Melukis Kata di Bawah Langit Biru Adelaide
Asato
– maa Sadgamaya
Tamaso
– maa Jyotirgamaya
Mrityormaa
– Amritamgamaya
“Perjalanan ini adalah dari asat, ketidakbenaran – saya memilih untuk menafsirkannya sebagai “kebenaran rendah” - menuju Kebenaran Sejati, Sat; dari tamas atau kegelapan menuju Terang, Jyoti. Dan dari kematian, mrityu menuju Kehidupan Abadi, Amrita” (Anand Krishna, Sai Anand Gita pp. 66).
Aku ingin menulis lagi, seperti dulu….
Aku terisak-isak dalam tangis karena kehilangan hal yang
begitu penting dalam hidupku, yaitu kemampuan untuk menulis...
Bagaimana caranya untuk mengembalikan semua itu?
Guruku berkata: “Kau masih kurang Cinta di dalam diri”.
Deg...kata-kata itu terasa begitu tajam dan menusuk. Aku
tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali ke momen itu, Cinta, kemana kamu
pergi?
Sejak
kepindahanku dari asrama One Earth School ke Secret Garden, perlahan-lahan aku mulai
bisa menulis lagi. Tetapi hal itu berlangsung beberapa bulan, aku mulai stuck kembali, dan mengalami writter’s
block. Jujur, aku frustasi dengan diriku sendiri…
How can I get my
ability back, just like before…
Saat pandemic corona
mulai menyebar ke seluruh penjuru, kami akhirnya harus melakukan karantina
mandiri di One Earth School bersama 8 orang anak asrama yang berasal dari luar
Bali dan luar Denpasar.
Seminggu setelah karatina, pada suatu malam terjadi gempa
cukup besar dengan kekuatan mencapai 6.6 SR di daerah barat daya Kuta Selatan.
Keesokan harinya keadaan semakin mencekam dengan adanya isu gempa susulan dan
adanya potensi terjadi tsunami di daerah Kuta.
Aku panik dan cemas menghadapi situasi ini meskipun kami
sudah menyiapkan dua rencana evakuasi untuk para guru dan siswa yang tinggal
asrama. Malam itu, ketakutan dan kecemasan itu semakin menjadi. Aku tidak bisa
tidur, cemas karena memikirkan anak-anak yang masih bersama kami, seandainya
kemungkinan terburuk itu terjadi, semoga saja rencana evakuasi itu berjalan
baik.
Aku keluar dari kamar dan berjalan pada “8” shaped walking di depan pratima Ma
Tripura Sundari. Aku berjalan mengikuti 8
walk path sambal menangis tersedu sedan, aku tidak tahu harus melakukan apa
untuk meredakan rasa cemas itu. Aku mencoba menghubungi seorang kawan yang
kuanggap cukup dekat, tapi siapa yang akan mengangkat telepon tengah malam
begini. Akhirnya aku terus berjalan dan membiarkan air mata itu terus menetes,
aku tidak berusaha untuk menahannya. Dalam hati aku hanya menjerit:
“Maa, help me, I don’t
know what to do. I am scared.”
Aku berjalan semakin cepat mengikuti 8 path walk, dan tiba-tiba terbesit sebuah nama dalam benakku…Rajesh…
Kata Rajesh berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti Lord of the King, Raja dari Para Raja. Seperti makna dalam namanya, dia selalu bercahaya dan membawa keceriaan dalam persahabatan kami.
Ingatanku menerawang jauh, mengingat tentang nama itu, nama
sahabat baikku saat aku bersekolah di Adelaide. Sudah hampir 3 tahun kami tidak
pernah bertukar kabar. Sejak awal kepulanganku ke Indonesia, aku masih aktif
berkomunikasi dengannya, tetapi kemudian dengan kesibukan yang semakin
menggila, aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya.
Sobat, bagaimana kabarmu? Masihkah kau tinggal di Adelaide.
Semua kenangan itu berputar dengan begitu cepat, aku mengingat semuanya, saat
kami kuliah, hingga momen aku kembali ke Indonesia yang dia lepas dengan begitu
berat hati. Aku semakin terisak mengingat semua itu. Kawanku, apakah kau
baik-baik saja?
Kepingan demi kepingan memori itu terus bermunculan ke
permukaan dan akhirnya aku tertidur dengan memori itu. Entah jam berapa aku
tertidur, aku tidak ingat lagi.
Aku kemudian menghubungi sahabatku lagi, semoga dia selalu
dalam keadaan sehat dan bahagia menjalani kehidupan.
Tiga hari kemudian dia membalas chatku di FB. Akhirnya aku
menelponnya dan kami terhubung lagi setelah sekian lama. Jarak antara Denpasar
dan Adelaide terlampaui, jarak waktu yang memisahkan kami selama 3 tahun
menghilang. Rasanya masih sama seperti dahulu, saat kami menghabiskan waktu
selama 2 tahun menyelesaikan kuliah kami. Penerimaan yang sama, dan dia selalu
menjadi pendengar yang baik.
