Photography, Meditation in Action


Melukis dengan cahaya, itulah yang orang katakan tentang fotografi. Bagiku, awalnyapun seperti itu, seperti halnya menulis, fotografi adalah sarana untuk mengekspresikan diri, untuk mengekspresikan perasaan.

Aku tertarik dengan fotografi karena terinspirasi oleh seorang kawan yang kukenal pada saat menjalani kursus Bahasa Inggris di IALF (Indonesia Australia Language Foundation) Bali tahun 2012 silam. Kursus ini wajib untuk diikuti sebelum keberangkatan untuk bersekolah di Australia. Biasanya pada hari Sabtu dan Minggu kami tidak ada kursus. Kursus intensif hanya berlangsung dari hari Senin sampai Jumat, dari jam 8 pagi – 5 sore. Jadi, hari Sabtu/Minggu adalah kesempatan untuk melarikan diri dari rutinitas kursus dan tugas-tugas yang menggunung. Aku dan kawan-kawan biasanya akan pergi untuk travelling dari satu tempat ke tempat lain. Di kelas, salah seorang teman kami adalah fotografer landsekap. Biasanya dia mengajak kami untuk hunting dari satu pantai ke pantai lainnya, namanya Mas Budiyanto. Sejak saat itu, aku baru sadar bahwa memotret sepertinya hobi yang menyenangkan dan aku semakin ingin menekuni fotografi.

Selama menjalani kursus, aku hanya menjadi pengamat yang yang baik dan bercita-cita untuk bisa memotret dan memiliki kamera. Impian itu menjadi kenyataan tatkala aku sampai di Australia. Begitu mendapatkan establishment allowance, aku kemudian membeli kamera.

Hal lain yang tak kalah menyenangkan adalah aku memiliki teman-teman rumah yang hobi jalan-jalan dan semuanya adalah ibu-ibu muda yang jago travelling. Kami berempat tinggal di 38 Burbank Avenue, sebuah rumah yang dimiliki oleh pasangan suami istri warga Australia keturunan Lebanon. Dari rumah ke kampusku tidak terlalu jauh, hanya 20 menit berjalan kaki.

Orang bilang, practices make perfect. Hal ini berlaku dalam pembelajaran apapun, termasuk belajar fotografi. Mentor fotografiku, Mas Budiyanto, memberi sebuah link yang bagus untuk para fotografer pemula yaitu belfot.com. Berbekal situs ini dan praktek setiap sabtu/minggu, aku terus mengasah kemampuan fotografiku.

Hal lain yang mendukung perkembangan kemampuan fotografiku adalah teman-teman rumah yang hobi jalan-jalan. Salah seorang teman rumahku juga memiliki hobi yang sama denganku yaitu Mbak Yeni. Bersama 2 kawan lain, setiap weekend, kami akan pergi mengunjungi tempat-tempat wisata/festival yang ada di Adelaide.

Floriade Festival 2013, Canberra - Australia
Memang, kemampuan fotografi dan kecintaan akan travelling adalah dua sisi dari sekeping uang logam. Tidak dapat dipisahkan. Kuliah, travelling dan fotografi, itulah yang aku cita-citakan jika aku sampai di Australia. Jika sebagian besar teman-temanku memilih untuk bekerja part time sehingga bisa membawa tabungan saat pulang ke Indonesia. Aku memilih untuk hidup sederhana dan menabung sebagian uang beasiswaku untuk bisa pergi travelling keliling Australia. Aku tidak ingin melewatkan setiap momen yang aku jalani di sana. Kapan lagi aku bisa berada di sini? Aku ingin pulang membawa kenangan dan cerita yang bisa aku ceritakan kelak di kemudian hari kepada orang-orang di sekitarku.

Bersama teman-teman rumah yang pandai travelling, aku belajar dari mereka bagaimana cara untuk mengatur budget saat travelling. Aku tidak hanya memiliki kesempatan untuk berkeliling Australia, tetapi juga bisa mengunjungi New Zealand dan Jepang.

Saat berkunjung ke Jepang, aku berjumpa dengan salah seorang teman kuliah di saat Australia (Flinders University) di Kota Osaka.  Kami kuliah di jurusan yang sama yaitu Manajemen Lingkungan. Kawanku itu masuk ke kampus Finders enam bulan lebih awal daripada aku, jadi selama di Australia kami berteman selama 1,5 tahun. Setelah menyelesaikan kuliah, dia kembali pulang ke Kota Nara di Jepang.

