Manusia Unggul, Harapan Bagi Kemanusiaan
Sebuah renungan sekaligus pengingat diri akan berkah yang
paling berharga, yaitu pertemuan dengan seorang Guru Sejati, Pemandu Spiritual…
Kutipan
berikut bersumber dari artikel Guruji Anand Krishna dengan judul Shishtachar – Sopan
Santun, diterbitkan oleh Majalah Raditya).
“Kehadiran seorang Sadguru,
seorang Guru Sejati dalam hidup kita untuk menuju Jivan Mukti, Moksha
selagi masih hidup – adalah berkah Gusti Hyang Maha Tunggal lewat beliau.
Adalah kesialan nasib kita, jika setelah bertemu dengan seorang Guru Sejati pun
kita masih membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh di luar diri yang tidak
menunjang kesadaran kita.”
“Dengan cara itu, kita menjadi bagian dari asuri mandala, mandala para asura,
mereka yang tidak selaras dengan semesta, mereka yang egois. Pertanyaannya:
Kenapa Bisa Seperti Itu? Dari pengalaman pribadi, setiap anak yang sejak usia
dini tidak diajarkan shishtachar,
sopan santun, akan tumbuh menjadi rumput liar, yang hanyalah memiliki satu
kemampuan saja, yaitu merusak taman sari semesta.
“Untungnya, mereka tidak pernah bertahan lama. Roda sang
kala yang berputar terus akan melindas mereka. Tinggal tunggu waktu saja.
Sekarang, pilihan di tangan Anda, di tangan kita masing-masing… Memilih untuk
tertindas di bawah roda sang kala dan lahir, mati, lahir, mati terus-menerus
untuk mengalami samsara, atau memilih jalan menuju Brahma Nirvana? Jika pilihan kita adalah Jivan Mukti dan Brahma
Nirvana – sukses sejati dalam segala bidang, bukan sukses materi saja yang
belum tentu membahagiakan, malah sering mencelakakan – maka mulailah dengan shishtachar…”
(Anand
Krishna, Shishtachar – Sopan Santun, diterbitkan oleh Majalah Raditya).
Sopan santun, apakah itu masih penting?
Mungkin banyak di antara kita yang mempertanyakan pentingnya
sopan santun di zaman now ini. Sepenting itukah?
Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah bangsa.
Pendidikan tentang sopan santun harus dimulai dari unit terkecil itu, yaitu
keluarga. Ketika keluarga gagal memenuhi perannya untuk mengajarkan sopan satun
bagi anak-anak yang tumbuh di dalamnya, maka masyarakat tinggal menunggu
keruntuhannya saja.
Setelah unit keluarga melaksanakan tugasnya, maka
pendidikan sopan santun dilanjutkan oleh para guru TK dan SD di sekolah.
Setelah jenjang SD, sangat sulit untuk membentuk ulang karakter seorang anak.
Let me tell you a
story…
Aku pernah mengajar di sebuah universitas swasta tahun
2007-2012. Pada masa itu, teknologi informasi sudah berkembang, hanya saja
belum sepesat sekarang. Anak-anak yang bersekolah di sana bisa dikatakan adalah
anak-anak “sisa” yang tidak diterima di universitas negeri dan mereka terdampar
di sana. Bisa dikatakan secara kualitas kurang “outstanding”, meskipun ada saja satu atau dua yang kemampuannya di
atas rata-rata. Disiplin anak-anak di sana bisa dikatakan buruk, meskipun tidak
semua anak seperti itu. Ketika aku bandingkan dengan zaman sekarang, di era
2016-2022, saat aku mengajar anak-anak SD. Tingkat kerusakan secara mental dan
emosional yang kudapati saat mengajar mahasiswa di tahun 2007 sama dengan kerusakan
anak SD, bahkan level TK di tahun 2020-an.
