Jangan Lari Dari Medan Perang Arjuna!

“Teacher, bolehkan saya berbicara dengan Anda secara pribadi?” tanya seorang siswa setelah bel istirahat berdentang.

“Silakan Nak, apa yang bisa saya bantu?”

“Teacher, ada yang ingin saya ceritakan kepada Anda, tetapi saya tidak tahu harus memulai dari mana. Saya bingung, saya takut dengan apa yang akan terjadi pada diri saya ke depan.”

Anak remaja dari Swarna Dwipa itu kemudian menceritakan semua kegundahan dirinya kepadaku. Tentang keinginan, cita-cita dan harapannya untuk meneruskan sekolah di One Earth School, tetapi terbentur dengan keinginan dan harapan ayahnya.

Ternyata dia sudah didaftarkan ke sekolah lain oleh ayahnya, dan dia sempat berdebat dengan ayahnya tentang pentingnya pendidikan budi pekerti. Tetapi ayahnya tetap ngotot bahwa pendidikan berdasarkan akademik jauh lebih penting daripada pendidikan budi pekerti. Sebenarnya dia memiliki kesempatan untuk tidak menjawab soal-soal tes yang harus dia kerjakan untuk diterima di sekolah tersebut, tetapi pada detik-detik terakhir dia berubah pikiran karena merasa kasihan dengan ayahnya.

Aku kemudian bertanya:

“Tidakkah kau percaya bahwa kehadiranmu di sini bukanlah sebuah kebetulan? Karma baik dari masa lalu yang membawamu ke tempat ini. Tidakkah kau meyakini kebijaksanaan Guruji? Guruji sangat menyayangimu, beliau bahkan sangat ingin kau berada di asrama.”

Dia menjawab pertanyaanku dengan wajah sedih:

“Teacher, aku sangat menyesali semuanya. Tetapi semua sudah terlambat. Sejak kehadiran Mr. Shivaji dari Manipal University ke sekolah atas undangan Guruji, saya berpikir keras. Saya sangat salut dengan Guruji karena bisa mengundang Mr. Shivaji dan saya terkesan dengan sharing beliau terkait cara memilih jurusan dan kemungkinan untuk mendapatkan beasiswa dari universitas tersebut. Saya berharap bisa memutar balik waktu dan menjelaskan segalanya dengan lebih baik kepada ayah saya. Apa yang bisa saya lakukan supaya tetap mendapatkan pedidikan budi pekerti seperti di One Earth School?”

Aku spontan menjawab: “Kau bisa mengikuti program Meditasi Youth di Anand Krishna Centre jika mau.”

Dalam hati kecilku, aku tak yakin apakah anak ini bisa bertahan di lingkungan sekolah baru yang sangat materialis itu. Jujur aku secara pribadi khawatir karena memahami pola kerja energi pada lingkungan pergaulan. Sekuat apapun engkau, ketika kau berada dalam lingkungan pergaulan yang buruk dan tidak menunjang kemanusiaanmu, maka kebaikanmu akan sirna dalam sekejap. Segala benih kebaikan yang sudah kau tanam selama bertahun-tahun akan hilang begitu saja. Aku sangat sedih selama berhari-hari memikirkan nasib anak tersebut.

Guruku senantisa mengingatkan kami: “Lebih baik kurang gaul daripada salah gaul. Kita harus belajar ‘Say Bye After Hi’ kepada orang-orang yang tidak menunjang perkembangan jiwa kita.”

Aku pernah bercerita tentang analogi pengaruh pergaulan kepada anak-anak asrama:

“Apa jadinya sebuah bibit yang sangat bagus, benih unggulan jika jatuh pada lahan yang gersang? Yang terjadi adalah benih itu tidak akan tumbuh, bahkan ada kemungkinan akan mati sia-sia. Kalaupun memungkinakan untuk tumbuh, pertumbuhannya akan sangat terhambat. Dia tidak akan pernah menjadi tanaman unggul sebagaimana potensi terbaik yang seharusnya dapat ia capai. Jatuh di lahan yang gersang ibarat berada dalam lingkungan pergaulan yang buruk. Semua potensi terbaik kita akan terampas dalam lingkungan seperti itu. Masih ada harapan bagi benih yang tidak unggul untuk tumbuh dan berkembang baik pada lahan yang subur. Tetapi kecil harapan bagi benih unggul yang jatuh pada lahan gersang untuk bisa tumbuh baik. Beware, always be careful dalam pergaulan kalian!”

Sebuah kutipan menarik dari Guruku tentang pergaulan:

Pergaulan yang Anda miliki , mempengaruhi kualitas hidup Anda. Pergaulan yang baik menjamin hidup yang baik. Sementara pergaulan yang buruk menjadikan hidup yang buruk pula” (Anand Krishna, 108 Power Pills of Wisdom, hal. 73).