Sejak awal kuliah, kami tidak terlalu dekat karena anaknya sangat pendiam. Tetapi lama-kelamaan kami menjadi akrab karena aku selalu memulai pembicaraan saat kami mengerjakan tugas-tugas kampus. Nama kawanku itu adalah Motonori Mukai. Mukai adalah nama keluarganya. Namanya sendiri, Motonori, berarti Teaching from Origin. Dia selalu berkata: “Eka, nama ini adalah yang sangat jarang digunakan oleh orang-orang”. Entah mengapa orang tuaku memberiku nama ini. Waktu kecil aku sering merasa tidak nyaman jika orang memanggilku dengan nama tersebut. Tetapi akhirnya aku terbiasa dan mensyukuri bahwa orang tuaku memberiku nama itu karena sarat akan makna kehidupan yang mendalam. Kawanku ini adalah seorang penganut ajaran Tenrikyo yang memuja Tuhan dalam wujud sebagai Orang Tua (parents). Aku memanggil kawanku itu dengan panggilan “Mu”.

Selesai makan siang di kampus, kami akan keluar dari ruangan basecamp mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan di SSN 204 (Social Science North) dan nongkrong di taman. Di tepi taman itu ada sebuah pohon gumtree (sejenis eukaliptus/kayu putih) yang cukup besar, dan di sana seringkali ada beberapa ekor koala yang suka “nongkrong”. Daun  gumtree adalah makanan favorit bagi koala. Kami suka sekali memperhatikan koala-koala itu karena mereka lucu dan imut. Koala adalah binatang kesukaan Mu.

Hal lain yang tak kalah seru adalah saat pulang dari kampus. Tempat tinggal kami berdekatan dan kami biasa melintasi jalanan yang sama saat pulang kampus. Biasanya kami suka mencari jalan memutar saat melewati hutan pinus sesudah jembatan kampus yang panjang. Di beberapa titik dalam perjalanan pulang kami akan menemukan koala lagi dan memperhatikannya dengan penuh ketakjuban seperti dua anak kecil. Mu sering berkata: “Eka, aku ingin memeluk koala-koala itu, sepertinya bulu mereka lembut sekali.”

Saat menelusuri jalanan di Kota Osaka, dia berkata kepadaku: “Aku sangat berterima kasih kepadamu, Eka?”

“Untuk apa?” tanyaku

“Karena kamu mau memotretku saat momen wisuda di kampus. Kamu menawarkan semua itu tanpa pernah aku minta. Foto-foto itu sangat berarti untukku, kenangan dalam foto itu akan selalu mengingatku padamu, seseorang di balik kamera yang menawarkan persahabatan dengan begitu ikhlas. Tidakkah pernah terlintas dalam benakmu untuk menjadi fotografer profesional? Eka, kamu punya bakat untuk itu.”

Aku hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa. Hening sesaat dan aku bertanya kepada diriku: apakah aku ingin menjadi fotografer professional?

Aku kemudian menjawabnya:
“Aku tidak ingin menjadi fotografer professional dan dibayar orang Mu. Jikapun aku memotret, aku ingin memotretnya dari hatiku. Aku sama sekali tidak ingin mengkomersilkan skill yang satu ini. Jikapun aku terus memotret, aku ingin menjadikannya sebagai sebuah persembahan. Persembahan kepada sesuatu yang lebih tinggi.”

Aku sendiri heran jawaban itu datang darimana. Dia hanya menganggukkan kepala dan berkata: “Ya, aku bisa memahamimu. Kawanku, kau selalu penuh dengan idealisme yang mungkin takkan dipahami oleh kebanyakan orang.”

Itu adalah kali terahir kami bertemu. Sebulan kemudian dia berangkat ke Hawai untuk berkerja untuk oraganisasi spiritualnya di sana. Pertemuan yang indah, karena dia membuatku selalu teringat akan idealismeku tentang fotografi.

Setahun kemudian, idealisme itu akhirnya terwujud ketika aku bertemu Guruku, Guruji Anand Krishna. Sejak bergabung di One Earth School (salah satu sayap dari Yayasan Anand Ashram) aku menjadi bagian dari tim dokumentasi sekolah dan Anand Ashram.

Perjalanan hidup yang berawal dari seorang fotografer dan kemudian belajar tentang videografi di Anand Ashram adalah kisah tersendiri. Perjalanan indah yang tidak akan pernah terlupakan, sebuah berkah yang sangat mulia saat bisa melayani atau melakukan seva di bagian dokumentasi.