Jujur, ini adalah sebuah kemunduran yang sangat fatal. Dari
pengamatan pribadiku, keluarga sudah gagal total dalam menjalankan perannya
dalam memberi pendidikan etika dan sopan santun pada anak-anak. Bahkan pihak
sekolahpun harus berkompromi dengan mental anak-anak ini karena “tidak bisa
dikerasi”, lembek dan memble. Kalau
terlalu keras seperti zaman dahulu, sekolah bisa kena tuntut dan guru bisa
diperkarakan.
Mengapa keluarga gagal dalam menjalankan perannya?
Karena orang tidak tahu mengapa mereka harus membangun
keluarga?
Jika kita belajar dari ilmu genetika, untuk menghasilkan
tanaman yang unggul maka kita akan menyeleksi tanaman indukan dengan
sifat-sifat yang unggul dan baru disilangkan dengan tanaman lain dengan
sifat-sifat unggul untuk mendapatkan tanaman anakan yang memiliki sifat unggul
juga.
Jika kita menyeleksi tanaman untuk mendapatkan tanaman
dengan sifat unggul, maka bagaimana caranya mendapatkan generasi manusia yang unggul?
Persis sama sebagaimana kita mendapatkan tanaman unggul,
mereka yang berencana akan menikah harus menyeleksi bibit, bebet dan bobot
calon pasangannya… dan seorang anak yang lahir haruslah diharapkan oleh kedua
orang tuanya. Anak-anak yang tidak diharapkan untuk lahir, atau lahir karena
“kecelakaan” bukanlah benih yang bagus.
Untuk mendapatkan benih yang baik, kedua orang tuanya
haruslah mengharapkan sang anak untuk lahir dan hadir dalam keluarga tersebut.
Sebuah
cerita yang menarik tentang bagaimana mendapatkan anak unggul dan menjadi
berkah bagi alam semesta dapat ditemukan dalam kitab Srimad Bhagavatam.
Dahulu kala, pada zaman Swayambhu Manu, Brahma
memerintahkan Sutapa dan istrinya Prsni untuk memiliki keturunan sehingga bumi
memiliki penghuni. Dalam menjalankan tugasnya, Prsni selalu memikirkan dan
mengenang Wisnu. Mereka bertapa selama 12.000 tahun untuk mendapatkan
keturunan. Prsni adalah seorang panembah yang luar biasa dan pada suatu hari
yang cerah, Wisnu muncul di hadapan pasangan itu dan menanyakan anugerah apa
yang mereka inginkan.
Vamana, Aditi dan Kasyapa |
Prsni mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang ibu
dan meminta untuk dianugrahkan seorang putra seperti Wisnu. Karena tidak ada
yang lain seperti Wisnu di alam semesta ini, maka Wisnu sendiri yang akan lahir
dalam kandungan Prsni. Setelah itu, Prsni mengandung dan melahirkan Wisnu
sebagai putranya dan diberi nama Prsnigarbha pada zaman Satya Yuga.
Wisnu berjanji kepada Prsni bahwa dia akan lahir sebagai
anaknya dalam 3 masa kelahiran. Pada zaman Treta Yuga, Prsni dan Sutapa
terlahir kembali sebagai Kasyapa dan Aditi. Pada zaman ini, Visnu terlahir
sebagai putra Kasyapa dan Aditi bernama Upendra, yang lebih dikenal sebagai
Vamana Awatara.
Akhirnya pada zaman Dwapara Yuga, karena banyak asura/raksasa yang
telah lahir menjadi manusia dalam keluarga Ksatria yang kuat, maka Wisnu
terlahir kembali untuk menegakkan Dharma. Beliau terlahir sebagai Krishna, putra dari Wasudewa dan Dewaki, yang tidak lain adalah reinkarnasi dari
Kasyapa dan Aditi.
So, mau mendapatkan manusia bibit unggul, bertapalah selama
12.000 tahun, ha ha haaa…
Komentar
Posting Komentar