Dalam perjalanan hidup, kau akan bertemu dengan “manusia
langka” yang mungkin tidak mudah untuk kau temukan diantara kerumunan manusia.
Manusia yang mau menyediakan diri, waktu dan telinganya untuk benar-benar
mendengar. Kau akan tahu dengan hatimu apakah seseorang benar-benar peduli dan
mau mendengarkan atau hanya menganggapmu sepintas lalu, tanpa kepedulian.
Telinga yang mampu dan mau mendengarkan adalah telinga yang
indah. Hati manusia yang memiliki semua itu adalah hati yang penuh welas asih. Ia
yang mau memberikan waktu untuk berbagi kehidupan dengan sepenuh hati adalah
manusia yang benar-benar mengenal kemanusiaan. Tipe manusia seperti ini akan
selalu meninggalkan kesan mendalam, dan tak akan pernah bisa untuk dilupakan.
Ia menyentuh hati manusia dalam sekejap dan membuatmu memahami apa itu cinta, apa
itu persahabatan, dan apa itu kepedulian.
“The greatest gift you can give someone is
your time. Because when you give your time, you are giving a portion of your life
that you will never get back” (Anonymous).
Hal terbaik yang bisa kau berikan kepada orang lain adalah
waktumu. Karena pada saat kau memberikan waktumu, kau memberi sebagian dari
hidupmu yang takkan pernah kau dapatkan kembali.
Terima kasih karena telah membuatku merasakan perasaan ini.
Perasaan yang sangat berharga karena aku menyadari bahwa aku memiliki seorang
sahabat. Yang aku ingat, dia akan ada untukku dalam suka dan duka. Dia akan
menyediakan dirinya untuk mendengarkanku dengan seluruh hatinya, keceriaan dan
ketulusannya. Ketulusan yang begitu membumi dan penuh makna. Keluguan yang tak
kutemukan pada kebanyakan orang, tetapi dia memilikinya dan mengajarkan
kepadaku bagaimana caranya untuk mencinta, untuk peduli. Dia senantiasa menginspirasiku
untuk memberikan hidup, dan waktuku tanpa mengharapkan apapun.
Pencarian ini sudah berakhir, aku tak perlu mencari apapun
lagi. Aku sudah memilikinya, persahabatan ini, memiliki semua kenangan indah
yang aku butuhkan untuk bertahan dan melanjutkan hidupku.
Flash back ke
awal November 2014 saat menyelesaikan kuliah di Flinders University, Adelaide…
Pagi itu aku mendapatkan kabar bahwa Opa Bob sudah
meninggal dunia dari Ibu Asanah. Sudah hampir 4 hari Opa Bob di rumah sakit dan
harus diamputasi karena penyakit gout-nya
sudah menyebar ke salah satu kakinya. Sehari sesudah diamputasi, dia meninggal.
Aku begitu sedih karena tidak sempat menengoknya di rumah sakit. Aku sangat
dekat dengan mereka berdua, pasangan sepuh yang tinggal di kaki Mount Lofty,
Crafers. Biasanya aku rajin mengunjungi mereka pada saat weekend dimana tidak ada kuliah dan memiliki waktu untuk berbincang-bincang
dengan mereka berdua. Aku menangis di dalam kamarku dan teman-teman rumahku
berusaha untuk menenangkanku.
Sorenya ada presentasi di kampus dan itu adalah presentasi
final dari projek kami untuk mata kuliah Environmental
Decision Making. Presentasi ini adalah presentasi yang menentukan apakah
kami akan lulus mata kuliah ini atau tidak. Aku berangkat ke kampus dengan
perasaan hampa dan kesedihan yang tak dapat kusembunyikan dari wajahku.
Flinders University |
Begitu sampai di ruangan Social Science North 204, Rajesh menyambutku dengan riang. “Hai Eka,
apakah kau sudah siap untuk persentasi sore ini? Aku sudah tidak sabar untuk
menyelesaikannya dan kita akan segera lulus kuliah. Aku begitu bersemangat
menunggu hari ini.”
Aku terduduk di salah satu kursi di ruangan dan dia menatap wajahku dengan lekat dan bertanya:
“Ada apa, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres denganmu hari ini?”
Dia membawaku keluar dari ruangan dan mengajakku duduk di taman dekat pohon gumtree (sejenis tanaman eukaliptus), tempat dimana si koala yang lucu biasa makan dan nongrong saat kami makan siang.
“What happened my dear friend?”
Aku hanya bisa menangis dan berkata: “Opa Bob sudah
meninggal dunia pagi ini Rajesh, dan aku merasa sangat sedih dan menyesal karena
tidak sempat menengoknya saat dia terbaring di rumah sakit.
