand Krishna membuatku memahami sebuah cara pandang baru dan sangat menarik pada sebuah artikel tentang perkawinan dalam buku terbaru beliau, Kearifan Lokal Bali pada bagian Vivaha halaman 157.


Silakan simak pemaparan beliau sebagai berikut:

Demikian, Mereka Hidup Bahagia selamanya” - dengan kata-kata seperti itu berakhirlah ceritanya. Sejak masa kanak-kanak, kita telah dikondisikan untuk mendefinisikan perkawinan sebagai akhir dari sebuah cerita. Para Cinderela, Putri Salju, Putri Tidur, dan pangeran mereka tidak lagi menderita sakit hati, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainya. Singkatnya, setelah perkawinan mereka, tidak ada lagi duri dalam hidup mereka. Yang ada adalah mawar saja.

“Sebagai seorang anak, saya tidak mempertanyakannya saat itu. Anda pun mungkin sama, tidak mempertanyakannya juga. Dalam ketidaktahuan, otak kita dicuci untuk mempercayai bahwa pernikahan adalah sinonim untuk kebahagiaan - kebahagiaan selamanya - kebahagiaan yang tidak terusik apa pun. 

“Namun kenyataannya terbukti tidak seindah yang kita percayai. Kesadaran baru muncul, jauh di kemudian hari - ketika kita sudah kawin. Gairah ketertarikan fisik serta emosional, yang kita artikan sebagai cinta, tidak bertahan lama. Seiring hilangnya gairah dan ketertarikan tersebut, hilang pula segala romansa…

Kemudian, Tergantung pada Pengasuhan yang Kita Peroleh, tradisi keluarga, norma-norma sosial, dan sebagainya - entah kita memulai perjalanan lain, mencari pangeran atau putri baru; atau menyerah pada nasib dan melanjutkan perkawinan yang membosankan…tanpa romansa. Dalam kedua skenario tersebut, ujung-ujungnya selalu sama saja, cinta sudah menghilang.

“Dari satu perkawinan ke perkawinan yang lain, dari satu perceraian ke yang berikutnya, dari satu hubungan yang rumit ke bahkan yang lebih rumit lagi - kita terus mencari “kehidupan yang bahagia selamanya”, yang pada akhirnya, terbukti menjadi pencarian yang sia-sia. Sebab, perkawinan bukanlah sinonim, bukanlah kata lain untuk kebahagiaan.

“... Para Warga Bumi - menganggap perkawinan sebagai salah satu ritus peralihan (dari masa lajang ke masa berkeluarga) yang memberdayakan pria dan wanita untuk bersama-sama menghadapi tantangan kehidupan.”

“Mereka mendefinisikan perkawinan sebagai perjalanan “aku” yang egois dan individualistik menuju “kita”; dari pemikiran yang sempit ke kesadaran yang meluas; dari gairah, nafsu birahi, ketertarikan fisik dan emosional menuju cinta tanpa syarat, kebersamaan, dan berbagi baik suka maupun duka kehidupan.

Dengan demikian, bagi kebanyakan dari kita, yang tidak mampu melakukan perjalanan dari Aku ke Kita - perkawinan menjadi ritual peralihan yang mesti dilakoni… Banyak pula yang tidak harus kawin untuk mencapai tujuan tersebut. Perkawinan bukanlah keharusan. Mereka yang telah mengerjakan PR sebelumnya, yang telah mengalami perkawinan sebelumnya atau dalam kehidupan sebelumnya, dan masih mengingat pengalaman tersebut tidak harus mengulangi pelajaran yang sama. Demikian menurut saya…”

Perkawinan adalah sebuah pilihan, demikian menurut Guruji. Bagi mereka yang sudah menyelesaikan PRnya, maka dia tidak perlu mengulangi lagi pelajaran tersebut…

To be continue…


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Gula, Inflamasi dan Kematian