Acara-acara di Anand Ashram selalu penuh dengan perayaan seperti Samskriti Sindhu dan perayaan lainnya. Pada dasarnya, aku adalah orang suka dengan perayaan, festival, nyanyian dan tarian. Tetapi aku sadar bahwa dengan menjadi bagian dari tim dokumentasi di Ashram maka takkan lagi ada yang namanya bisa menikmati acara, ikut bernyanyi ataupun menari. Pada awalnya aku kadang terbawa suasana yang festive, sampai beberapa kali ditegur oleh kawan fotografer senior di Ashram.

“Eka, yang namanya di bagian dokumentasi itu pantang untuk bisa menikmati acara. “Haram” untuk menikmati acara. Kita harus fokus pada tugas kita sebagai fotografer dan meliput acara sampai akhir.”

Awalnya terasa berat, karena aku harus belajar memisahkan diri dari acara yang sedang berlangsung. Sisi seorang Eka yang ingin jingkrak-jingkrak dan menari harus dikesampingkan demi sesuatu yang lebih mulia.

Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya bisa menemukan makna kehidupan yang lebih mendalam saat meliput kegiatan-kegiatan di Ashram. Saat memotret maupun mengambil video, secara perlahan aku belajar untuk memisahkan diri dari keriuhan acara. Ketika keterpisahan itu terjadi, aku bisa memotret dengan fokus tanpa teralihkan. Acara tetap berlangsung dengan meriah, tetapi aku tidak menjadi bagian dari acara dan keramaian tersebut. Aku menyaksikan acara itu terjadi lewat jepretan kamera. Saat pengalaman itu terjadi , aku memasuki alam hening yang begitu indah, tak terjelaskan dengan kata-kata, hiruk pikuk terjadi, tetapi aku sama sekali tidak terpengaruh. Aku berada di sana, di tengah keriuhan dan kegembiraan yang memuncak, menjadi saksi atas keriuhan yang begitu indah. Menikmati keriuhan itu dengan cara tersendiri lewat jepretan kamera, tetapi tidak terpengaruh sama sekali oleh semua itu.

Pengalaman itu adalah pengalaman yang begitu indah. Mungkin tidak akan pernah terjadi jika aku menjadi seorang fotografer professional sekalipun. Meditasi terjadi pada saat memotret di ashram, itu adalah sebuah pengalaman dan berkah yang begitu indah. “Meditation in action” terjadi ketika kau tidak mengharapkan apapun. Ketika apapun yang kau lakukan sebagai sebuah persembahan kepada Gurumu, maka Ia akan menuntunmu untuk menemukan kebenaran yang bernilai lebih tinggi, lebih mulia dari sebelumnya.

Satu hal lain yang bergitu menyentuh hati adalah saat ada kunjungan seorang Swami (Guru Spiritual) dari India. Aku lupa nama beliau. Saat itu sang swami berkunjung ke Anand Ashram Ubud dan memberikan lecture dan ada sesi tanya jawabnya. Seusai sesi Sang Swami membagikan suvenir kepada semua peserta berupa gelang rudraksa dan gambar sebuah murti (Krishna/Laksmi/Shiva). Semua peserta maju satu persatu, temanku dan aku sibuk mengambil foto dan video untuk mendokumentasikan momen tersebut. Semua peserta sudah mendapat souvenir dan kami berdua masih siaga jika ada momen lain yang harus diliput. Beliau kemudian berkata: “Ah, dua fotografer kita ternyata belum dapat hadiah, sini-sini.”

Bersama Guruji Anand Krishna di Anand Krishna Centre Kuta

Guruji kemudian menimpali dan berkata: “Begitulah para fotografer, tanpa mereka, kita takkan pernah eksis. Peran mereka begitu besar untuk mengabadikan momen tentang kita, meskipun mereka tidak akan pernah terlihat oleh publik.”

Deg….aku hanya terdiam dan tak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar air mata mulai menetes di pipi. Aku baru menyadari bahwa peran sebagai fotografer di Ashram adalah peran yang penting. Aku sangat bersyukur diberikan sebuah berkah untuk bisa mengambil peran ini. Guruji, terima kasih karena telah memberi kesempatan kepada diri yang kecil ini untuk bisa mengabadikan cerita tentangMu, tentang cintaMu…

Picture courtesy: Floriade 2013 by Christina Yeni Kustanti
Picture courtesy: Bersama Guruji Anand Krishna by Gde Trilokasianta Baloma

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Belajar MV dari Upie Guava

Sadgati Praptir-astu, Memaknai Kematian

Secercah Pendar Senyum