Dia hanya terdiam dan berkata: “Baiklah, ayo kita
jalan-jalan!”
Dia menarik dan menggenggam tanganku, membawaku berjalan-jalan
keliling kampus kami dari SSN (Social Science North) hingga ke SSS (Social
Science South). Setelah selesai membawaku berkeliling 2-3 putaran, aku mereda
dan tangisku mulai surut.
Dia kemudian berkata:
“Aku paham bahwa kau sangat sedih karena kehilangan ini. Tetapi
kau juga harus ingat bahwa kau punya tanggung jawab pada dirimu dan teman-teman
lain di kelompokmu. Singkirkan semua kesedihan itu untuk sesaat dan fokuslah
pada presentasi kalian. Aku yakin kau akan melewati semua ini dengan baik. Aku
yakin seorang Eka akan mampu melewati semua kesulitan seperti
sebelum-sebelumnya. Eka yang aku kenal adalah seseorang yang kuat dan tegar
menghadapi hidup. Bangkitlah dan perjuangkan mata kuliah ini, kita akan segera
lulus dan menyelesaikan studi kita.”
Mendengarnya berkata seperti itu, semangatku muncul. Aku
mengapus air mataku dan menghampiri teman-teman sekelompokku dan mulai
mempersiapkan diri untuk presentasi akhir kami.
Rajesh, terima kasih atas momen ini. Terima kasih atas
persahabatan dan perhatianmu. I owe a lot
to you my friend. Aku berhutang begitu banyak padamu sahabatku…
*************
Setelah sekian lama, sesudah terpisah begitu lama, isu tsunami
di Kuta mengingatkan aku kembali padamu…
Selama ini aku selalu mencari lagi akan makna akan
persahabatan. Berharap menemukan persahabatan seperti itu lagi. Tapi sepertinya
memang aku takkan pernah menemukannya lagi. Aku lelah dengan semua harapan,
biarkan aku berhenti sejenak dan berhenti mencari.
Aku akhirnya sadar bahwa aku tak perlu mencari apa-apa
lagi. Aku sebenarnya sudah memilki dan menemukan semua itu. Sungguh bodoh bila
aku tidak menyadari dan melupakan persahabatan kami. Menemukan satu saja
sahabat seperti itu adalah sebuah keberuntungan. Mungkin kita memang terpisah
jauh, tetapi kenangan itu saja sebenarnya sudah cukup untuk membangkitkan
semangatku saat terpuruk…
Rasa empati, kepedulian, kesediaan untuk mendengar,
kesediaan untuk memahami dan berbagi adalah segala-galanya…
Aku menemukan semua itu di dalam dirimu sahabatku, apa lagi
yang harus aku cari saat aku sudah memiliki semuanya?
Momentum lain yang tak kalah penting saat masa karantina
mandiri ini adalah momen-momen saat kelas Meditasi dan Satsang Online dengan
Guruji. Dalam satu satsang beliau berkata:
“Ini adalah saat untuk
melakukan refleksi diri, mentransformasi diri dan mengembangkan karuna (cinta
kasih). Mengapa tidak mencoba untuk membuat blog dan membagikan hal terbaik
yang kamu miliki dan menyebarkan kesadaran.”
Petuah yang menarik untuk dilaksanakan. Malam itu akhirnya
aku mengontak seorang kawan dan bertanya tentang blooging. Kira-kira blog apa yang recommended. Kawan tersebut menyarankan untuk menggunakan
blogspot.com. Aku akhirnya membuat blog malam itu juga.
Akhirnya aku mulai menulis dan memposting tulisan-tulisan
lain yang sempat aku tulis 3 bulan terakhir. Bisa kembali menulis dan
mengekspresikan diri lewat tulisan adalah hal yang menyenangkan. Berbagi lewat
tulisan adalah kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa dinilai dengan uang.
Perjalanan kehidupan ini terus bergulir dan tidak akan
pernah berhenti. Perjalanan dari kebenaran yang bernilai lebih rendah menuju
kebenaran yang bernilai lebih tinggi.
“Perjalanan dari gelap
menuju terang”
“Adalah juga dari
perjalanan dari ketakutan menuju tidak kenal takut; dari kecemasan, depresi,
kekhawatiran, kegelisahan, dan keprihatinan yang tidak perlu menuju kedamaian,
ketenangan, keberanian, dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan hidup”
(Anand Krishna, Sai Anand Gita, hal. 66-67).
Perjalanan ini begitu indah untuk diselami…
Rajesh, semoga aku senantisa mampu meneladani kebaikan,
keramahan, dan kepedulianmu…
Terima kasih karena memberiku kekuatan untuk mengingat persahabatan
kita, membuatku ingin menulis kembali, untuk melukis kata-kata dalam bingkai
kenangan kita di bawah langit biru Adelaide.
Komentar
Posting Komentar