Aku juga pernah memberi analogi lain kepada anak-anak angkatan awal SMP, dimana mereka hanya berlima dalam satu kelas dan mengeluhkan nasib mereka kepadaku karena mereka kekurangan teman.

Aku kemudian bertanya kepada mereka:

“Jika kalian diminta memilih, diberikan 5 orang teman dengan kualitas Pandawa, atau memiliki 100 orang teman dengan kualitas Kurawa. Kalian akan pilih yang mana?”

Spontan mereka semua menjawab: “Kami akan memilih 5 orang dengan kualitas Pandawa.”

“Kenapa?” kataku balik bertanya pada mereka.

Salah seorang di antara mereka menjawab: “Teacher, ngapain punya 100 teman kalau mereka berkelakuan buruk semua. Kita kan bisa ketularan sifat buruk mereka.” Empat anak lainnya menganguk dan memberikan persetujuan atas jawaban temannya.

Aku kemudian balik bertanya: “Lha, tadi kalian mau punya banyak teman. Begitu disodori 100 orang kalian malah menolak.”

Aku kemudian menjelaskan lebih rinci bahwa semakin dewasa dan matang mereka dalam perjalanan hidup ini mereka akan semakin selektif dalam berteman. Mereka tidak akan dekat dengan begitu banyak orang. Tidak semua orang perlu mereka “gauli”, hanya karena takut dianggap kurang gaul. Punya satu atau dua sahabat baik saja rasanya sudah bersyukur sekali. Sebagian besar orang akan datang dan pergi dalam perjalanan hidup kita. Sahabat sejati harus benar-benar kau cari, mungkin kau akan menemukannya satu di antara 1000 orang. Sulit sekali untuk menemukan seorang sahabat yang baik. Ia yang akan ada untukmu dalam suka dan duka. Ia yang akan menegurmu pada saat kau salah langkah. Ia yang kata-kata dan nasehatnya akan menguatkanmu saat kau terpuruk.

Aku ingat Guru Fisikaku di SMA pernah mengkatagorikan 3 macam teman:

  1. Teman merpati yaitu mereka yang hanya akan datang padamu saat kau dalam   keadaan  senang. Jika kau sedang susah, dia akan pergi dan menjauhimu.
  2. Teman pedati yaitu mereka yang mendatangimu saat mereka butuh bantuanmu. Jika   kau butuh bantuan, belum tentu mereka datang untuk membantumu.
  3. Teman sejati adalah mereka yang siap sedia membantumu dalam kondisi senang   maupun susah.

Sebenarnya aku sudah mengingatkan anak tersebut sejak awal kelas 9 supaya melanjutkan SMA di sini saja. Potensinya sangat menonjol dibandingkan anak-anak lain, meskipun secara akademis dia tidaklah menempati urutan teratas. Kesantunan, kesigapan dan kerja kerasnya tidak dimiliki oleh anak-anak lain. Tetapi rupanya dia terjerat pada ‘rasa kasihan’ kepada ayahnya. Dengan potensi kemanusian sebesar itu, sayang jika harus hilang dengan sia-sia karena lingkungan pergaulan yang tidak menunjang.

Aku juga berulang kali sharing dengan memberi contoh tentang seorang kakak kelasnya yang mengalami dilema serupa tahun lalu. Kakak kelasnya itu bahkan sampai sakit parah dan hampir sebulan di rumah sakit. Dia sangat ingin tetap melanjutkan sekolah di One Earth School, tetapi ibunya ingin dia pindah ke sekolah lain. Dia tidak ingin menyakiti hati  ibunya tetapi juga tidak ingin bersekolah di tempat lain. Dia mengalami konflik batin yang sangat hebat dan hingga berujung pada penyakit fisik yang cukup parah. Tetapi karena keyakinannya pada Guruji, Keberadaan mengetuk pintu hati ibunya dan akhirnya sang ibu mendukung penuh pilihan anaknya untuk tetap bersekolah SMA di sini.

Nak, masalah yang kau hadapi tidak seberat yang dialami kakak kelasmu itu. Adakah kau memiliki keyakinan kepada Guruji seperti keyakinannya? Mungkin kau sendiri tidak memiliki keyakinan dalam dirimu, dan rasa kasihanmu pada ayah itu bukanlah kasih.

Aku teringat kisah Arjuna dalam perang Bharata Yudha. Sebelum perang dimulai, Arjuna ingin melarikan diri dari medan pertempuran karena takut pada Kakek Bhisma dan Guru Drona. Kakeknya, Bhisma adalah seorang ksatria yang sangat sakti dan tak terkalahkan, ia bahkan bisa memilih sendiri waktu kematiannya. Gurunya, Rsi Drona adalah guru panah terbaik di Jambudwipa yang telah mengajarkan dia seni memanah. Dia membungkus rasa takutnya dengan rasa kasihan: “Lebih baik aku mati, daripada harus membunuh mereka yang aku hormati, daripada aku harus membunuh kakek dan guruku.”

Wejangan Sri Krishna Kepada Arjuna

Selama 13 tahun dalam pengasingan dan penderitaan karena ulah sepupu mereka, Arjuna dan saudara-saudaranya mengumpulkan kekuatan jika kemungkinan terburuk (perang) itu harus terjadi. Tetapi ketika perang dimulai, dia takut setengah mati dan ingin lari dari medan perang. Padahal kakek dan gurunya jelas-jelas berpihak pada pihak penguasa yang zalim, yaitu sepupunya sendiri karena takut kehilangan kenyamanan diri.

Krishna, Sang Pemandu, Sang Sais Agung kemudian berkata dengan santai:

“Ok Arjuna, kalau kamu tidak mau berperang melawan ketidakadilan, maka pergilah dari medan perang ini. Di belakang layar sandiwara kehidupan ini sudah siap pemeran lain yang akan menggantikanmu di medan laga ini. Sadarkah kamu bahwa peran yang diberikan kepadamu adalah karena karma baikmu dari masa lalu. Peran ini adalah anugrah dari Keberadaan. Jika kau mau lari dari medan perang, maka larilah. Aku akan membiarkan kamu pergi dan pemeran pengganti itu akan segera menggantikan kamu.”

Arjuna kemudian berpikir dan “pause” sebentar:

“Iya, ya kalau aku menolak peran ini, maka yang rugi adalah aku sendiri. Keberadaan tidak rugi apa-apa kalau aku lari dari medan perang. Yang rugi aku, musuh dan kawan akan mencemooh aku beramai-ramai dan mengatakan bahwa aku adalah seorang pengecut. Mana ada cerita seorang ksatria yang lari dari medan perang disebut sebagai pahlawan. Bodohnya aku. Baiklah Krishna, Guruku, Mentorku, aku siap mengikuti titahMu. Aku akan berperang demi menegakkan Dharma, Kebajikan Tertinggi. Jadikan aku sebagai alat di tanganMu, biarkan aku bekerja atas kehendakMu.”

Maka Arjuna di bawah bimbingan Sri Krishna memenangkan Bharata Yudha dan dia dikenang sebagai pahlawan sepanjang masa. Sudah 5.000 tahun berlalu dan Arjuna tetap dikenang sebagai pahlawan dalan sejarah dunia.

Trus bagaimana dengan Arjuna kita dari Swarna Dwipa? Akankah dia mengubah keputusannya? Akankah dia memiliki keyakinan dalam dirinya? Entahlah, aku tak tahu. Dalam hati kecilku, aku masih berharap jika dia mau mengubah keputusannya. Aku masih berdoa semoga keyakinan tumbuh dalam jiwanya. Semoga.

Di sisi lain, aku melihat Keberadaan sedang bekerja di balik layar.

Seminggu yang lalu, ada seorang Bapak yang mengirim pesan ke FB messenger di page One Earth School dan bertanya tentang jenjang SMA. Dia menyebut nama anaknya yang tertarik untuk bersekolah SMA di sini. Dilihat sepintas, nama anak itu seperti nama anak perempuan, tetapi ternyata dia anak laki-laki. Aku kemudian memberikan kontak Direktur Yayasan kepada Bapak tersebut.

Singkat cerita dari penuturan Sang Bapak, anaknya sangat ingin melanjutkan SMA di One Earth School. Selama ini anak tersebut mencari-cari sekolah yang bisa memenuhi kriteria yang dia harapkan untuk masa depannya, dan pilihan itu jatuh di One Earth School. Anak itu kemudian menelpon Direktur Yayasan secara pribadi dan sangat antusias mendengar tentang kegiatan siswa Gurukula (SMA).

Dia tidak sabar untuk bersekolah di One Earth School, begitu yang kudengar ceritanya dari Direktur Yayasan. Dia ingin wawasannya bertambah luas dan menjadi bijaksana, dan di atas segalanya dia yakin karena sekolah ini adalah sekolah milik Bapak Anand Krishna. Ternyata dia pernah bertemu dengan Guruji pada sebuah acara di Surabaya.

So Arjuna dari Swarna Dwipa, masihkan kau ragu? Sepertinya Keberadaan tidak akan tinggal diam jika kau pergi. Jika seorang Arjuna pergi, maka sekian Arjuna di balik layar siap muncul untuk menggantikan peran yang harus kau mainkan. Beware! Jangan pernah menyia-nyiakan berkah dari Keberadaan. Kau tidak akan pernah tahu entah kapan lagi kesempatan itu akan diberikan kepadamu. Sekali kesempatan itu tergelincir dari tanganmu, kau akan kehilangan segala-galanya. Berhati-hatilah, bijaklah dalam mengambil keputusan. Di atas segalanya, milikilah keyakinan dalam hidup. Tanpa keyakinan, hidup ini tidak akan pernah ada artinya. Tanpa keyakinan dalam hidup, jiwa kita akan mati sebelum waktunya.

Picture courtesy: bit.ly/3bZY2ZA


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum